"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Selasa, 30 Juni 2009

TUHAN DALAM BINGKAI POSTMODERN


Manusia, mampu membunuh “Tuhan-nya”

Oleh : Achmad Saptono (Panggil; Tino)


Siapa yang menciptakan Manusia? Tumbuhan? Binatang serta semua isi dunia? Jawabannya sudah pasti Tuhan tentunya yang menciptakan semua itu. Lalu siapa yang menciptakan Tuhan itu sendiri? Dengan tegas saya akan jawab, Manusia yang menciptakan Tuhan!.
Nietze pernah mengatakan “Tuhan telah mati”, inilah salah satu teori yang mampu menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya mampu menciptakan Tuhan kembali. Teori ini juga secara tidak langsung mengungkap keberadaan Tuhan, logikanya sebelum tuhan itu mati berarti dahulu Tuhan pernah hidup. Manusia-manusia yang hidup di jaman postmodern sekarang ini dapat dengan mudahnya menciptakan tuhan baru, semua lapisan masyarakat di dunia ini masing-masing mempunyai keyakinan akan Tuhan yang berbeda-beda. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, kekuasaan, teknologi di dunia inilah yang kemudian mendukung keberadaan banyak Tuhan baru. Dengan mudahnya manusia menuhankan benda yang menurutnya sangat berharga.
Manusia saat ini cenderung lebih berorientasi pada hal sifatnya materiil. Kekayaan dan kesenangan dunia menjadi hal yang paling utama, menjadi tujuan hidup yang paling penting sampai-sampai manusia melupakan bahwa masih ada kehidupan setelah mati. Prinsip manusia saat ini kebanyakan berpegang “gimana ntar aja”, ini suatu prinsip yang fatalistic ketika dikaitkan dengan konteks hakikat manusia hidup untuk apa. Sudah lupakah manusia saat ini akan keberadaan Allah yang maha menciptakan?
Istilah "Dunia yang Berlari: Mencari 'Tuhan-Tuhan” Digital" tentu hanya metafora. Dengan metafora itu hendak dijelaskan bahwa telah terjadi perubahan atau transformasi yang sangat cepat, memerangkap manusia dalam kegilaannya dan ekstasinya, yang mengurung manusia dalam kepanikannya sehingga tidak menyisakan lagi ruang untuk mendekati Tuhan dan tidak ada waktu lagi untuk mengingat nama-Nya. Manusia saat ini mencari "Tuhan-tuhan"-nya sendiri dibimbing oleh tiga "dewa", antara lain : kapitalisme, postmodernisme, dan cyberspace. Ke tiga dewa ini yang kemudian menghegemoni logika berfikir serta ideologi manusia-manusia sekarang. Logika materialistik semakin kukuh tertanam dalam mainstream masyarakat seara keseluruhan. Dengan adanya “dewa” cyberspace, dapat mempengaruhi manusia dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya, seperti apa yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2006 : 57) :
Kini di dalam era virtulitas, ada berbagai model aktivitas sosial, yang di dalamnya tidak hanya ada pergerakan linier Hagerstand, dan pergerakan kembali (return) Giddens, akan tetapi bentuk-bentuk pergerakan yang sebenarnya berdiam diri di tempat (sedentarity). Inilah pelipatan sosial dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dimampatkannya ruang sosial, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapainya dalah rel-time, berapapun jarak ruangnya. Paul Virillio menyebut pola kehidupan sosial ini sebagai pola inersia (inertia), yaitu pola kehidupan sosial, yang di dalam melakukan berbagai aktivitasnya, aktor-aktor sosial hanya berdiam diri di tempat, oleh karena justru informasi yang bergerak mendatanginya. Jean Baudrillard menyebut keadaan berdiam diri di tempat ini sebagai pola implosi (implosion), dengan pengertian meledaknya informasi ke arah manusia (pusat) yang berdiam diri di tempat. sementara, Deleuze & Guattari menyebutkan pola sendentarity, untuk membedaknnya dengan pola pergerakan nomad, yaitu orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Cyberspace juga memungkinkan manusia menjadi makhluk individualistis, menuhankan teknologi internet. Menurutnya, dengan internet ia bisa mendapatkan segala yang di inginkannya. Dengan internet ia bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di luar negeri dan lain sebagainya. Dengan internet, ia bisa mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lengkap. Hal ini yang oleh Yasraf Amir Piliang disebut denganh “Dunia yang Di lipat”.
Tantangan bagi umat beragama kini tidak lagi terjadi perang secara fisik, akan tetapi perang ideologi dengan “dewa-dewa” tadi. Umat dari agama manapun selain kaum yahudi pasti akan menghadapi tantangan yang sama, Kapitalisme, postmodernisme dan Cyebrspace.


*Adalah Mahasiswa FISIP-UNSOED SKS 2006 yang aktif di UKM Teater SiAnak & Organisasi HMI (MPO) Cbg PWT.
Share:

Senin, 29 Juni 2009

Kekayaan Alam Kab.Brebes



Oleh : Achmad saptono (Panggil; Tino)

Minggu 28 Juni 2009 kemarin, selepas Sholat Dhuhur tanpa ada rencana berlibur akhirnya aku diajak salah seorang teman untuk berkunjung ke sebuah tempat yang bagiku sangat kaya akan keindahan alamnya. Kaligoa, sebuah tempat yang kaya akan keindahan alam itu terletak di Kabupaten Brebes-Jawa Tengah. Hanya membutuhkan waktu ± 1/2 - 1 jam dari Kabupaten Brebes.
Awalnya saat temanku mengajak ke tempat yang penuh mitos dan sejarah itu, aku merasa kurang tertarik dan menganggapnya biasa saja. Aku berfikir, pasti tempatnya tidak jauh berbeda dengan Obyek Wisata Baturraden-Banyumas. Namun setibanya di salah satu lokasi "Telaga Ranjeng", sebuah telaga yang tidak pernah mengalami kekeringan, aku langsung merasa terkagum-kagum melihat ketenangan air dan kelestarian di sekeliling genangan air yang masih sangat jernih itu. Satu hal lagi yang membedakan Telaga Ranjeng dengan tempat wisata lainnya adalah Telaga Ranjeng masih termasuk Cagar Alam; setiap pengunjung yang berkunjung ke tempat ini sama sekali tidak dipungut retribusi/tiket masuk. Telaga ini masih benar-benar alami, di sekelilingnya dipenuhi dengan rumput dan pohon pinus yang subur. Telaga seluas 48,50 ha ini ditetapkan berdasarkan SK Pemerintah setempat sebagai salah satu Cagar Alam pada tanggal 11 Januari 1925 M.
Berdasarkan cerita warga, telaga ranjeng itu setiap 4 bulan-sekali ada ikan tawar jenis lele yang muncul ke permukaan dengan jumlah yang tidak terhitung dengan jari. Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah ada kejadian salah satu ikan tawar jenis lele tersebut mati terdampar ke permukaan telaga seukuran badan manusia dewasa. Telaga ini memang masih sangat sakral. Menurut penjaga/juru kunci Telaga Ranjeng, "Dulu pernah ada pengunjung yang datang kesini dan mengambil beberapa ikan lele dari telaga, kemudian beberapa hari setelahnya, warga sekitar Telaga Ranjeng diserang angin Puting beliung kemudian ada berita kematian dari warga sekitar telaga ini". Juru kunci menambahkan "Dulu juga sering ada berita orang hilang di sekitar telaga ini, orang yang hilang itu dikarenakan melakukan hubungan dewasa di sekitar telaga."
Selepas menikmati tenangnya Telaga Ranjeng, aku bersama Bagus (temanku) melanjutkan kunjungan ke Perkebunan Teh-Kaligoa. Hanya dengan mengeluarkan isi kantong sebesar 4 ribu rupiah dan membutuhkan waktu ± 15 menit dari telaga untuk dapat menikmati anugerah Allah SWT yang indah dan sangat luas itu. Perkebunan teh itu sepenuhnya di kelola oleh pemerintah Brebes. Sedangkan hasil produksi tehnya sendiri, biasanya di ekspor sampai ke luar negeri. Sebelum masuk ke daerah perkebunan teh, aku sempat merasa bingung untuk memilih lokasi mana yang sebaiknya akan saya kunjungi. Ada Goa Jepang, Goa Barat…., Makam Van de Jong, TUK air bening dan Puncak Sakub Perkebunan Teh Akhirnya saya memutuskan untuk memilih Puncak Sakub yang memiliki ketinggian ± 3 km dari permukaan Kabupaten Brebes. Motor pun mulai melaju ke tempat yang dituju, dengan menggunakan gigi 1 motor melewati jalan yang penuh bebatuan runcing. Puncak Sakub termasuk tempat yang memiliki sedikit peminat, karena lokasinya yang tinggi dan karena faktor jalan yang tidak bisa dilalui oleh mobil. Udara dingin pegunungan mulai menyentuh seluruh tubuhku, motor yang aku naiki pun berisik karena jalanan yang tidak rata. Sesampainya di puncak, rasa dingin, capek, lelah bahkan semua hal yang mengganjal di fikiranku seolah hilang seketika setelah aku bisa melihat keindahan perkebunan teh dan sekelilingnya dengan jelas dari puncak sebelah Gunung Slamet.

Di sekeliling perkebunan teh itu, ternyata banyak juga warga yang menanam sayur-sayuran Sayur-syuran itu diantaranya adalah : Kol, Wortel, Tomat, Kentang, dan Labu dalam jumlah yang cukup luas. Inilah yang termasuk salah satu mata pencaharian dari warga Kali Goa dan sekitarnya. Ada juga warga yang mencari nafkah dengan menjadi pemetik teh. Setelah aku menikmati keindahan alam sekitar Perkebunan teh itu kemudian aku melongok jam yang ada di Handphone, tanpa disadari ternyata jam sudah menunjukkan pukull 04 sore. Akhirnya aku putuskan untuk pulang, perjalanan pulangku tidak melewati jalan pas berangkat. Aku pulang menggunakan jalan lain yang akhirnya aku kembali bisa melihat Telaga Ranjeng. ± 10 menit-an aku berhenti kembali untuk menikmati tenangnya gengangan air di telaga tersebut dari belakang pintu masuk utama Telaga Ranjeng. Setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah Bagus di desa Laren, Kecamatan BUmi Ayu-Kabupaten Brebes.
Namun sampai aku menulis pengalaman yang sangat menarik ini, masih banyak pertanyaan yang muncul di dalam benakku. Dengan kekayaan alam yang begitu banyaknya kenapa Indonesia, lebih spesifik lagi Kabupaten Brebes tidak bisa mengalami kemajuan pesat. Bahkan strata ekonomi masyarakat sekitar pun masih sangat jelas mengalami ketimpangan. Kenapa pemerintah tidak memfasilitasi masyarakat setempat dengan memperbaiki jalan menuju perkebunan teh tersebut. Lal pertanyaan isengku pun muncul, kekayaan alam yang ada di Kabupaten Brebes ini kan lebih banyak jika dibandingkan dengan Obyek Wisata Baturraden, akan tetapi kenapa yang lebih terkenal keindahannya adalah Obyek Wisata Baturraden.
Masih banyak sejarah dan mitos yang belum sempat saya telisik lebih dalam lagi di beberapa lokasi lain di sekitar Kali Goa tersebut. Aku sarankan agar anda semua berkunjung langsung ke tempat yang dimaksud di atas.


Semoga bermanfaat.
Share:

Senin, 22 Juni 2009

Gelisah Warga


oleh : Achmad Saptono (panggil; Tino)

Pemilu Presiden-Wakil Presiden akan segera berlangsung hanya dalam hitungan 16 hari lagi.Semua pasangan calon tampak sedang kebaran jenggot mencari massa kesana-kemari. Berbagai macam trik digunakan oleh mereka untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya.Kunjungan ke Pelosok desa, panti asuhan, memperbaiki jalan, sekolah-sekolah sampai mengungkapkan janji-janji yang melambung tinggi telah mereka lakukan semuanya.
Janji akan selalu membela kepentingan rakyat, mengangkat kesejahteraan, memberantas kemiskinan dan lain sebagainya. Kalimat ini yang sering kali dilontarkan oleh mereka Capres-Cawapres) di setiap Pemilu yang ada di Indonesia.Saya kira kalimat itu sudah tidak asing terdengar di telinga saya,yang kemudian dalam implementasinya sama sekali nihil "NOL BESAR".Saat ini mungkin saya sedang tidak optimis melihat pasangan Capres-Cawapres di Indonesia. entah sampai kapan, sampai pemilu tiba pun saya belum bisa menjamin saya akan percaya dengan janji-janji mereka atau tidak.
Maaf,Saya hanya ingin kalian (Pasangan Capres-Cawapres) bisa membuat masyarakat percaya dengan apa yang telah kalian ungkapkan sekian lamanya. Dan selebihnya silahkan implementasikan semua yang telah kau setting/rencanakan saat kalian sedang semangat berkampanye!
Share:

Selasa, 09 Juni 2009

Kebebasan & Batasan

Fenomena pembatasan hak bicara di Indonesia
oleh : Achmad Saptono (Panggil;Tino)

Indonesia yang kita tahu menganut sistem demokrasi. Sebuah sistem yang seharusnya bisa membebaskan masyarakat untuk memilih, terlibat dan atau Demokrasi yang sering kita artikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan yang dari rakyat oleh rakyat serta untuk rakyat. Itu memang sebuah definisi Demokrasi yang ideal, akan tetapi dalam pelaksanaannya Demokrasi berjalan pincang. Masih banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat secara sepihak.
Lihat saja, kebijakan menaikkan-menurunkan bahan bakar minyak (BBM), sembako dan lain sebagainya. Apakah pemerintah terlebih dahulu menanyakan kepada warga masyarakatnya secara langsung? Saya pikir, Kebijakkan tersebut hanya tak-tik pemerintah yang ingin mencari-cari keuntungan. BBM/sembako naik membuat masyarakat panik, tak lama kemudian Pemerintah mencoba mengalihkan kepanikan itu dengan memberi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat. Luar biasa trik yang dimainkan sama pemerintah kita itu ya?
Belum selesai masalah itu, muncul permasalahan pembatasan kebebasan pada seorang ibu dari 2 anak : ibu Prita, kita kok kaya hidup beberapa puluh tahun yang lalu ya? kaya jaman orde baru. Jujur, saya juga merasakan dampak dari adanya fenomena Ibu Prita tersebut. saya menjadi ragu ketika menulis di dunia internet, waktu saya menulis tulisan ini pun perasaan saya serasa hidup di jaman orde baru. hhohoww....merindiiing...
Share:

Minggu, 07 Juni 2009

Narsisme



Narsis dikit ah...
poto ini diambil waktu Mas Putu Wijaya maen ke PWT, trus malemnya saya bersama teman-teman )perwakilan) teater2 kampus Purwokerto ngobrol2 sama beliau.
hasil obrolannya antara lain : mencoba untuk menjelaskan tentang konsep teater sutradara, manajemen pementasan, dan banyak obrolan2 cair (sharing) lainnya.
Share:

Resensi naskah Teater (Monolog)

"STOP" Karya Putu Wijaya*
Oleh : Achmad Saptono (Panggil ; Tino)**
STOP merupakan sebuah naskah monolog karya dari seorang sastrawan kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali yang bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya, atau yang akrab dipanggil Putu Wijaya. STOP adalah naskah karya Putu Wijaya yang ke-35. Selain menulis naskah teater, cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya juga sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali dan DOR.
Naskah STOP berhasil diselesaikan oleh Putu pada tanggal 21 oktober 1992 di Kyoto. Naskah ini berangkat dari kegelisahan seorang Putu ketika melihat fenomena yang ada di Indonesia tentang perilaku masyarakat yang "malas". Malas yang dimaksud adalah sebuah sebutan untuk perilaku masyarakat indonesia yang tidak mau bekerja keras, hanya mengharapkan pertolongan orang lain tanpa mempunyai keinginan untuk menolong orang lain. Sebaliknya, di sisi lain istilah malas dalam naskah STOP ini juga menggambarkan tentang perilaku masyarakat indonesia yang mempunyai mental peminta-minta.
Naskah monolog dalam naskah ini diperankan oleh 2 aktor yaitu seseorang yang gendut, kaya dan seorang koki (juru masak) yang kurus kerempeng. Antara kedua aktor tersebut sama sekali tidak terjadi interaksi secara tersurat, koki yang kurus kerempeng sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Openning pada naskah ini diawali dengan sosok aktor seorang gendut yang baru bangun tidur menghadapi meja makan sambil membaca Koran, kemudian koki datang menata meja dan menghidangkan makanan yang amat mewah sebagai sarapan pagi lalu menyalakan televisi. Seorang yang gendut menyaksikan siaran upacara penyerahan anugerah kepada seseorang yang dianggap telah berjasa kepada masyarakat. Penyiar televisi itu memberikan pujian dan menyebutkan jasa-jasa orang yang bersangkutan. Lalu kemudian seketika aktor tersebut kaget dan merobek Korannya kemudian melemparkannya. Sementara koki mengumpulkan kembali robekan Koran itu dan menatanya kembali. Di sisi lain seorang gendut mengucapkan "Amit-amit jabang bayi!!." Hal tersebut menggambarkan bahwa betapa kagetnya seorang gendut ketika melihat siaran anugerah serta pujian-pujian kepada seseorang yang telah berjasa kepada masyarakat. Hal tersebut digambarkan pada naskah di scene pertama dan kemudian diperjelas pada scene kedua, scene pertama tersebut yaitu :
"Orang yang suka menolong orang lain dipuji setinggi langit. Mereka disebut dermawan. Mereka dianggap punya watak sosial. Memiliki rasa kemanusiaan. Tahu aturan hidup kemasyarakatan. Ada kepedulian lingkungan. Bullshit!".

Sedangkan di scene yang kedua, seorang yang gendut itu mengucapkan :
Kepada mereka diberikan penghormatan. Lebih, tanda-tanda jasa atau sertifikat. Kedudukannya di masyarakat terhormat. Diramal punya kans besar masuk pintu surga. Dan akhirnya dilimpahi tanggung jawab lebih banyak lagi, untuk memikul tugas sosial yang bukan kewajibannya.
Minta ampun. Tahukah anda siapa mereka sebenarnya?

Kemudian koki memasang serbet di leher seorang gendut dan mempersiapkan piring, hal ini menggambarkan betapa kayanya seorang gendut tersebut.
Di scene ketiga menggambarkan bahwa sebenarnya ketika ada seseorang yang mau menolong/membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, sebenarnya orang yang menolong tersebut akan mengharap imbalan dari seseorang yang telah ditolongnya. Bahkan bisa jadi imbalan yang diinginkannya itu akan jauh lebih besar dengan apa yang telah ia keluarkan untuk menolong. Perhatikan kutipan naskah di scene ketiga dibawah ini :
"Astaga. Apa daya, ternyata kita temukan orang-orang yang sudah menolong orang itu, rupanya menolong dengan harapan agar nanti pada gilirannya ditolong. Bahkan pertolongan yang diharapkannya jauh di atas modal yang sudah dipinjamkannya".

Kalau dikaitkan dengan teori George Homans, maka perilaku masyarakat tersebut tergolong kedalam teori pertukaran. Menurut Homans dalam teori pertukaran, semakin sering hadiah yang diterimanya, maka perilaku itu pun semakin membosankan. Tapi, ketika reward yang diterimanya tidak teratur, maka ia pun cenderung akan mengulanginya lagi. Hal ini lah yang kemudian menjadi issue besar dalam naskah STOP ini. Di scene keempat, lima dan enam menceritakan tentang proses tolong menolong yang pada dasarnya pasti tidak ada yang tanpa pamrih. Menurut Putu Wijaya dalam naskah ini, setiap orang yang menolong itu pada akhirnya pasti akan mengharapkan imbalan. Menurutnya, menolong untuk kemanusiaan itu sudah lenyap dari kamus. Tak ada lagi menorong untuk orang lain, dan orang lain harus mampu mengurus dirinya sendiri. Hidup kita adalah tanggung jawab kita sendiri-sendiri. Kita sendiri tetap masih memerlukan pertolongan, bagaimana mungkin seseorang yang butuh pertolongan bisa menolong?
Seorang yang gendut itu menikmati makan dan terus berbicara dengan mulut yang penuh makanan.
Scene keempat :
"Mereka bilang bahwa mereka sudah potong salah satu jari mereka, untuk menolong kita. Maka berkoar, mereka sudah memangkas hidup mereka. Semuanya untuk menolong kita waktu sekarat. Tapi kemudian untuk semua kebaikan itu, mereka menghimbau kalau tidak bisa dikatakan memaksa kita untuk memotong kepala kita sebagai balasannya.
Hah! Mereka bukan menolong, tetapi mengijon. Mereka bukan dermawan tetapi bajingan. Mereka tidak perlu dipuja, tetapi mestinya dicerca. Kita mesti murka."

Di scene kelima seorang yang gendut itu berdiri dan koki membuka kimononya, kemudian seorang gendut tersebut berkata :
"Orang tak akan menolong kalau tidak ada jaminan ia akan dapat nyolong. Orang tidak akan main derma kalau tidak mendapat pahala. Orang tidak akan memberi kalau tidak dapat rezeki. Orang tidak akan berkorban kalau tidak mendapat penghormatan. Orang tidak akan menghutang budi kalau tidak ada jaminan semuanya akan kembali. Orang tidak akan peduli nasib kita kalau mereka tidak diam-diam ingin mengibuli. Buktinya, orang tak akan mau menolong orang kalau tak ada jaminan ia akan ditolong orang. Orang menolong orang karena ingin ditolong. Tetapi kalau orang yang sudah menolong orang kemudian ditolong orang, ia merasa itu bukan pertolongan tetapi haknya. Dia akan menuntut lebih banyak dan menganggap semua pertolongan tidak cukup, masih kurang dari apa yang sudah pernah dipertolongkannya."

Di scene keenam, seorang yang gendut itu duduk dan menikmati makan kembali. Pada scene ini pada intinya Putu menegaskan tentang perilaku menolong yang seharusnya tidak usah dilakukan. Karena bagaimana kita akan melakukan pertolongan kalau ternyata kita sendiri masih memerlukan pertolongan dari orang lain. Lalu dengan apa kita menolong orang lain? Dengan simpati, tidak akan mungkin bisa. Siapa yang merasa bisa tertolong hanya dengan simpati? Karena saat ini masyarakat sudah tidak lagi membutuhkan simpati, akan tetapi yang dibutuhkan adalah uang, rumah mewah, mobil-mobil terbaru serta hal-hal materil yang lainnya. Ketika seorang yang gendut tersebut sedang berkata-kata, koki kemudian membawakan minuman dan langsung diminum oleh seorang gendut.
Di scene ketujuh, Putu ingin menjelaskan bahwa perilaku menolong hanya akan memanjakan masyarakat saja. Perilaku menolong akan meng konstruk masyarakat menjadi mempunyai mental peminta-minta. Jadi, pada scene ini Putu menegaskan bahwa seharusnya perbuatan menolong itu tidak cocok dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang notabene sedang berkembang membangun Indonesia yang sudah di cita-citakan. Kutipan naskah pada scene ketujuh tersebut yaitu :
"Jangan menolong anak-anak kecil yang merengek minta kita melakukan apa sebenarnya yang bisa ia lakukan sendiri. Itu namanya memanjakan kebodohan. Jangan menolong pengemis di perempatan jalan yang meminta sambil menyembunyikan ototnya yang masih segar dan anting-anting emas di balik kostum kerenya. Itu namanya membudidayakan kemalasan. Jangan menolong orang yang pintar merayu, lihat akting atau yahud bikin proposal mendayu. Itu menggalakkan kriminalisat moral.
Menolong adalah tabu. Adalah bahaya! Hentikan nyala di dalam hati kecil itu. Menolong bukan perbuatan mulia lagi. Itu penyakit menular, akut dan membunuh. Sekali kena serang sulit sembuh. Menolong adalah perilaku sesat. Watak salah kaprah. Tak cocok buat kita yang sibuk, yang berjuang membina karier, yang mengejar prestasi untuk hidup enak kalau bisa keenakan."

Koki berada di sebelah seorang gendut namun tetap tidak bersuara, kemudian koki memberikan tablet dan langsung ditenggak oleh seorang gendut. Kemudian setelah itu di scene kedelapan, Putu Wijaya kembali mempertegas tentang kritiknya yang meminta agar kita berhenti menolong dengan menunjukan seorang gendut yang terus berkata seolah tampak sedang menggerutu. Lihat kutipan scene kedelapan di bawah ini :
"Jangan berlagak jadi maecenas. Jangan jadi cukong. Tak usah pura-pura jadi Begawan Bhisma. Pahlawan sejati adalah dia yang mampu membawa dirinya ke puncak piramid dan menjadi orang nomor satu. Paling tinggi kedudukan dan paling kaya. Dengan mencapai puncak itu, baru kita bebas untuk memikirkan, sekali lagi, hanya untuk memikirkan untuk menolong tidak untuk melaksanakan ingat, tidak untuk melaksanakannya.
Pahlawan di masa kini, adalah mereka yang berani menolak menolong.
Karena berhutang budi akibat menelan pertolongan, lebih berat dari memikul dosa. Tak semua orang suka ditolong. Daripada salah, lebih baik jangan menolong."

Seorang gendut kembali duduk dan koki kembali menghidangkan makanan baru untuknya. Mulut seorang gendut tampak sangat penuh oleh makanan. Kemudian dengan emosi yang memuncak (klimaks) seorang gendut menekankan perkataannya yang ada pada Scene kesembilan, yang merupakan sekaligus scene terakhir dalam naskah ini. Scene ini benar-benar bagian klimaks, mengandung pesan yang penting untuk disampaikan kepada para audiens. Dengan tegas Putu menghimbau dan meminta kepada masyarakat untuk tidak menolong orang lain. Lihat kutipan dibawah :
"Jadi dengar! Kalau sedang menolong, putuskan sampai di situ saja. Kalau sedang dimintai tolong, bilang tidak bisa. Telepon berdering jangan diangkat. Atau bilang sedang tugas ke luar kota! Tak usah ragu. Jauhkan hidup dari orang yang perlu pertolongan. Bencana di Nigeria, itu masalah dunia. Bencana di rumah tetangga, itu urusan Pak RT. Bahkan bencana keluarga, itu urusan paman-paman yang lain. Masih banyak orang lain, masak kita semua. Tak usah jadi orang baik. Hidup realistik saja. Kita ini mahluk biasa. Jangan mau pikul beban orang lain. Orang kata egois biarin. Asosial, masa bodo. Kemaruk, peduli amat. Yang penting kenyang dan aman tujuh turunan.
Itulah suara hati nurani anak cucumu. Karena suara hati nuranimu sendiri tidak perlu!"

Ending pada naskah STOP ini diakhiri dengan penggambaran seorang gendut yang mengangkat gelas serta meminumnya dengan nikmat. Lalu koki mengangkat tempat air dan memukul kepala orang gendut. Setelah itu koki menusuk orang gendut dengan pisau dan juga garpu. Tidak hanya itu, koki kemudian menghajar orang gendut dengan menumpahkan seluruh isi meja ke atas badannya. Setelah itu koki mengelap, membersihkan tangannya dan kemudian menyalakan televisi, berdiri di depan televisi dengan nampak sopan. Dalam acara televisi itu muncul siaran orang gendut yang tadi makan itu sedang diberi anugerah dengan iringan musik yang bersemangat.
Secara keseluruhan dalam naskah ini, menurut penulis terdapat beberapa pernyataan yang dapat dijadikan sebagai "pesan" dari Putu ketika menciptakan karya STOP ini :
1)Menolong adalah perbuatan yang tidak baik, maksudnya adalah ketika orang yang menolong itu selalu dipuja-puja. Dalam hal ini saya sepakat, karena dengan dipuja-puja maka pertolongan yang diberikan itu menjadi Riya atau tidak ikhlas. Menolong menjadi hal yang tidak baik, ketika yang ditolong itu ternyata “masih mampu” namun pura-pura tidak mampu).
2)Menolong menjadi perbuatan yang baik. Ketika orang yang melakukan pertolongan itu bisa ikhlas tanpa memperhitungkan untung dan ruginya.

*Tulisan ini pernah di presentasikan dalam perkuliahan sosiologi sastra
**Adalah Mahasiswa Sosiologi FISIP-UNSOED yang juga anggota teater SiAnak FISIP UNSOED Purwokerto.
Share:

Senin, 01 Juni 2009

Belajar Baca Puisi ala Poetry Reading

Melalui Latihan Dasar Teater
Oleh : Achmad Saptono (Panggil ; Tino)*


Dalam membacakan puisi, dikenal dengan tiga gaya, yaitu gaya potery reading, gaya deklamatoris, dan gaya teaterikal. Teknik pembelajaran membacakan puisi yang akan diuraikan adalah teknik membacakan puisi dengan gaya poetry reading. Teknik pembelajaran membacakan puisi ini dilakukan secara berkesinambungan. Teknik ini dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan metafisika. Keduanya merupakan perpaduan yang diperlukan dalam membacakan puisi. Kedua pendekatan ini diaplikasikan dalam bentuk latihan-latihan dasar yang akrab dalam kehidupan berteater.

Adapun teknik pembelajaran membacakan puisi terpapar sebagai berikut :
I. Pendekatan Struktual
Sebelum melakukan pendekatan ini, siswa diharuskan untuk mencari puisi yang akan dibacakan. Siswa boleh memilih satu puisi dari berbagai macam sumber.
a. Membaca berulang-ulang
Tahap ini merupakan tahap mengenali bentuk puisi. Dengan membaca berulang-ulang, akan diketahui bentuk puisi berikut makna yang hendak disampaikan penyair. Tipografi puisi dapat digali hingga menemukan maksud penyair.

b. Memberinya jeda
Setelah memahami bentuknya, berilah tanda jeda agar memperoleh rima yang enak didengar saat membacakan puisi nanti. Tanda jeda (/) diletakkan di antara kata yang hendak dipisah pelafalannya. Harapanya, dengan pemberian tanda jeda, dapat mempermudah untuk menyampaikan isi dari puisi kepada pendengar (penonton). Dengan pemenggalan tanda yang tepat, setidaknya makna yang disampaikan lebih baik.

c. Mencari alur
Setiap karya sastra yang baik, tentu memiliki alur cerita yang ditandai dengan puncak alur sebagai konflik. Dalam puisi, penulis melihat adanya puncak konflik itu. Dengan menemukan alur, puisi dapat dibacakan secara tepat. Pembaca puisi harus bisa membedakan suara ketika sedang membacakan bait-bait yang merupakan penciptaan konflik, konflik, hingga penyelesaian konflik. Dengan demikian, siswa akan mengetahui bait-bait mana yang harus dibcakan secara maksimal.

d. Memahami makna secara intensif
Setelah melakukan tahapan di atas, tahapan terakhir adalah tahapan yang memerlukan waktu cukup lama untuk menafsirkan kembali makna puisi. Penafsiran ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses perenungan banyak terjadi di sini. Tidak cukup 10-20 menit untuk mencari “nyawa” dari puisi yang dipilih, melainkan bisa memakan waktu 2-3 hari. Pada awal tahap ini harus dilakukan secara serius, kemudian boleh dilakukan di sela-sela aktivitas sehari-hari, misal sambil makan.

II. Pendekatan Latihan Dasar Teater
1. Pemanasan
Latihan pemahasan diperlukan untuk membuat kondisi tubuh yang lelah menjadi bugar. Senam pemanasan ini bisa dimulai dengan
1. gerakan kepala; menoleh kanan kiri, atas bawah, dan berputa
2. senam mimik: ekspresi menangis, tertawa, melongo, sinis, kejam, dll,
3. gerakan tangan: membentuk huruf S, lengan dibuka dan ditutup, dll
4. gerakan kaki; diangkat ke depan, ke kanan, ke kiri, dll. bergantian dari kaki kanan dan kiri
5. ditutup dengan berlari-lari kecil.
Senam ini dapat dikreatifitaskan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki fasilitator, dalam hal ini guru.

2. Olah napas
Dalam pernapasan, dikenal pernapasan dada dan perut. Kedua jenis pernapasan ini harus dipadukan untuk memperoleh kualitas vokal dan penghayatan yang memerlukan perpaduan lagi dengan detak jantung dan imajinasi.
1. Siswa diminta untuk mengambil napas kecil, kemudian mengeluarkannya
2. Setelah dirasa cukup, siswa diminta untuk menarik napas dan menyimpannya dalam dada, kemudian mengeluarkannya dengan pelan-pelan
3. Siswa diminta mengambil napas dengan 3hitungan, diminta menahannya dengan 3 hitungan, dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan dengan hitungan 3 juga (Melakukan pernapasan segitiga)
4. Latihan berikutnya ditingkatkan menjadi 5 hitungan, 7 hitungan, 9 hitungan, dan semampunya.
5. Setelah dirasa cukup, siswa diminta melakukan proses nomor 2-4 dengan menyimpannya di perut.
6. Siswa diminta mengambil napas terengah-engah dengan berbagai posisi, misal dengan posisi terlentang atau berdiri
7. (langsung dilanjutkan olah vokal)
3. Olah vokal
1. Kemudian siswa diminta berbisik dengan mengucapakan beberapa larik puisi.
2. Setelah itu, diminta berteriak hingga artikulasi dan intonasinya tepat dan terdengar dalam jarak sesuai dengan ukuran proporsional. Misal aula, suara siswa harus terdengar hingga di sust belakang aula.
3. Siswa kemudian diminta untuk menilai satuan suara (desible) milik temannya ketika berbisik maupun berteriak dengan dua pilihan, yaitu sama atau berbeda desible-nya. Setiap siswa berpasangan dan melakukannya secara bergiliran
4. Setelah mengetahui kapasitas desible temannya, setiap siswa diwajibkan untuk dapat mengetahui berapa keras, lantang, dan lembut suaranya agar terdengar sesuai dengan kapasitas proporsi ruang (jika dilakukan dalam ruangan)
5. Siswa diminta untuk mengucapkan beberapa larik dalam bait-bait puisi di dalam ruang dan di luar ruang.

Latihan olah napas dapat melibatkan kelompok silat olah pernapasan. Sedangkan latihan vokal dapat melibatkan kelompok paduan suara yang lebih memahami tentang olah vokal yang baik. Paling tidak, teknik dan materinya tidak menyimpang jauh dan usefull.

4. Konsentrasi
Pada tahap ini, konsentrasi merupakan salah satu latihan dasar dalam membacakan puisi. Hal ini akan sangat bermanfaat ketika performansi nantinya. Membacakan puisi bukan membaca puisi untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. Jadi proses membacakan puisi dilakukan di hadapan orang lain. Untuk itulah, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk mengatasi segala rangsangan yang bisa mengganggu proses pembacaan puisi.
Adapun langkah-langkah untuk melakukan latihan dasar konsentrasi adalah
1. siswa diminta untuk menanggalakn semua aksesori yang mengikat di tubuh, seperti arloji, gelang, dll. Upayakan mereka juga mengendurkan ikat pinggang. Jika mereka memakai sepatu, sebaiknya dilepas berikut kaos kakinya.
2. semua siswa diminta untuk mencari posisi yang sangat rileks. Hal ini dilakukan agar aliran darah yang mengalir dari jantung berjalan sangat lancar dan membuat tubuh bugar. Siswa diperbolehkan untuk duduk hingga merebahkan diri. Namun siswa harus diingatkan agar jangan sampai tertidur karena terbawa oleh hawa. Konsentrasi bukan mengosongkan pikiran, tetapi memusatkan perhatian pada satu titik. Pikiran jangan sampai kosong sebab akan sangat rawan dimasuki oleh “roh ghaib”, terlebih dilakukan di tempat yang rawan.
3. ajaklah siswa untuk memejam mata agar lebih mudah melakukan konsentrasi
4. siswa diajak untuk memusatkan pikiran dengan cara mendengarkan suara-suara yang paling jauh
5. jika dirasa bahwa siswa sudah dapat memusatkan pikiran pada pikiran yang jauh, siswa diajak untuk mencari dan memusatkan pikiran dengan mendengarkan suara-suara yang jauh dengan cara mengidentifikasi bunyi dan mengakrabinya
6. setelah itu, siswa diajak untuk mencari dan memusatkan perhatian pada suara-suara yang dekat dengan mereka. Biarkan mereka mengidentifikasinya dan mengakrabinya
7. setelah dirasa cukup, ajaklah siswa untuk mencari, mendengarkan, dan memusatkan perhatian pada suara yang sangat dekat, yaitu detak jantungnya. Biarkan mereka berkonsentrasi pada detak jantungnya. Ajaklah mereka untuk benar-benar merasakan detak jantungnya mulai dari gejala berdenyut, berdenyut hingga efek yang ditinggalkan setelah denyut itu selesai dan menuju ke denyut selanjutnya. Biarkan mereka mengakrabinya Usahakan agar aliran darah mengalir dengan lancar. Jika ada salah satu bagian tubuh, misalnya siku atau lutut, ditekuk, maka akan menyebabkan aliran darah tidak lancar dan menyebabkan kejang (Jawa: keram)
8. (langsung dilanjutkan latihan imajinasi)

5. Imajinasi (Penghayatan)
1. memberikan kesadaran bahwa denyut jantung sesungguhnya memompa darah ke seluruh tubuh.
2. memberikan kesadaran bahwa dengan mengendalikan detak jantung yang dipadukan dengan napas mampu membawa pada suasana yang diinginkan
3. mengajak siswa berkonsentrasi pada area kepala dengan fokus mata. Bahwa mata yang dimiliki memiliki potensi untuk melirik, melotot, terpejam, dll. Siswa diajak berimajinasi tentang apa yang terjadi di dalam puisi yang telah dipilih. Siswa diminta agar berimajinasi terhadap puisi tersebut. Bagaimana gerakan bola mata yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi.
4. setelah dirasa cukup, siswa diajak untuk berkonsentrasi pada mulut. Sama dengan mata, mulut juga memiliki potensi untuk bisa maksimal. Mulut bisa untuk melongo, menguap, tertutup, dll. Siswa diajak berimajinasi tentang apa yang terjadi di dalam puisi yang telah dipilih. Siswa diminta agar berimajinasi terhadap puisi tersebut. Bagaimana gerakan bibir yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi. Bibir memiliki potensi yang maksimal jika diolah dengan baik.
5. setelah dirasa cukup, siswa diajak untuk memadukannya dengan gerak wajah (mimik). Siswa diminta berkonsentrasi pada bentuk mimik. Siswa diminta agar berimajinasi terhadap puisi tersebut. Bagaimana bentuk mimik yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi. Mimik memiliki potensi yang maksimal jika diolah dengan baik.
6. setelah dirasa cukup, siswa diajak untuk memadukannya dengan gerak kepala. Siswa diminta berkonsentrasi pada gerakan kepala. Siswa diminta agar berimajinasi terhadap puisi tersebut. Bagaimana gerakan kepala yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi. Kepala memiliki potensi yang maksimal jika diolah dengan baik.
7. Siswa kembali diminta untuk berkonsentrasi pada bagian tengah dari tubuh, khusnya bagian atas punggung (Jawa: pundak). Bagaimana gerakan punggung yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi. Punggung memiliki potensi yang maksimal jika diolah dengan baik.
8. Siswa diajak berkonsentrasi dan berimajinasi pada bagian tangan. Siswa diminta untuk tetap berimajinasi pada puisi yang telah dipilih. Bagaimana gerakan punggung yang maksimal dalam berekspresi nanti ketika membaca puisi. Tangan memiliki potensi yang maksimal jika diolah dengan baik.
9. (langsung dilanjutkan dengan latihan ekpsresi)

6. Ekspresi
1. jika dirasa cukup, siswa diminta untuk membayangkan jika seandainya mereka benar-benar menyaksikan peristiwa tersebut bahkan mengalaminya sendiri
2. upayakan agar mereka bisa “lepas” dalam menghayati. Biarkan mereka menangis bahkan tertawa. Usahakan agar tidak mengeluarkan kata-kata terlebih dulu.
3. biarkan siswa larut dan mengekspresikannya dengan larik-larik dalam puisi yang diingat
4. jika siswa sudah lepas, minta mereka perlahan-lahan mengendalikan ekspresi itu
5. jika siswa sudah bisa mengendalikan, siswa diminta untuk mengambil nafas pelan-pelan kemudian mengeluarkannya. Lakukan secukupnya.
6. jika siswa dalam kondisi yang tenang, siswa diminta untuk menggerakkan jari-jemari tangan dengan pelan-pelan dan merasakannya dari kondisi sebelum digerakkan, bergerak, hingga sudah digerakkan. Siswa diminta untuk merasakan angin yang melewati tangan.
7. lakukan proses yang sama dengan jari-jemari kaki
8. setelah dirasa cukup, semua siswa diminta untuk membuka mata perlahan-lahan dan menyadari bahwa tubuhnya masih terdapat di tempat yang menjadi latihan tadi, misalnya aula, tempat parkir, kelas, dll.
9. untuik mengekspresikan semua kepenatan yang ada dalam jiwa, dalam hitungan ketiga, semua siswa diminta untuk mengambil napas dan mengeluarkannya dengan teriakan “hah”.

Setelah melakukan teknik latihan di atas, semua siswa dminta untuk membacakan puisi di depan siswa yang lain. Beberapa catatan yang perlu diingat adalah
1. membaca puisi berbeda dengan membacakan puisi. Membacakan puisi dilakukan untuk orang lain. Jadi, makna yang terdapat dalam bentuk puisi disampaikan semaksimal mungkin agar isi puisi bisa “sampai” di penonton.
2. seseorang yang membacakan puisi harus benar-benar memahami makna yang terkandung dalam puisi tersebut atau dengan istilah menemukan nyawa puisi. Jika ada orang yang membacakan puisi tanpa memahami makna puisi tersebut, maka tidak ada bedanya dengan orang gila yang sedang kesumat.
3. penghayatan dan ekspresi harus total, namun emosi tetap terkontrol. Jika ekspresinya dilepas begitu saja, maka emosi tidak terkontrol dan proses pembacaan puisi akan terganggu karena pembaca puisi asyik dengan emosinya sendiri. Akibatnya isi puisi tidak sampai pada penonton.
4. intonasi dan artikulasi dalam membacakan puisi harus dilatih lebih intensif. Karena dua hal inilah yang menjadi faktor utama dalam mengantarkan kata-kata untuk menyampaikan makna dari penyair menuju ke penonton melalui transkata dari pembaca puisi
5. dalam membacakan puisi, dapat memakai metode ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Namun pada akhirnya nanti, setiap siswa harus memiliki karakteristik sendiri dalam membacakan puisi, atau lazim dikenal dengan istilah be your self.
6. rambu-rambu guru: 1) makna harus bisa ditemukan sendiri oleh pembaca. Kalau pun tidak memahami, guru sebaiknya jangan mendikte bahwa larik tertentu harus dibaca seperti ini. Biarkan siswa menemukan makna dan mengungkapnya sesuai dengan selera. Di Akhir, guru diperkenankan memberikan apresiasi terhadap ciri khas pembacaan puisi dari siswa, dan 2) diupayakan agar siswa dapat menemukan sendiri bait-bait mana yang merupakan konflik dan mungkin harus dibaca lebih tajam. Guru jangan mendikte cara membaca bait-bait tertentu. Hal ini berakibat bahwa siswa kadang kurang nyaman dalam membaca karena memenuhi selera (apresiasi guru)
7. semoga sukses n semoga bermanfaat.


*Penulis adalah anggota teater SiAnak FISIP-UNSOED Purwokerto.
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers