"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Minggu, 21 Desember 2008

Humanisme Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar belakang

1. Jacques Derrida (1930-2004)
Derrida dilahirkan pada tanggal 15 juli di el’biar, Algeria (Aljazair). Lahir dari keturunan Yahudi yang semasa kecil diwarnai dengan situasi kolonialisme. Karena pengaruh kolonialisme tersebut akhirnya membuat Derrida pindah untuk menuntut ilmu atau kuliah di Lychee Louis-le-Grand, Paris yakni tepatnya pada tahun 1949. Setelah lulus kuliah, kemudian ia kembali pulang ke Aljazair dan melanjutkan kuliah di jurusan psikologi dan etnologi di ENS (Ecole Normale Superieure), yaitu sebuah sekolah yang dikelola oleh Althusser dan Foucault. Kemudian sejak saat itu, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh beberapa filsuf antara lain Heidegger, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, Saussure, Rousseau, dan juga Sartre.
Pengaruh pemikiran tersebut diantaranya adalah :


a) Martin Heidegger : mempertanyakan ontologi; diskusi tentang krisis metafisika
b) Friedrich Nietzsche : pembebasan filsafat dari metafisika
c) Theodore Adorno dan Emmanuel Levinas : menumbangkan klaim-klaim modernitas dan proyek emansipasi ala Pencerahan
d) Ferdinand de Saussure : segala sesuatu adalah teks
e) Paul de Man : pembacaan dekonstruktif terhadap teks-teks sastra dan filsafat
f) Edmund Husserl : fenomenologi

Derrida tergolong sosiolog dan filsuf yang berwatak postmodern, yang merayakan perbedaan dan pluralitas serta menolak reduksi segala hal ke dalam satu pengertian atau pola tertentu. Dalam hal ini Jacques derrida menyebutnya dengan istilah dekonstruksi.


2. Sejarah Pendidikan di Indonesia

Penyediaan pendidikan selalu berkaitan dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Sekolah formal yang pertama kali dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1852 adalah sekolah yang ditujukan untuk pemenuhan tenaga pengajar. Pemerintah Belanda mendirikan sekolah hanya untuk memperoleh tenaga kerja murah yang terampil dari bangsa Indonesia. Sekolah-sekolah tersebut juga terbatas hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan atas saja yaitu masyarakat Belanda dan Eropa, golongan Indo, golongan priayi pribumi dan masayarakat Asia dan Timur jauh. Adanya sekolah-sekolah tersebut juga menggeser stratifikasi dalam masyarakat Indonesia, dimana tidak hanya berdasarkan status sosial keturunan tetapi juga berdasarkan pendidikan. Kebutuhan akan tenaga kerja dengan kemampuan baca tulis pada akhirnya memberikan sedikit peluang bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dalam institusi sekolah, yaitu dengan dibentuknya dua jenis sekolah dasar bagi bumiputra pada tahun 1893. Sekolah bumiputra tersebut antara lain: Sekolah Bumiputra Angka Satu untuk kalangan priayi dan Sekolah Pribumi Angka Dua untuk anak-anak dari rakyat kebanyakan. Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1929 Sekolah Angka Dua ini ditutup.

Hasil dari sistem pendidikan Kolonial Belanda ini memunculkan dua kelompok priayi baru, yaitu priayi dalam birokrasi (yang mewarisi mentalitas priayi dalam birokrasi Indonesia sekarang), dan kelompok yang menaydari betap pentingnya sekolah bagi masyarakat terjajah. Kelompok kedua ini kemudian yang mulai berjuang melalui organisasi sosial, pers, dan pendidikan. Sekolah-sekolah pribumi yang berusaha melawan diskriminasi Belanda pun bermunculan, seperti Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1922, oleh Ki Hajar Dewantara yang tidak hanya bertujuan mencerdaskan tetapi juga membangun sikap pejuang untuk menuntut kemerdekaan.

Organisasi massa Sarekat Islam pada tahun 1919 mendirikan sekolah SI, yang didirikan oleh Tan Malaka. Sekolah yang didirikan oleh kelompok-kelompok pribumi ini kemudian berkembang tidak hanya sebagai sekolah yang memberantas buta huruf tetapi juga sebagai tempat yang menghasilkan orang-orang yang kritis pada realitas disekitarnya. Melihat perkembangan sekolah-sekolah pribumi tersebut pemerintah Belanda kemudian memberlakukan onderweer ordonantie pada tahun 1932, yaitu undang-undang yang menutup semua sekolah yang tidak disubsidi oleh pemerintah, dan menyebutnya sebagai sekolah liar.

B.Permasalahan
Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagasi persoalan hidup yang melingkupinya. Sedangkan yang menjadi permasalahan pada pendidikan sampai saat ini adalah di dalam lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah hanya menerjemahkan pendidikan sebagai sekedar transfer of knowledge yang dimiliki oleh guru kepada siswa atau murid. Model pendidikan yang demikian hanya membebani siswa dengan hapalan-hapalan teori maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian, tetapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkannya ke dalam realitas sosial. Maka dari itu pendidikan yang seperti inilah yang perlu didekonstruksi, karena yang menjadi permasalahan untuk kita analisis adalah apakah model pendidikan transfer of knowledge tersebut masih relevan diterapkan di indonesia? Dan apakah dengan hanya menuntut ilmu dari ”bangku sekolah” saja sudah cukup untuk mencerdaskan siswa/siswi atau mahasiswa/mahasiswi di indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN


1. Relevansi pendidikan transfer of knowledge di Indonesia
Pendidikan seringkali dijalankan tanpa memperhatikan akar persoalan riil. Fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktik pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktik pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya. Masyarakat lokal menjadi merasa asing dalam ruang yang nama-nya ”sekolah”. Tatkala proses pendidikannya hanya menghadirkan sejumlah informasi tentang problem kultur atau kebudayaan yang selama ini tidak bersentuhan dengan kondisi riil mereka.

Rasanya tidak berlebihan ketika seorang Antropolog dari Norwegia, Oyyind Sandbukt yang mengadakan penelitian di kalangan suku Kubu di Jambi yang mengungkapkan tentang pendidikan anak pada orang Kubu; tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukan olehnya bahwa suku yang dinilai primitif atau terasing memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang lingkungan hidupnya di hutan tropis. Pengetahuan yang sudah menjadi satu paket untuk siap hidup di hutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang panjang dan dikukuhkan dalam ”kurikulum” yang tidak tertulis, atau dalam satu sistem pendidikan yang berpijak di bumi sendiri. Maka ketika sebagian orang Kubu ini ”dimukimkan kembali” seperti masyarakat lainya, dan anak-anak mereka ditawari sistem pendidikan modern pada umumnya, tiba-tiba terasa mereka tercerabut dari akar kehidupannya yang paling dalam. Anak-anak pedesaan, pedalaman, nelayan, sebagian di kota, adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatian kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja (St. Kartono, Bernas, 22/10/1996).

Ketika siswa masuk dalam pendidikan di Indonesia, tidak menemukan proses berpikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya. Kondisi pendidikan di Indonesia masih sarat dengan (gaya) komando, sehingga interaksi yang dibangun antara guru dengan murid selalu bersifat otoriter. Menurut Mangunwijaya semestinya pendidikan di sekolah harus terbuka danmenjadi peristiwa perjumpaan antarpribadi yang saling mengasihi dan sebagai ajang untuk menjalin kemitraan, bukan penjinakan terhadap mereka, dengan adanya interaksi yang baik maka akan menumbuhkan rasa persaudaraan yang menggembirakan (Mangunwijaya, 199: 105).

2. Pendidikan yang di Dekonstruksi

a). Politik Dekonstruksi
Menurut Derrida dekonstruksi merupakan sebuah afirmasi akan yang lain (the other) yang meneguhkan pentingnya perbedaan di tengah dunia yang dibayangi hasrat kebenaran mutlak, logosentris telah mati dengan lahirnya dunia baru tanpa pusat, tanpa subjek, tanpa ontologi (being), tanpa sandaran makna dan kebenaran. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Dekontruksi tidak hanya mengkritik, tetapi merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam bangunan tersebut lalu membiarkan centang perentang dan ketidakmungkinan di bangun kembali. Derrida menolak dikotomi konsep (oposisi binner) yang mensubordinasi yang satu khas strukturalisme yang bertendensi hasrat kuasa.

Prinsip dekonstruksi, sebagaimana yang disebut oleh derrida, yang menyatakan bahwa semua teks akan terurai ketika dikaitkan dengan kehati-hatian pertanyaan linguistik, filosofis dan kehampaan etis – penihilan, titik nol, pemlesetan dan juga penindasan. Dekonstruksi adalah aktivitas interpretatif yang menerangkan momen dekonstruksi diri; Derridean berpandangan bahwa dekonstruksi terjadi pada level subteks-nya teks, tulisan yang membawahi yang tidak pernah benar-benar mengemukadan berisi bukti ketidakmenentuan teks pertanyaan yang tidak ditanyakan atau pun tak terjawab, masalah yang tidak diajukan, asumsi yang tertutup rapat atau terplesetkan.

Dekonstruksi adalah milik semua teks, termasuk yang bertujuan untuk mendekonstruksi argumen lain. Teks yang terdekonstruksi sekali masih mendekonstruksi lagi, meskipun dengan cara yang berbeda dari cara dia pertama mendekonstruksi.

b). Mendekonstruksi Pendidikan Transfer Of Knowledge
Dunia pendidikan pada dasarnya dari waktu ke waktu terus membenah diri, agar pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana penemuan dan perkembangan, sehingga wajar apabila telah menimbulkan tolok ukur dalam memandangnya. Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan juga menimbulkan tantangan-tantangan agar pendidik mempunyai sikap tertentu yang bersendikan pada pendirian tertentu pula (Barnadib, 1997: 24). Transfer of knowledge adalah model pendidikan yang menurut Paulo Freire kurang efektif untuk diterapkan, karena model tersebut sama seperti model ”Gaya Bank” yaitu kritik Freire tentang model pendidikan dimana murid, siswa atau mahasiswa berperan sebagai ”celengan” (tabungan) dan guru atau dosen berperan sebagai penabung. Kritik-kritik tersebut diantaranya secara sederhana Freire menyusun dalam daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” sebagai berikut:

1.Guru mengajar, murid belajar
2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3.Guru berfikir, murid dipikirkan
4.Guru bicara, murid mendengarkan
5.Guru mengatur, murid diatur
6.Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8.Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9.Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkan dengan kebebasan murid-murid
10.Guru adalah subyek belajar, murid obyeknya.

Dalam hal ini guru menjadi pusat dari segalanya. Tidak heran jika proses seperti ini menghasilkan manusia yang akan melanggengkan status quo. Esensi pendidikan humanistik kini semakin hilang dan bergeser kearah kapitalistik. Dalam sepuluh daftar antagonisme tersebut pada dasarnya terdapat konsep yang mampu dan dalam realitanya perlu untuk kita dekonstruksi, karena dibalik konsep model pendidikan tersebut masih terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tersembunyi antara lain :

1. Guru mengajar, dan murid pun harus siap mengajar
2. Guru tahu segalanya, murid harus lebih tahu apa-apa
3. Guru berfikir, murid pun memikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan kemudian membicarakan
5. Guru mengatur, murid diatur, dan sesekali bisa sebaliknya
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid mempertimbangkan dan berani memilih.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana tindakan gurunya lalu merefleksikannya
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid juga berhak ikut menentukan.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkan dengan kebebasan murid-murid. Dan murid pun juga berhak menentang wewenang tersebut bahkan menuntut kebebasan sebagai murid.
10. Guru adalah subyek belajar, murid pun sesekali bisa sebaliknya.

Logikanya apakah sebagai seorang murid, siswa atau mahasiswa kita harus melulu belajar kepada seorang guru atau dosen, sedangkan guru atau dosen tersebut pada hakikatnya masih sama-sama dalam rangka menuntut ilmu. Seperti halnya di tingkatan mahasiswa, apakah sebagai seorang mahasiswa harus belajar dari bangku kuliah? Munculnya kontradiksi-kontradiksi inilah yang oleh Derrida disebut dengan istilah politik dekonstruksi.

BAB III
PENUTUP

Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas. "Teks" adalah konsep penting dalam pemikiran Derrida di mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting. Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar "teks", realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah "teks". Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai "teks" dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal.

Menurutnya, manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang katanya sesungguhnya (real). Bahasa rasional demikian berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna dengan metafisika kehadiran. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Strategi dekonstruksi membongkar semua itu bukan dengan hanya menciptakan makna baru karena pembongkaran makna adalah menafsirkan serta menganalisis wacana lalu kemudian mencari kontradiksi dari konsep tersebut.
Share:

Kamis, 04 Desember 2008

Masalah Buat Kamu

Sesulit apapun permasalahan, jadikan itu ilmu buatmu.1
Oleh : Achmad Saptono (Tino)2

Manusia merupakan mahluk sosial, mungkin anda sudah merasa bosan dengan penggalan kalimat tersebut. Percaya atau pun tidak manusia pada hakikatnya memang tidak mungkin bisa hidup sendiri, waktu jaman Nabi Adam A.S hidup pun dulu beliau minta kepada Allah SAW agar menurunkan Siti Hawa ke bumi untuk menemaninya dalam menghuni bumi ini. Selain manusia yang menghuni bumi ini, Allah SAW juga menciptakan jin, binatang, tumbuhan dan juga seluruh isi bumi. Makanya tak heran ketika banyak permasalahan yang kita hadapi dalam hidup bermasyarakat di dunia ini, karena permasalahan itu merupakan salah satu bentuk ujian yang datang dari sang pencipta dan kita tidak akan pernah bisa menghindar dari permasalahan tersebut. Baik di dalam lingkungan keluarga, organisasi, sekolah, kampus, masyarakat atau pada ruang lingkup yang lebih besar lagi dari masyarakat yaitu negara. Sekali lagi, yang namanya manusia pasti akan mendapati berbagai macam permasalahan.

Terkadang manusia merasa lelah dengan permasalahan – permasalahan yang dihadapinya, bahkan sampai ada manusia yang lebih memilih untuk menghindar dari permasalahan tersebut yakni dengan jalan bunuh diri. Permasalahan sesulit atau sesukar apapun, hadapi saja!!! Karena saya lebih suka memaknai permasalahan tersebut dengan ujian atau cobaan yang datang dari Allah SAW.

Ketika anda sebagai mahasiswa mendapati permasalahan yang cukup rumit dalam berorganisasi, maka coba refleksikan permasalahan tersebut kemudian cobalah berfikir positif bahwasanya ilmu tersebut lah yang di dapat dalam berorganisasi itu. Yaitu ilmu ketika anda sabar dalam menghadapi, menyelesaikan dan juga menganggap permasalahan itu sebagai pelajaran atau ilmu yang tidak mungkin bisa di dapat dari mata kuliah apa pun.(Noy)
Share:

Ujian “Untuk Semua”

Dalam kehidupan sehari – hari kapan pun dan dimana pun kita sebagai mahluk Tuhan (manusia) pasti tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan ujian. Seperti yang telah kita ketahui bahwa ujian itu ada yang berat dan ada yang ringan, tergantung dari bagaimana ketika kita menghadapi ujian tersebut.
Terdapat 3 (tiga) karakter atau ciri – ciri ujian yang datang dari Allah antara lain :
1.Ujian harus sulit.
Karena ketika ujian itu tidak sulit, maka semua manusia yang menjalani ujian tersebut akan lulus, baik mu’min atau pun munafik. Dan satu hal yang harus kita ingat bahwa ujian itu tidak akan membedakan antara mu’min dengan mu’mat.
2.Ujian itu bukan sesuatu yang mustahil
ketika ujian itu mustahil, maka kedua – duanya akan gagal dilakukan, baik itu dilakukan oleh mu’min atau pun munafik.
3.Ujian harus seimbang
akan terasa sulit bagi munafik untuk lulus dalam ujian tersebut, namun bukan berarti bahwa itu mustahil untuk dilakukan. Dalam arti lain terbuka kesempatan bagi mu’min untuk lulus dalam ujian tersebut.
Ketiga karakter diatas merupakan bukti yang menjelaskan bahwa Allah SWT selalu bersifat adil ketika memberikan ujian kepada seluruh umatnya.
Allah swt berfirman :
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka (Q.S. Al-Isra : 60)”.




Ujian dari Allah SWT Itu tidak sedikit jumlahnya, dan ujian tersebut akan berlangsung terus – menerus sampai ketika nanti datang kematian. Contoh ujian yang ada dan sering kita temui dalam kehidupan sehari – hari antara lain :
Jihad, merupakan salah satu ujian yang sangat berat.
Beramal, sodaqoh/infak. Ujian ini memang terlihat ringan bahkan ada yang menganggapnya sepeleh namun dalam kenyataannya jarang ada yang menjalankannya atau jaeang ada yang lulus dalam ujian ini.
Berbuat baik terhadap sesama, sama halnya dengan beramal, sodaqoh/infak.

Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (Az-Zumar : 49)
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers