"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Kamis, 30 Juli 2009

Realitas Pendidikan

"BHP (badan hukum pendidikan) ; salah satu indikasi Komersialisasi Pendidikan"
Oleh : Achmad Saptono (Panggil; Tino)

”Dimurahin lagi… Dimurahin lagi… Cuci gudang… Cuci gudang… bagi yang kurang mampu, silahkan bisa diangsur!!”

Kalimat-kalimat itu yang selalu saya ingat ketika berbicara tentang kondisi pendidikan saat ini. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia sudah seperti barang dagangan yang diobral. Mereka yang punya uang akan dengan mudahnya mendapatkan pendidikan, sebaliknya mereka yang tidak mampu akan dengan mudahnya teralienasi dari pendidikan. Mungkin saat ini kapitalisme sedang tertawa lebar, diatas kursi mewahnya melihat kondisi pendidikan Indonesia yang berhasil mereka kuasai.
Memang sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi, bahwa kenyataannya pendidikan di Indonesia ini sangat mahal dan tidak sebanding dengan kualitas serta pelayanannya. Kurikulum yang berganti-ganti dalam jangka waktu yang menurut saya sangat cepat misalnya, dampaknya adalah pendidik dan peserta didik dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang ada/baru serta meninggalkan kurikulum yang lama. Salah satu contoh : guru atau murid yang sedang membaca atau mempelajari salah satu buku kurikulum KBK (kurikulum berbasis kompetensi), belum selesai buku itu dipelajari kemudian harus berganti mempelajari buku kurikulum KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Hal ini yang kemudian menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang tidak mampu untuk membeli buku-buku baru, yang notabene harga buku sekarang sudah melebihi harga 1 kilogram beras di pasar. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin semua peserta didik mampu membeli buku tersebut?
Belum selesai permasalahan kurikulum, ditambah lagi munculnya permasalahan kebijakan baru dari pemerintah yang mengganti status perguruan tinggi negeri menjadi BHP-BHMN (badan hukum pendidikan-badan hukum milik Negara). Berdasarkan UU Sisidiknas No 20 tahun 2003 tentang Badan Hukum Pendidikan, pasal 53 ayat 1 Badan Hukum Pendidikan adalah penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Berdasarkan UU No 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 : Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Dalam Bab II tentang Fungsi, Tujuan dan Prinsip Pasal 3 : Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
Adanya undang-undang BHP artinya saat ini pemerintah sudah tidak lagi bercampur tangan dalam hal pendanaan. Dengan dalih ingin memajukan pendidikan nasional dengan cara otonomi/desentralisasi pendidikan akhirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari mana lagi pendanaan pendidikan diperoleh kalau bukan dari peserta didik/masyarakat yang terlibat dalam institusi pendidikan tersebut. Makanya, tidak heran ketika banyak berita yang beredar bahwa : "harga sebuah kursi di sebuah perguruan tinggi negeri sampai mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah", dan jangan heran ketika untuk masuk sekolah menengah bahkan sekolah dasar saat ini membutuhkan dana ratusan ribu bahkan puluhan juta rupiah.
Di dalam UU BHP No 9 Tahun 2009 pasal 41 ayat 4 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Demikian pula halnya pada Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
Perubahan status menjadi badan hukum pendidikan akhirnya benar-benar mengarahkan pendidikan pada komersialisasi pendidikan. Hal ini yang menurut Paulo Freire disebut dengan pendidikan yang tidak humanis, pendidikan yang tidak mampu memanusiakan manusia. Padahal terlaksananya pendidikan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah suatu negara (sebagaimana yang telah diamanahkan dalam UUD RI 1945). Dilihat dalam jangka panjang, bentuk Badan Hukum Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat dalam Undang-undang BHP No 9 Tahun 2009 pasal 57. BHP menjadikan institusi pendidikan seperti sebuah perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.
Demikianlah realitas pendidikan kita saat ini, adanya perubahan status Perguruan Tingi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan merupakan salah satu indikasi terjadinya komersialisasi dalam lembaga pendidikan di indonesia. Proses jual-beli tidak lagi hanya terjadi di pasar atau supermarket akan tetapi di dalam dunia pendidikan pun saat ini sudah semakin akut dengan unsur-unsur kapitalisme. Saya kira wacana ini perlu untuk teman-teman mahasiswa baru 2009 ketahui, bahwa seperti itulah kenyataannya pendidikan kita.
Share:

Senin, 27 Juli 2009

Tak Ramah Lagi

Desaku tak ramah Lagi
bising deruh mesin pabrik menggunjing
udara yang kuhirup tak lagi bersih
desaku kini...

kemana anak desa main bersama?
kemana anak desa mandi di kali?
aku rindu desaku yang dulu ramah
aku rindu burung-burung bernyanyi
desaku kini...
tak ramah lagi

Aku merasa desaku hilang
desaku yang bersih dari polusi dan limbah
aku merindukan anak-anak berlari
bermain bersama sambil bernyanyi

25 juli 2009,
Pagi hari
Share:

Sabtu, 04 Juli 2009

NEOLIBERALISME, KAPITALISME DAN MASYARAKAT

(Pengaruh Neoliberalisme dan Kapitalisme Terhadap Pola Hidup Masyarakat (Konsumerisme) )

Oleh : Achmad Saptono


Latar Belakang

Kapitalisme tumbuh dan berkembang semakin pesat dengan didorong oleh hukum-hukum progresif dalam dirinya yaitu kebuasan akumulasi modal yang menerjang semua Negara di belahan bumi ini. Pada tingkat lanjut, ketika di dalam negerinya sendiri sudah terlalu sesak untuk mengembangkan kapitalnya maka kapitalisme membutuhkan ruang dan tempat untuk produksi sekaligus distribusi segala kapital yang dihasilkan. Di sinilah sejarah imperialisme mulai tumbuh dan berkembang. Imperialisme merupakan perkembangan tingkat tertinggi dari wajah kapitalisme. Pada teori dan praktiknya, sejarah kolonialisme di Indonesia merupakan bagian dari wujud perkembangan imperialisme terutama dalam mengembangkan tanah-tanah koloni di Negara-negara berkembang. Istilah imperialisme yang sebenarnya sudah akrab di tahun kira-kira 1850-1860, yang dipakai untuk menjelaskan dan menerangkan penyebaran kapitalisme inggris dan kemudian Negara-negara Eropa lainnya ke seluruh dunia pada abad ke-19 .
Max Weber, dalam “The protestant Ethics and the Spirit of Capitalism”, mendukung gagasan, semangat, dan mentalitas kapitalisme yang bersumber dari ajaran agama. Manusia ditunjukkan sebagai homo economicus, yaitu konsep yang dari dulu hingga sekarang dalam hal penugasan kehidupan ekonomi adalah sesuai. Bahwa tujuan hidup adalah mendapatkan kemakmuran dan kekayaan yang digunakan untuk tugas melayani Tuhan. Weber mengambil ajaran Benyamin Franklin sebagai poros berkembangnya mentalitas kapitalis, yaitu sikap memperhatikan kehidupan dengan berlaku hati-hati, bijaksana, rajin, dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis. Segi utama dari kapitalisme modern adalah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat terhadap pemakaian untuk bermewah-mewah. Prinsip ini mengungkapkan suatu tipe perasaan yang erat hubungannya dengan pemikiran keagamaan. Selanjutnya Weber menunjukkan suatu masyarakat yang sudah diwarnai oleh sifat mental kapitalis akan nampak pada kehidupan yang diarahkan pada alat produksi pribadi, perusahaan-perusahaan bebas, penghematan uang, dan mekanisme persaingan dan rasionalisasi pengelolaan bisnis .
Sifat mental kapitalis masyarakat saat ini semakin diperjelas dengan kondisi masyarakat yang lebih mementingkan gaya hidup "Life Style", fashion serta pola hidup masyarakat yang mengarah kepada konsumerisme. Baudrillard, salah satu tokoh postmodern menjelaskan bahwa dalam sebuah dunia yahng dikontrol oleh kode, persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya kita kenal sebagai "kebutuhan". Ide kebutuhan berasal dari pembagian subjek dan objek palsu; ide kebutuhan diciptakan untuk menghubungkan mereka. Berawal dari ide kebutuhan tersebut yang kemudian membawa masyarakat ke arah pola hidup konsumen. Bagi orang awam, dunia konsumsi tampak pada permukaan dan benar-benar sebuah kebebasan. Bagaimanapun, jika kita memiliki uang (atau mungkin lebih baik dari hari ini, kartu kredit), kita sepertinya bebas membeli apapun yang kita inginkan. Namun tidak dapat dipungkiri kita bebas mengkonsumsi hanya sebagian kecil objek tanda yang berbeda. Parahnya, dalam konsumsi kita merasa sangat unik, bahkan kenyataannya kita sangat menyerupai orang lain dalam kelompok sosial kita; anggota dari kelompok yang mengkonsumsi sesuatu yang persis sama . Dampak-dampak yang berpengaruh terhadap pola hidup masyarakat itulah yang kemudian menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini. Kapitalisme yang berubah bentuk menjadi neoliberalisme yang akhirnya mengkonstruk budaya konsumerisme masyarakat pada umumnya.

Permasalahannya adalah…

Adanya faham Liberalis-Keyensian yang kini disebut dengan Kapitalisme dan Neoliberalisme di Indonesia menyebabkan adanya globalisasi besar-besaran. Masyarakat semakin mengalami ketergantungan, serta masyarakat hanya menjadi penikmat, pemakai yang dalam hal ini disebut dengan istilah pola hidup konsumerisme. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan pola hidup konsumerisme pada masyarakat tersebut? Konsumerisme yang seperti apa?


Pembahasan

Neoliberalisme sebagai gagasan sudah dikenal sejak tahun 1930-an. Sebagai bagian dari perkembangan pemikiran ekonomi kapitalisme, konsep ini adalah kelanjutan dari konsep liberalisme. Sedangkan kapitalisme sendiri, lebih kita definisikan sebagai formasi sosial. Liberalisme klasik, neoliberalisme, Keynesian dan sebagainya adalah konsep tentang mekanisme dalam formasi tersebut, khususnya yang berkenaan dengan pokok-pokok kebijakan ekonomi.
A. Kapitalisme, Neoliberalisme dan Agenda yang diusung
Neoliberalisme dan kapitalisme tidak hanya Negara-negara eropa, akan tetapi juga sudah semakin mengakar di Negara Indonesia. Anthony Giddens menyatakan kalau modernitas disangga oleh kekuatan kapitalisme, negara bangsa, organisasi militer dan industrialisasi. Kapitalisme merujuk pada sejumlah prinsip struktural yang mendasari praktik akumulasi modal dalam konteks pasar produksi dan tenaga kerja yang kompetitif. Hal ini menunjukkan betapa kapitalisme sangat berorientasi kepada keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme membawa dunia pada sistem perekonomian yang tunduk pada norma serta aturan pasar. Terobosan kapitalisme adalah membentuk sistem pasar yang hegemonik dimana kekuasaan privat juga memiliki kemampuan untuk mencipta pengaruh pada kawasan publik. Mengapa kekuatan kapitalisme bisa sejauh itu dampaknya?
Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam menciptakan keteraturan ekonomi . Melaluinya, kapitalisme melakukan klasifikasi antara nilai guna dengan nilai tukar yang ada pada setiap komoditi. Ukuran riil dari nilai tukar komoditi, harus dilihat dari kondisi pertukaran, dimana 'ukuran riil' dari nilai komoditi adalah kuantitas dari kerja yang berada dalam barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar.
B. Kapitalisme, Neoliberalisme dan Dampaknya bagi Dunia
Bagi neoliberalisme, ideologi ‘kesejahteraan bersama’ dan ‘pemilikan komunal’ seperti yang dianut oleh kebanyakan masyarakat tradisional, dianggap sebagai rintangan untuk mencapai agenda utama neoliberal. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras menghambat kedua faham itu dengan berbagai argumen dan promosinya. Akibatnya mereka memaksa untuk menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam pada para pakar, bukan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat tradisional setempat yang dianggap tidak mampu mengelola secara efisien dan efektif. Padahal justru masyarakat adatlah yang sudah berpengalaman dan memiliki kearifan lokal (local wisdom), serta mengenal secara turun temurun karakter sumber daya alam yang berkembang di sekitar wilayah ingkungannya.
Jadi suatu negara yang sudah menganut faham neoliberalisme dan mengikuti arus globalisasi ekonomi secara ringkas terlihat bila negara hanya mengembangkan pola-pola sebagai berikut (Jhamtani, 2005, yang mengutip IFS report 2002): (1) Pertumbuhan tinggi (hypergrowth) dan eksploitasi sumber daya alam serta lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, (2) Swastanisasi (privatisasi) pelayanan publik, (3) Penyeragaman (homogenisasi) budaya dan ekonomi global serta promosi konsumerisme, (4) Integrasi dan konversi ekonomi nasional, dari swasembada menjadi berlandasakan pada pasar, (5) Deregulasi korporat dan perpindahan modal lintas-batas negara tanpa penghalang atau pembatas, (6) Pemusatan korporasi menjadi segelintir perusahaan besar saja, (7) Penghapusan bantuan atau subsidi program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pelayanan sosial lainnya, dan pemeliharaan lingkungan hidup, karena dianggap sebagai biaya, (8) Penggusuran kekuasaan negara demokrasi dan masyarakat lokal oleh birokrasi korporasi global.
C. Pola Hidup Konsumerisme Masyarakat
Konsumerisme merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.
Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Konsumerisme berkaitan dengan "kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas tanda objek konsumsi" (Baudrillard, dalam Poster, 1988: 25). Tanda objek dan kode etika ketika ia berperan, tidak "nyata". Dari sudut pandang ini, jika kita membeli sebuah Big Mac di McDonald, kita tidak (hanya, sebagian besar) membeli makanan saja, tetapi kita lebih memperoleh apa yang Big Mac tandakan mengenai kita (misalnya, kita adalah bagian dari orang yang sibuk, masyarakat aktif atau kita tidak diperbolehkan makan daging sapi yang tebal dan empuk).
D. Konsumerisme Mengkonstruk Masyarakat Instant dan ketergantungan
Dalam dunia konsumerisme, dunia yang diproduksi dan disebarluaskan setiap hari, setiap saat, adalah dunia keindahan, eksotika, kecantikan, roman, harmoni keluarga, dan lain-lain yang serba elok. Kita hidup di zaman di mana kenyataan sehari-hari telah mengalami "estetikasi" atau "proses pengindahan". Televisi, iklan, majalah-majalah wanita adalah agen-agen yang membuat hidup di sekeliling kita "indah" belaka. Gambaran perempuan cantik adalah tinggi, langsing, putih dan berambut lurus. Hal ini mendesak kesadaran kita, bahwa pada kenyataannya: lihatlah baik-baik wajah dan tubuh kita di cermin. Jangan-jangan kita akan berdecap: "Iya ya, rambut saya kayaknya perlu di-rebounding.” Dari model kecantikan dan ketampanan, keluarga, harmoni, kehidupan ekonomi, cara memperoleh uang banyak (serba mudah, seperti ditunjukan kuis-kuis televisi), penampilan, semua mengalami estetikasi.
Pada dunia konsumsi, itu semua melatarbelakangi bagaimana proses orang membeli atau mengonsumsi sesuatu dan kemudian bereksistensi. Kita membeli sesuatu bukan semata-mata karena urusan butuh, lalu mempertimbangkan secara rasional ukuran-ukuran ekonomi menyangkut harga dan nilai barang itu, gunanya, dan sebagainya. Sebaliknya, ada dimensi yang sifatnya lebih emosional dalam urusan membeli dan mengonsumsi sesuatu ini, karena di situ juga ada persoalan "identitas". Pada merek pakaian yang kita pakai itulah, kita seolah menemukan identitas diri, juga pada rumah, kosmetik, minyak wangi, mobil, mal atau plaza yang kita kunjungi bahkan juga pengalaman. Bunyi filsafat lama Descartes "aku berpikir maka aku ada" telah berganti menjadi "aku membeli, maka aku ada...."
Dalam hal menjalani pengalaman hidup manusia kontemporer, pengalaman nongkrong di Kafe pasti dianggap berbeda dibanding makan Jagung bakar di jalan H.R.Boenyamin. Piknik ke Mall atau Careffure jelas berbeda dengan piknik ke tempat wisata Baturaden Sekarang, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru tidak lama lagi. Yang pertama-tama membunyikan beduk atau lonceng peringatan akan tibanya hari besar yang dinanti banyak orang itu adalah pusat-pusat perbelanjaan, mal, dan toko-toko. Segera pusat-pusat perdagangan memasang spanduk-spanduk dan banner bahwa lebaran, natal, tahun baru akan segera tiba. Mereka menawarkan berbagai produk, dan segera pula akan disertai perang diskon. Dalam hal ini -apa boleh buat- kita memang sudah terbiasa dengan keadaan bahwa semua hal termasuk Hari Besar itu mengalami proses komersialisasi. Lagu-lagu relijius yang Islam atau Kidung Natal yang datang duluan, bukanlah lagu yang menyentak nilai spiritual kita, melainkan jingle iklan para pedagang yang menyuruh kita untuk segera berbelanja. Banyaknya media yang berhasil dikuasai oleh Kapitalisme-Neoliberalisme di indonesia termasuk iklan dalam berbagai media masa menjerat seluruh lapisan masyarakat agar menjadi pengonsumsi produk-produk yang ditawarkannya. Dengan jargon lebih cepat, mudah, murah dan lain sebagainya mereka mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tidak aneh, jika saat ini banyak masyarakat yang mulai menyukai produk-produk Kapitalisme-Neoliberalisme. Budaya ketergantungan masyarakat terhadap kapitalisme-neoliberalismne semakin diperjelas dengan fenomena masyarakat yang belanja di Supermarket. Berdasarkan observasi yang dilakukan, orang-orang yang berbelanja di Supermarket rata-rata tidak semuanya membeli barang-barang yang sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Misalnya : Saya pergi ke Supermarket, sebelumnya hanya ingin membeli air mineral; sesampainya di dalam supermarket saya tertarik dengan makanan atau cemilan yang tersedia, maka akhirnya saya membeli banyak makanan atau cemilan tersebut.
Penutup
Pandangan seorang pemikir tentang para tirani dapat dipakai untuk menggambarkan dosa kapitalisme neoliberalisme terhadap umat manusia saat ini. Dikatakannya bahwa "Kejahatan mereka yang terbesar bukanlah karena mereka telah menindas dan menyengsarakan hidup kami, melainkan karena mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara yang jahat." Adanya kapitalisme dan neoliberalisme telah mengakibatkan pengambilan hak-hak ekonomi banyak orang di seluruh dunia; Kapitalisme dan Neoliberalisme menghabiskan banyak sumber daya alam dan merusak lingkungan; Kapitalisme telah menyengsarakan hidup banyak manusia. Keberhasilan kapitalisme dan neoliberalisme terlihat pada mencitrakan pola konsumsi yang metropolis, gaya hidup global (budaya pop) yang cukup mengejutkan.
Pola hidup masyarakat yang lebih memilih untuk menjadi konsumen adalah salah satu bentuk keberhasilan dari Kapitalisme dan Neoliberalisme. Bukan hanya itu, saat ini banyak masyarakat yang lebih suka kepada budaya global yang notabene lebih mementingkan penampilan serta gaya hidup kebarat-baratan (Life-style).

Referensi :
Ritzer, George, 2003. TEORI SOSIAL POSTMODERN, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Rizky, Awalil, 2006. Agenda Neoliberalisme di Indonesia "Merumuskan Sikap dan Aksi HMI", PB-HMI, Jakarta.
Setiawan, Bonnie 2003. Globalisasi Pertanian, Penerbit Institut Global Justice (IGJ), Jakarta.
Share:

Rabu, 01 Juli 2009

Bukan Episode Terakhir

ini bukan episode terakhir
besok atau lusa kita pasti satu panggung lagi
diam? kenapa?
sedih? bukan saatnya...
bangunlah...
masuki kembali peranmu

ini bukan episode terakhir
skenario kita masih berlanjut
apa? malas?
kenapa? bukan saatnya...
ayoolaah...
lanjutkan lagi adeganmu

ini bukan episode terkahir
masih banyak episode kita yang tersisa
bosan? lelah?
lupakan saja dahulu
ini bukan episode terakhir
ini bukan perpisahan.

190609 (10.25'am)
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers