"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 11 Desember 2010

Cerita dari Bibir Pantai

Remaja, Gubuk-gubuk kecil dan Masyarakat

Oleh : Achmad Saptono*



Menjelang sore tiba, cuaca mendung menghampiri siang yang tadinya tersenyum cerah. Di hari itu matahari-pun tampak murung berselimut awan, “sepertinya matahari akan tertidur”, ucapku dalam hati. Dari bibir pantai aku menatap ombak berkejaran, aku alihkan pandangan ke sebelah kiri lalu kudapati hijaunya bukit yang indahnya mampu membuatku terkagum, terpaku dan terdiam sepersekian detik. “Subhanallah... kurasakan segar dan sangat-sangat nyaman memandang ciptaan-Mu yang satu ini”, kembali aku berkata dalam hati.

Aku yang berdiri tak jauh dari permukaan pantai rupanya telah berhasil terbius oleh keindahan-keindahan ciptaan-Nya, hingga tak sadar di sekelilingku ramai oleh pengunjung pantai yang lainnya. Kulemparkan senyum sambil mengingat memori masa kecilku saat beberapa meter dari sebelah kananku, beberapa kawanan anak kecil telanjang dada berlarian saling melempar pasir pantai. Seakan enggan untuk meninggalkan tempat ini, dan tidak sudi mengaburkan semua rasa yang kudapati kali ini. Meski air laut sudah sedikit berubah warna dari biru menjadi cokelat kehitaman, tapi sudah setengah jam lebih mataku berkelana menikmati indahnya hamparan laut dari kejauhan dan bukit dari bibir pantai. “Astaghfirullah...”, kedua kalinya akupun baru menyadari bahwa aku berkunjung ke tempat ini tidak sendirian. “Dimana ya teman-temanku yang lain? Bukankah pas menuju pintu masuk tempat ini, mereka ada di belakang motorku persis? atau jangan-jangan mereka malah tidak jadi ke tempat ini?”, beberapa pertanyaan langsung memenuhi kepalaku.

Tak hilang sadarku untuk mencari tahu keberadaan mereka, kukirim sms singkat dengan handphone-tanpa abjad kesayanganku, “kalian ad di sblah mna?”. Matakupun mulai sibuk ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang mencari keberadaan teman-temanku. Ratusan meter kearah kanan dari posisiku berdiri, sekelompok remaja sedang bergerombol tak jauh dari bibir pantai duduk-duduk di atas kendaraan bermotor, dan ada satu pengendara motor yang sedang asyik bermain Free Style dengan motor bebeknya . Lalu tiba-tiba terdengar sms masuk di handphone’ku, “kita ada di sebelah timur, masih di sekitar tempat km masuk”. Langsung saja aku balas sms itu, “Patokannya ap?dr orng yg sdg Jamping2an, kalian seblah mananya?”. Tak lama kemudian kembali temanku membalas sms, “pokonya km jalan aja ke arah timur, dr bibir pantai keliatan kok!”. Kurang lebih 10 sampai 15 meter ke arah barat dan ke arah timur bibir pantai aku berjalan kaki mencari teman-temanku, beberapa kerumunan orang aku dekati, ternyata selalu salah dugaanku. “kalo di sekitaran sini gak ada, lalu dimana mereka?”. Agh... akhirnya aku putuskan untuk mengambil motor di parkiran, pelan-pelan kukendarai motor bebek pinjamanku menyusuri pantai, belum juga aku temukan. Kualihkan fikirku untuk mencari teman-temanku di sekitar parkiran motor dan kolam renang yang tak jauh dari pintu masuk utama ke pantai. Sambil terus menyusuri jalan setapak penuh pasir laut ke arah timur, di sebelah kananku pemandangan ladang palawija yang hijau sedangkan di sebelah kiriku dihiasi oleh semak alang-alang dan gubuk kecil berukuran 1 meter berderetan diantara semak-semak. “Andaikan saja aku punya kamera yang bisa memotret semua hal menarik yang ada disini dari dari jauh”, dari atas motor yang melaju pelan akupun menghayal sebentar.

*gambar gubuk tanpa pasangan remaja, (mungkin) karena lokasi yang kurang menyusup

Tak ada pemandangan yang menarik di dalam gubuk-gubuk kecil itu selain pasangan remaja yang rata-rata sedang asyik bercumbu. Diantara pelan laju motorku, lagi-lagi aku diserang oleh runtunan pertanyaan di kepala tentang pasangan remaja tadi. Ditambah lagi ada beberapa gubuk kecil dengan pasangan remajanya yang menyusup di tengah semak-semak. Satu persatu pertanyaan itu membabi buta dalam otakku, “Untuk apa ada banyak Gubuk kecil di semak-semak ini? Kenapa ada? Siapa yang membangun? Fasilitas dari pengelola pantai? Pengunjungkah yang membangun? Jangan-jangan gubuk-gubuk kecil ini disewakan...” yaah... belum sempat muncul semua pertanyaanku, aku teringat pengalaman beberapa waktu yang lalu. Seingatku, dulu aku pernah duduk diatas kursi dekat pantai untuk sekedar foto-foto bersama salah seorang teman nongkrongku di kampus, tiba-tiba sang pengelola pantai dengan pakaian ala Baywatch mengampiri, “Mas, bayar sewa kursinya lima ribu aja, kalo siang tah tujuh ribu limaratus”. Aku yang saat itu hanya membawa uang pas untuk ongkos, parkir dan makan malam langsung tercengang. Akhirnya aku meminta temanku yang membayar sewa kursi tersebut.

Sampai kejauhan kurang lebih 1-2 km dari parkiran motor barulah lipatan muka penuh kebingunganku berubah sementara menjadi senyum lega karena telah menemukan teman-temanku yang dari tadi aku cari kesana kemari. Turun dari motor, sepertinya otakku telah berhasil dirasuki oleh fikiran-fikiran dan pertanyaan seputar Gubuk Kecil dan beberapa pasangan remaja tadi. “Mereka para generasi bangsa kok kompakan sekali ya, berpasang-pasangan di hari yang sama...atau jangan-jangan memang setiap hari gubuk-gubuk kecil ini dipenuhi oleh remaja-remaja kasmaran? Kalau udah sering dipake maksiat gini, lalu siapa dong yang pantas untuk disalahkan? Remajanya atau yang menyediakan gubuk-gubuk kecilnya?”. Aku mungkin seolah terlihat autis di mata teman-temanku yang sedang asyik bermain ombak dan pasir di tepian pantai. Tubuhku memang berada dengan mereka, tapi pandanganku kosong dan fikiran terus melayang tertuju pada remaja, gubuk dan satu lagi yang muncul dalam fikiranku yaitu masyarakat. Mereka, entah pengelola atau pedagang di sekitar pantai yang telah menyediakan fasilitas gubuk tersebut, bagiku mereka bagian dari masyarakat. Bisa saja mereka sengaja menyediakan fasilitas tersebut untuk menambah penghasilan sehari-hari, atau dengan kata lain karena himpitan ekonomi akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah dengan cara yang salah itu. Begitupun juga para generasi penerus bangsa yang sedang dilanda kasmaran tadi, mereka berani melakukan maksiat mungkin karena merasa ada kesempatan, karena ada tempat yang sepi di antara semak-semak dan di sekelilingnya dihiasi oleh pemandangan alam bebas, ombak lautan, pasir pantai, langit yang nampak rapat dengan permukaan laut dan bukit nan hijau. Kalau saja aku berfikiran bahwa yang salah adalah remajanya, itupun bisa jadi, karena mereka (para remaja) yang pola pikirnya dimana ada kemauan disitu ada kesempatan! hahaa.... tawa kecilku sontak mengiringi langkah kakiku menuju salah seorang teman yang mengajak pulang.

Nampaknya sore di pantai kali ini sang sunset telah tertidur berselimutkan mendung tebal, akupun bersama teman-temanku dengan rela meninggalkan pantai beserta keindahan-keindahan di sekitarnya, dengan masih dihantui oleh bayang pertanyaan-pertanyaan seputar remaja, gubuk-gubuk kecil dan masyarakat.





Pwt, 10 Desember 2010.

=Wisma Hijau-Hitam=
Share:

Selasa, 30 November 2010

Makrifat Mimpi

Makrifat Mimpi
Bisik harapan indah menyeka rapuh
Lautan penat tersapu oleh ilusi
Taman firdaus menjelma segarkan hati
Lalu pilu lelah berganti asa
Ceria tiada bid’ah
Ya Faaathir, ya rahman
Kali ini aku tenggelam dalam cinta-Mu
Biarkan aku menyelami lautan kasih-Mu
Makrifat mimpi-Mu
Menyingkap gelap dan kelam
Mengubur lebamnya masa lalu


Purwokerto, 30 Nopember 2010
00.07 WIB
Share:

Senin, 29 November 2010

Meracau



Mencaci masa lalu dengan kepala mendidih
Mencari –cari celah untuk memaki
Sejauh hitam yang semakin hitam oleh waktu
Semua ingatan tentang harapan kusut dan lapuk oleh mendung nan tebal
 Keindahan dan kemesrahan nyanyian burung saat merayu
Adalah cerita usang yang terpahat dalam sebuah bingkai
Pada sebuah kain putih penuh goresan pena yang pancarkan bayang serta mimpi
Melihat pagi, siang dan malam berlomba
Terasa begitu cepatnya perputaran mereka
Seandainya salahsatu diantaranya pernah lelah
Ingin rasanya melempar senyum barang sesaat

P U R W O K E R T O
23.42 26 Nop. 10
Share:

Sabtu, 13 November 2010

Belajar dulu


Jadi Orang Kaya atau Miskin Harus Belajar Dulu
oleh : Achmad Saptono

Inilah bedanya anak yang berasal dari keturunan konglo merat sama konglo melarat. Baru seharian di dalem ruang AC aja udah berasa banget bedanya ni dua anak. Awalnya beda dari kelakuan anaknya, trus lama-lama yaa emang makin beda sih kelakuan dua anak ini. Misal yang satunya diem aja, trus yang satu lagi malah seneng bangeeet... sampe nyanyi-nyanyi segala. Anak konglo merat sebut saja Karto (bukan nama sebenarnya), yang anak konglo melarat sebut saja Ivan (bukan nama sebenarnya juga).

Ceritanya, Karto sama Ivan pas banget lagi satu kepanitiaan. Doi lagi pada ada acara workshop di Hotel yang makan waktu sampe 3 (tiga) hari. Malem hari sebelum paginya berangkat ke Hotel, Ivan gak bisa tidur & doi baru tidur jam 03 dini hari. Sementara Karto malah Jam09 sore udah tidur, maklum Karto mah gak kaya Ivan yang sampe mikirin gimana pas tidur di Hotel. Rencana mah jam 09 pagi berangkat ke TKP (Hotel), jadi si Ivan yang baru tidur jam 03 tuh udah bangun dari Jam 07 pagi, trus doi langsung cek kostum di lemari, mandi, pokonya mendadak ribet deh. Padahal si Karto malah baru bangun jam 09 lebih.

(Disingkat aja lah, Biar cepet critanya). jadi gini.... Ivan, Karto sama temen2 yang lain akhirnya nyampe Hotel tuh Jam 11an. Itu juga gara2 dioprek-oprek sama pembina mereka. Trus baru mulai acara pembukaannya abis Duhur, selesai pembukaan langsung dilanjutin sama materi pertama. Kaya workshop2 yang biasanya, permateri tuh 3 sampe 4 jam. Di jam HP Ivan materi pertama mulainya jam 01 siang, berarti kan sampe jam 05 sorean. Nah, selama itu pula Ivan, Karto termasuk peserta workshop yang lainnya ada di dalem ruangan AC. Oh iya lupa, Ivan sama karto kebetulan juga satu Tim di tukang nulis alias Notulis. Jadi pas lagi materi, mau ga mau mereka berdua harus konsentrasi ngikutin jalannya workshop.

Masalahnya, Ivan gak biasa hidup di dalem ruang AC. Pokonya ada aja keluhan yang nyerang doi, dari kepala puyeng, sesek napas, kebelet boker, mules, kebelet kencing dan lain-lain lah (bayangin aja orang yg bener2 katrok). Bedanya drastis banget kalo dibandingin sama si Karto mah, Karto malah jadi notulen sambil Onlen – Fesbukan & Twitteran, sambil cengar-cengar di depan leptop doi asiiik banget chatting. Kalo aja kamu (pembaca) tau muka Ivan kaya gimana pas ada di ruangan AC, muka-muka yang masang emosi hidup segan mati tak mau lah, bayangin aja deh orang yang nahan boker sama nahan kepala pusing tuh mukanya gimana? Nah muka si Ivan ya kaya gitu, pas doi ada di ruang AC.

(Disingkat lagi ah critanya, biar makin cepet). Materi pertama selesai tepat jam 05 sore lebih 12 menit. Keluar dari ruangan Ivan langsung nyari air putih, trus nyari tempat yang menurut dia sejuk, sepi dan nyaman buat ngrokok. Sambil ngrokok, doi mikir : “Aku kan punya cita-cita pengen sukses, pengen jadi orang kaya, biar bisa punya rumah yang gede, punya mobil yang keren, tapiii.... ini baru sehari – belum sehari malah, tapi kok berasanya udah kaya seminggu yaah...”. kalo si Karto, doi masih stay di tempat semula, duduk di depan notebook, onlen plus ditambah lagi malah nyalain Winamp, geleng-geleng deh kepala si Karto. (kasian bener nasib si Ivan, kayaknya kalo doi serius cita-citanya pengen jadi orang kaya, musti belajar dulu deh....)

(oke, anggep aja paragraf terakhir ini buat penutupnya). Sekarang gini deh... kalo yang mau jadi orang kaya, harus belajar dulu, alias adaptasi dan lain sebagainya. Berarti kan yang sekarang jadi orang kaya ya berarti harus belajar jadi orang miskin juga. Nah, permasalahannya... jaman sekarang susah banget buat bedain mana orang yang benar-benar kaya dan mana orang yang benar-benar miskin!. Makanya, yang ada orang kaya pas jatuh miskin jadi pada kebakaran jenggot, ada yang nekat sampe bunuh diri, ngrampok, ngebunuh sodara sendiri, jual tanah peninggalan nenek moyang dan tindakan-tindakan kriminal lainnya. Aneh kan?

Padahal ya gampangannya, emang pilihannya Cuma 2 (dua) kan? Kalo gak miskin ya pasti kaya, pun sebaliknya. Intinya mah yang ngerasa turunan keluarga orang kaya, jangan pada sombong laah.... toh tu kekayaan bukan punya situ, tapi punya bokap-nyokap, kalo ga punya eyang kakung ama eyang uti’nya. Begitupun juga yang jadi keturunan keluarga orang miskin, jangan sombong... maksudnya, jangan sampe mentang-mentang ngerasa miskin trus maunya dikasihani teruuusss.... nunggu sumbangan teruuuss.... usaha dong!!! Tapi inget, usahanya yang positif, jangan ke dukun, ngepet apalagi sampe jadi penjahat yang suka nyolong sama ngrampok. Amit-amit deh... jangan yaah...

Masih inget cerita Nabi Muhammad SAW gak? Beliau kan dulu di jaman jahiliyah, usahanya jadi saudagar, padahal basic keluarga beliau bukan orang tajir kan? Tapi Nabi Muhammad SAW bisa ngelamar Siti Khadijah dengan mas kawin 100 ekor unta. Bayangin jaman sekarang 1 ekor unta aja harganya udah berapa? Nah lhoh.... banyak kan kunci biar bisa sukses???


*Renungan malam pertama di Hotel Berbintang – Purwokerto.
Share:

Sabtu, 06 November 2010

#klitikan alakadarnya


Di sebuah kantin kampus, di negeri yang entah berantah (sebut aja negri mendoan) terjadi obrolan hebat antara mahasiswa semester akhir dengan seseorang berpakaian kuli bangunan yang sedang beristirahat makan siang. Mahasiswa (M), Kuli bangunan (K).

M        : (sambil terus asiik mandengin layar laptopnya, mahasiswa memulai pembicaraan) Pak, njenengan jadi kuli bangunan udah berapa lama?
K         : yaah, saya belum lama kok mas paling sekitar 4 tahunan. (sambil berteriak ke pelayan kantin), “mba....rames mendoan kalih es tawar setunggal nggih mba...”.
M        : Hah??? 4 tahun, baru? (dalem hati), “gimana dengan gue yg udah 5 tahun kuliah? Berarti gue juga baru 5 tahun ding”. Bapak asli sininya aja pak?
K         : iya bener mas, saya baru 4 tahun, kenapa? Saya aslinya mah Bukit Tinggi mas Sumatera, saya merantau sejak taun 80-an setelah saya lulus SMA. Pernah sih dulu saya kaya sampeyan kuliah juga, tapi baru satu semester saya malah pengen merantau, trus yaudah walaupun orang tua gak ngizinin waktu itu saya tetep berangkat ke jakarta. Di jakarta juga saya lumayan lama lhoh mas, 10 taunan mah ada kayanya. Tapi ya 10 taun itu saya Cuma kerja jadi sopir angkot doang di daerah kampung melayu.
M        : Hah???... (dalem hatinya lagi), “gilaa... brarti ni orang jangan2 takdirnya emang idup susah kali yaah?”. Trus anak-istri bapak gimana? Di Sumatera, di Jakarta apa di sini?
K         : Saya belum punya anak mas, kalo istri mah ada di rumah. Belum dikasih mungkin mas sama yang di atas, padahal saya nikah tuh taun 96 apa 97-an lah. Sabar aja lah mas. Hhehee.... kalo mas’nya sih sudah semester berapa ya mas? Gak kuliah apa?
M        : wah nikahnya udah lama juga ya pak, gak mau nyoba ngadopsi anak pak? Barangkali bisa mancing biar bisa punya anak gitu pak? Mmmm.. aku udah semester berapa yah? Aku sekarang lagi garap skripsi pak, udah gak kuliah, tinggal skripsi aja trus lulus (gaya bener, terlalu ngegampangin skripsi).
K         : pernah kok mas ngadopsi anak tetangga, tapi gak lama Cuma beberapa bulan, setelah saya pikir2, ternyata ngadopsi anak orang itu resikonya gede. Takut kalo gedenya, anak jadi gak sesuai sama apa yang di penginin orang tua kandungnya kan repot juga ga enak mas. Wah... bentar lagi lulus dong mas? Rencananya abis lulus mau ngapain mas?
M        : iya juga ya Pak gak enak sama keluarga yang punya anak. Saya abis lulus, mmm.... gak tau pak belum kepikiran malah saya pak. (Nah lhoh... abis lulus masih bingung mau kemana, mau ngapain en’ mau jadi apa? Et deh tong paraah benerr).
K         : (sambil melahap nasi ramesnya) lhoh kenapa masih bingung mas? Bukannya tar enak mas bisa milih mau kerja dimana aja, yang penting kan udah punya ijazah sarjana mas? Saya juga jadi nyesel nih dulu gak lanjut kuliah dulu aja (klasik bener dah, nyeselnye di belakang.. hhahaa...).
M        : ya belum kepikiran aja pak, (mungkin ni mahasiswa, gara2 saking senengnya maen di kampus kali yaak...mpe lupa umur deh, kok bisa2nya blum kepikiran mau kerja apa entar?). pokoknya gimana ntar aja deh pak, kalo gak di Pemda ya paling nglamar-nglamar di perusahaan.
K         : oh.. brarti abis lulus, mas’nya bisa jadi caleg ya mas? Yaah yang penting semanget aja deh mas jalanin hidup di jaman sekarang mah. Jangan sampe gara2 udah hidup enak, duit banyak, kerjanya gampang trus jadi hidupnya santai-santai aja. Bener gitu kan mas?
M        : oh iya tentu pak, harus itu mah pak...harus tetap semanget!!! (padahal dari tadi pagi ni anak kerjaannya Cuma OL, gosip, komen sama ngritikin semua-muanya yg doi liat doang di kantin.... mungkin doi anggota NATO kali ye...).
K         : (masih mengunyah ramesnya) ya baguslah kalo gitu mah mas... jadi gak sia-sia jauh-jauh orang tua nyekolahin anaknya. Gak sia-sia juga, orang tua udah ngeluarin banyak duit. (coba itung udah abis brapa duit bakal biaya sekolah dari TK sampe sekarang? :p )
M        : ngomong-ngomong bapak pulang ke Bukit Tingginya berapa bulan sekali Pak? Keluarga rata-rata di sana semua kan Pak?
K         : iya keluarga saya di Sumatera semua mas rata-ratanya, tapi saya udah jarang pulang. Terakhir pulang ya waktu abis saya nikah itu. Soalnya kan kalo orang Sumatera rata-rata punya prinsip, “jangan pulang kampung, kalo belum sukses”. (buseeett... gimana dengan mahasiswa yang bolak-balik rumah alias homesick terus yah? Kapan suksesnya??? :D )
(gak terasa, rames mendoan pun sudah habis dilahap bapak-bapak dengan pakaian kuli bangunan itu).
M        : ngomong-ngomong waktu istirahat makan bapak kok lumayan lama juga ya pak?
K         : iya mas, soalnya tadi saya baru aja belanja kebutuhan bangunan lumayan banyak juga, jadi ya rada capek gituuh... mana tadi saya belanja semen’nya langsung dari Cilacapnya lagi mas. Hhuff... panasnya jan...
M        : ????????@#$!%^&*&^(#$@!$%$$$%%........ (bingung)

Ternyata bapak-bapak tadi bukan kuli bangunan, tapi justru kontraktornya. Si Mahasiswa pun bingung sambil terus memperhatikan bapak itu berjalan meninggalkan kantin.

*gak tau deh ni catetan kritik sosialnya apa aja, menurut temen-temen apa kritik sosialnya? J J J
Share:

Rabu, 27 Oktober 2010

Siapa yang salah?

SIAPA YANG SALAH? Harusnya gak usah saling menyalahkan...
Oleh : Achmad Saptono


BERJALAN KAKI dengan sepatu warna cokelat namun sudah kehitam-hitaman tertutup debu dan dengan tas ransel hitam kusam aku menuju antrean tiket kereta api ekonomi di stasiun kota Udang. Sebatang rokok di tangan kanan dan handphone di tangan kiri, sambil asik mengetik sms – aku melihat-lihat jadwal kereta sebelum membeli tiket. Cuma deretan jadwal kereta api ekonomi yang aku lirik, yang bisnis atau yang eksekutif mah kabur dari pandanganku. Sesekali aku menengok jam dinding di loket tiket, “wah.. ternyata udah jam 04 kurang 13 menit yaah..”. Menurut jadwal pemberangkatan kereta yang aku lihat, seharusnya jam 04 kurang 15 menit ada kereta api ekonomi Gaya Baru Malam yang tiba di sini, tetapi karna jarak antarkereta ekonomi yang satu jalur terlalu dekat maka salah satu dari kereta api itupun telat tiba di stasiun Kejaksan-Cirebon. Sebatang rokok aku matikan dan bertanya pada petugas di loket, “Pak, Gaya Baru Malam udah lewat ya?”, salah satu dari dua petugas yang berjaga menjawab cekatan, “belum mas, nanti mungkin sekitar jam 04 lebih 15an...rada telat”. Tanpa basa-basi aku langsung mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan selembar uang sepuluh ribuan, “berapa Pak harga tiketnya?”, tanyaku.. “dua puluh delapan ribu mas”,  jawab Pak petugas loket.

Setelah menunggu kembalian beli tiket, aku langsung masuk dan menunjukkan tiket ke Peron kemudian langsung menunggu kereta api di tempat duduk diantara jalur 1 – jalur 2. Sambil sms’an & Facebook’an aku menunggu hampir setengah jam tapi kereta tak juga datang. Jam 04 lebih 20 menit aku melihat jam dinding di atas kepalaku, selang beberapa detik tibalah kereta yang aku tunggu – masuk ke jalur 3, aku langsung beranjak dari tempat duduk dan berlari kecil menuju gerbong kereta bagian depan. Belum sampai masuk ke bagian dalam, di pintu kereta tampak bergelantungan tiga pria dewasa dan satu ibu-ibu duduk di bawahnya. “Agh... rupanya di gerbong bagian depan sudah sangat penuh oleh penumpang”, akupun lari ke gerbong bagian belakang dan ternyata pemandangan serupa aku dapati di pintu kereta. “Hhmmff....di gerbong belakang juga sama penuhnya”.

Yasudahlah, akupun nekat masuk ke kereta dari gerbong belakang. Memiringkan badan, mengangkat tas ranselku ke atas kepala, berhenti di sambungan antargerbong, berjalan lagi berhimpitan samai akhirnya aku putuskan untuk berhenti di tengah-tengah. Di kanan dan di kiriku, tempat duduk penuh oleh  penumpang yang sudah pada tertidur pulas. Tau kan gimana pemandangan kereta api ekonomi? Yupz... pedagang asongan mondar-mandir menawarkan barang dagangannya, tukang pijit, tukang sapu terus bergantian menyenggol pinggangku.

Yaah... demikianlah adanya pelayanan kereta api ekonomi, perjalananku dari kota udang menuju kota mendoan aku nikmati dengan berdiri selama kurang lebih 3 jam-an. Hhahaa..... besok2 kalo aku udah kaya, aku gak mau naik kereta api ekonomi lagi ah... :D
Jujur sama sekali belum sempat terfikirkan apa jadinya kalau kereta api ekonomi yang aku naiki mengalami kecelakaan karena penumpang yang Over, rel kereta yang tidak kuat/anjlok dan lain sebagainya. Padahal Data kecelakaan kereta api dari tahun 2004-2008 (Perkeretaapian.dephub.go.id) :
1.      tahun 2004 : 128 kecelakaan
2.      tahun 2005 : 91 kecelakaan
3.      tahun 2006 : 102 kecelakaan
4.      tahun 2007 : 140 kecelakaan
5.      tahun 2008 : 117 kecelakaan

Ratusan kecelakaan di atas terjadi dalam bentuk : tabrakan antarkereta api sebanyak 28 kasus; tabrakan kereta api dengan kendaraan bermotor sebanyak 108 kasus; kereta api anjlok sebanyak 442 kasus. Selama lima tahun itu korban yang meninggal, luka berat dan luka ringan sebanyak 1221 orang. Penyebab dari kecelakaan-kecelakaan tersebut diantaranya karena : faktor alam sejumlah 4 %, faktor sarana sejumlah 23 %, faktor prasarana 18 %, faktor SDM Operator sejumlah 35 % dan faktor eksternal sejumlah 20 % (Perkeretaapian.dephub.go.id, update : 23/1/2009).

“Nah lhoh... banyak faktor kan yang menyebabkan kecelakaan kereta api?”. Di sini nih anehnya, dulu Tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro (baca ; Tragedi Bintaro) yang kemudian disalahkan dan dihukum penjara adalah sang Masinisnya – begitupun juga kecelakaan yang terjadi pekan kemarin di Pemalang, Masinis yang juga menjadi korbannya kok masih saja mau diadili alias posisinya disalahkan. Padahal nih menurut data dari Media Indonesia, (04/10/2010) : Tahun 1939 panjang rel kereta api di Indonesia mencapai 6.811 km, nah tahun 2000 panjang rel kereta api di Indonesia turun menjadi 4.030 km. Kondisi sarana pendukungnya juga sama – mengalami penurunan. Misalnya, pada tahun 1955 jumlah stasiun kereta api mencapai 1.516 stasiun, nah.. tahun 2005 jumlah stasiun kereta menjadi tinggal 571 stasiun.

Oke... beralih ke anggaran. Anggaran untuk revitalisasi kereta api dalam jangka waktu lima tahun ke depan (2010-2015) sebesar Rp. 20 triliun. (semoga pemerintah segera merealisasikannya, Amiinn...). maksudnya gini, mari kita lihat selama lima tahun ke depan; apakah kondisi perkereta apian di Indonesia akan mengalami kemajuan atau bahkan sebaliknya – malah semakin parah saja? Satu lagi, apa emang sudah menjadi keharusan bahwa setiap kali terjadi kecelakaan di kereta api kemudian yang disalahkan selalu sang Masinis? Bagaimana dengan sarana dan prasarananya, apakah sudah benar-benar mendukung? J
Share:

Agama, Negara dan Pluralisme

“Menyoal Konflik Agama, Negara dan Pluralisme”
Oleh : Achmad Saptono

KONFLIK sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut saat ini, merupakan personifikasi fakta dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tak dapat diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya ingin memberi gambaran bahwa phobia terhadap ancaman disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini adalah wujud resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform (penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa Orde Baru. Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi karakteristik nilai-nilai dalam unsur-unsur pembentuk pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yang ada saat ini. Walaupun kita sangat meyakini bahwa perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan ”pemberontakan”, di dalam ”pemberontakan” selalu ada nilai yang ingin dicapai.

Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini.
Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai : (1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial (Maskuri,2001).

Dalam prinsip dasar Demokrasi, kemajemukan (pluralitas) menjadi sebuah fenomena kunci sebab hakekat berdemokrasi dalam sebuah negara bangsa ada pada transformasi nilai dari heterogenitas teritorial, sosial (SARA), budaya, ke dalam bentuk homogenitas politik sebagai konsensus untuk berada bersama-sama dalam sebuah bangsa demi mencapai tujuan bersama yang di dalamnya ada hak dan kedudukan yang sama, ada saling pengakuan terhadap keberadaan masing-masing elemen. Perbedaan dalam bentuk heterogenitas tersebut hanya akan menjadi sebuah potensi kolektif jika telah terwujud dalam konsensus tujuan hidup bersama dengan jaminan tak akan ada negasi terhadap salah satu unsur. Ketika terjadi pengingkaran terhadap salah satu unsur, ”pemberontakan nilai” akan terlihat lewat berbagai ekspresi yang fenomenannya kini nampak di Indoensia.

Pentingnya perekat bangsa
Tentulah Indonesia sebagai bangsa tak ingin mengalami dan harus belajar pada realitas sejarah kehancuran negara-negara yang pernah besar seperti Uni Soviet, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan berpisahnya India dengan Pakistan. Berkaca pada negara-negara tersebut, faktor etnis dan agama adalah pemicu dan ancaman disintegrasi. Namun juga, harus disadari bahwa homogenitas agama atau etnis bukanlah jaminan kelanggengan integrasi jika berkaca pada terpisahnya Bangladesh-Pakistan, Korea Utara-Selatan, dan beberapa negara besar lainnya.

Di tengah dinamika politik dan nuansa pencarian jati diri tatanan berdemokrasi di Indonesia, saat ini sangat berpotensi melahirkan prototipe politik yang berciri keindonesiaan tanpa harus mengadopsi tatanan politik yang telah ada pada negara lain jika dimensi Pluralitas yang ada tetap saling memberi ruang dan pengakuan untuk menghindari phobia krisis identitas. Pada saat lain dengan kondisi yang ada saat ini sangat terbuka peluang kejadian negara-negara tersebut di atas akan dialami Indonesia ketika sebuah unsur dalam ikatan kemajemukan yang ada melakukan hegemoni dominasi dan diskriminasi terhadap unsur lain.

Dengan kerenggangan yang ada saat ini, sesungguhnya dibutuhkan sebuah pengikat sosial politik yang dapat menjadi faktor kohesi yang mampu memberi ruang terhadap identitas sekaligus melanggengkan entitas Indonesia. Faktor kohesi yang dibahaskan oleh Robert Bellah sebagai ”civil religion” di AS. Jika idiom dari Bellah ini kita tarik ke dalam perspektif keindonesiaan, akan tertuju pada perekat sosial yang kita kenal sebagai Pancasila. Persoalannya sekarang adalah seberapa jauh kesungguhnya kita terhadap konsesus yang telah kita sepakati dalam Pancasila sebagai ”kontrak sosial” yang telah menginspirasi lahirnya Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai identitas kebangsaan membawa nilai integratif.

Persinggungan agama dan politik
Pengalaman keagamaan sering dikaitkan dengan pencarian realitas yang asasi dari ”kebenaran” dan ”kebaikan”. Hal tersebut dapat berbeda dari masing-masing pemeluk agama. Dalam semangat kebenaran dan kebaikan tersebut, agama sering tak dapat menghindari persinggungan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Agama sebagai fenomena dan realitas sosial sering membuat orang dengan kesadaran sujektifnya sulit berhadapan dengan kenyataan objektif.

Hal tersebut sering melahirkan ekstrimitas, pada satu sisi agama sering membuka diri selebar-lebarnya sehingga jatuh pada sinkritisme dan menghilangkan keunikan identitas. Sementara pada dimensi lain, sering mengekslusifkan diri dan kehilangan relevansinya dalam perubahan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap ”transformatif” yang pada satu pihak tak mengorbankan ortodoksi dan pada pihak lain menghilangkan relevansi.

Seringkali agama dan negara mengalami ketegangan-ketegangan dan tarikan kepentingan yang sangat kuat ketika agama berlomba-lomba untuk dapat mempengaruhi kebijakan negara bagi kepentingan komunitasnya. Pada wilayah dan ruang yang praktis itulah nilai dan kahadiran agama secara tanpa sadar terkooptasi oleh kekuasaan negara dan politik yang menciptakan proses ”politisasi agama”. Meskipun demikian, secara mendalam baik negara maupun agama punya persoalan masing-masing yang terus berkembang. Persoalan yang aktual misalnya kepentingan satu agama yang dihadapkan dengan kepentingan agama lain, seperti persoalan mayoritas-minoritas, persoalan representasi politik (politik proporsional), bagaimana menguasai kekuasaan, dst.

Sementara pada sisi lain sesungguhnya negara pun memiliki persoalan sendiri, misalnya persoalan hak warga negara, perundang-undangan, bentuk dan sistem pemerintahan, kesejahteraan rakyat, dst. Walaupun sibuk dengan masalahnya masing-masing, antara agama dan negara tidak saja untuk saling mempengaruhi dan bergulat untuk mencari legitimasi dan akan saling menentukan posisi satu terhadap yang lain, yang kadang memunculkan negara dengan label negara agama, negara demokrasi, dll.

Konflik komunal yang kini mencuat ke permukaan sesungguhnya bagian dari ketidaktegasan negara dan agama dalam memberi batas demarkasi pada ruang dan wilayah berimprovisasi bagi agama dan negara. Persoalan ini nampak jelas ketika Cak Nur melemparkan wacana intelektual yang ditanggapi secara kontraversial, yaitu Islam Yes, Partai Islam No. Sesungguhnya wacana tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan nilai-nilai semangat agama (Islam) yang sesuai dengan pluralisme keberagaman tanpa melalui formalitas bentuk institusi partai politik yang berwarna agama. Namun karakter agama akan tetap memberi warna dan nilai dalam perilaku dan penampakan tanpa harus diberi legitimasi lewat simbol dan stigmatisasi. Konsep mayoritas-minoritas biarlah berjalan menjadi nilai yang penampakannya hanya dapat dirasakan dalam perilaku dan moralitas tanpa harus dikedepankan menjadi komoditi politik verbal yang sering nampak dalam bentuk diskriminasi politik.
Dengan demikian, agama pada tingkat konstruksi tidak bebas nilai dan statis. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial selalu ditegaskan, bahwa agama tidak dapat dilihat sebagai sistem makna yang statis, tetapi selalu harus dilihat dalam keadaan yang terus berubah dan mampu mengartikulasikan berbagai kepentingan.

Di tengah tuntutan demokratisasi yang semakin menguat belakangan ini, suatu keniscayaan agama dikonstruksi sebagai kekuatan demokrasi. Partai mengfungsikan dirinya sebagai instrumen bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi yang bersumber dari agama. Esensi demokrasi adalah persamaan. Sesuai dengan semangat persamaan ini, sikap primordial dan ekseklusif yang lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya semata harus dibuang jauh-jauh.*
Share:

Kamis, 19 Agustus 2010

Penjelajah Mimpi



Akulah penjelajah mimpi itu
Sekedar senyum yang kutawarkan pada waktu
Sekedar gumpalan semangat yang kujadikan anak tangga
Untuk memeluk langit dan memahat awan

Akulah penjelajah mimpi itu
Keluar di malam hari demi berkarya
Demi mengejar mimpi
Kan kusandera kegagalan demi meraih sukses

Akulah penjelajah mimpi itu
Lahir dari rumah diantara sawah membentang
Berebut ideology dengan si empunya rumah
Tiga tahun lamanya hidup dalam rumah itu
Bukan waktu yang singkat, sungguh...
Banyak hikmah dan peristiwa
Yang meliarkan mimpiku

Akulah penjelajah mimpi itu
Anggur cinta yang kupetik di halaman rumah dulu
Mawar rindu yang kutanam di hati ini
Harum dan segarnya menghantarku kembali
Di sebuah rumah nan ramah
Diantara sawah nan membentang

                                   (Pukul 23.15 WIB/14-08-2010)
Share:

Rabu, 14 Juli 2010

malam di sudut sekolah

Malam, Aku Rindu


Aduhai malam…
Lemah lunglai aku menatapmu
Tak lengah kubertanya padamu
Menanti parasnya dihadapku
Aku ingat…
Saat kernyit matanya tertuju padaku
Wahai sang malam…
Gelapmu adalah hayalku
Tenangmu adalah kanvasku
Aku mau,
Kau bantu aku untuk melukisnya
Bersama dingin aku duduk tertegun, dan
aku berbisik lirih pada dingin
Aku tersenyum dan berucap, “dingin, kamu tahu dimana dia sekarang?”
aku ingin…
Kau bawa rinduku untuknya
Sembari bersandar pada kepulan kabut
Aku penasaran menerawang lelah
Delapan batang tembakau habis sudah aku hisap
Gelap masih terdiam dan dinginpun berlagak gagap
Hitam tersenyum menatap kubangan di mataku
Oh… malamku..
Sungguh aku merindukannya!

"01.50 dini hari/14-07-10"
Sudut SMANJA
Share:

Rabu, 23 Juni 2010

Naskah Monolog


“Monolog : Homo Homini Lupus”
Karya : Achmad Saptono

Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainya. Manusia tidak bertindak sebagai manusia.. atau mungkin kita saat ini yang tidak dapat bertindak seperti manusia sesungguhnya, atau mungkin pertanyaan utamanya adalah : Apa sih manusia itu? Banyak film yang menceritakan tentang kekerasan, pelecehan seksual, pembunuhan, perampokan, pembalakan hutan, permainan politik. Hhugh…

Dari dulu sejak jaman adam dan hawa pertama kali ada di bumi, pembunuhan anak adam dan hawa, doktrin gereja, perang dunia, sampai pelajaran sejarah dan juga terorisme termasuk sampai muncul terorisme kelamin. Kekerasan bahkan sampai penghilangan nyawa yang tidak manusiawi, dari yang dulunya factum jadi fakta… jadi kenyataan yang sering aku temui sehari-hari. Berita-berita di televisi setiap hari menyajikan tentang : potong, iris, cincang, mutilasi, bom , bakar, penggal, pemerkosaan, sodomi, serta tindakan-tindakan keji lainnya. Entah kapan tindakan keji itu berhenti dilakukan oleh manusia! Mungkin setelah manusia sudah bereinkarnasi menjadi mahluk sosial. Ahaa… mahluk sosial? Sebuah cita-cita masyarakat yang luar biasa!

Aku yakin Tuhan punya plot dalam cerita ini, Tuhan punya ending dalam naskah ini. Tapi aku juga kadang masih ragu apakah benar Tuhan akan mengirimkan Dajal ke bumi?

Astagaa…. Aku sama sekali sedang tidak menggunjingmu ya Tuhan! Aku hanya sedang mengenang manusia-manusia yang pernah aku dengar kabarnya sejak aku waktu masih pecinta pil BK, inex, putaw, sabu-sabu dan sejenisnya.


Ya! Memang benar, Ini karena masalah iman. Masalah Tuhan. Masalah Kebenaran.. kebenaran siapa? Kebenaran yang ditafsirkan oleh manusia itu sendiri.. Manusia merasa dirinya paling benar kah? Tapi pertanyaannya harus balik ke : apa sih itu benar salah? Baik buruk? Indah tidak indah? Wahyu? Sampai saat ini aku tidak habis pikir. Aku tidak dapat berpikir untuk mendeskripsikan hubungan kausalitas ini. Agh….
Intinya.. Kenapa merasa benar, kenapa merasa paling pintar, merasa paling berkuasa, dan akhirnya main potong, main claim yang lain itu salah! Jika salah maka bukan manusia. Jika bukan manusia, berarti manusia adalah? Mmmmm…..

Sssstt…… begini sebenarnya, jika dicari hubungan lainnya maka mungkin akan terhubung. Manusia saling bantai bagai anjing yang hendak dimasak?Sedang di sisi lain manusia merupakan mahkluk istimewa katanya.
Agama yang menjadi dasar manusia, yang seharusnya mampu menjawab permasalahan- permasalahan sebelum dan sesudah hidupnya manusia.

Justru mungkin lebih tepatnya agama dijadikan masalah oleh orang-orang yang hidup saat ini. Aneh bukan?Agama jadi berbeda. Lhoh kok bisa berbeda?
Iya, karena dapat di lihat dari sejarahnya. Lalu dari berbeda ini kemudian menjadi konflik. Agh… Kenapa bisa konflik? Pemahaman dan sikap interent itu sejatinya untuk membina relasi dengan Tuhan, dan merupakan sesuatu yang personal dan sangat-sangat pribadi.

Jadi ingat, ketika pemahaman keimanan dari seseorang yang sampai ia berkesimpulan bahwa “Tuhanku aku cinta padamu”. Nah, itulah pemahamanya yang seharusnya sama-sama kita hormati. Biarkan setiap orang memahami agamanya masing-masing.

Semua manusia maunya masuk surga?

Tapi merasa surga tempat untuk orang yang benar saja. Berarti kalau begitu, agar bisa masuk surga orang yang benar itu harus “mengalahkan” saingannya yang tidak benar. Ahahahahaa……… benar dan tidak benar? Wow… benar, kalian mau masuk surga? Surga yang mana? Apakah surga Cuma ada satu?
lalu surga yang kalian maksud itu surga yang pernah dijanjikan oleh siapa?

Siapa yang pantas untuk masuk surga? Manusia ataukah srigala? Penjahat kerah putih atau para ulama? Perampok, pemerkosa, pembunuh atau para santri? Presiden atau wakil presiden? Para mentri? Hakim? Jaksa? Gubernur? Bupati? Rektor? Dekan? Dosen? Mahasiswa? Pak Camat yang terhormat? Pak RW? Pak RT? Siapa sebenarnya yang pantas masuk surga?Apakah anda yang mungkin pantas masuk surga?
Apakah anda sudah pernah mendengar berita tentang korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi kita? Money politic dalam pemilu?Atau mungkin pelecehan seksual yang terjadi beberapa waktu yang lalu?
Yaah!! Benar sekali, memang bukan hanya pejabat yang terlibat skandal pelecehan seksual. Artispun demikian. Pejabat berpolitik, artispun berpolitik. Tidak ada kata cukup bagi manusia saat ini, selalu bilang kekurangan. Hasrat ingin menguasai tidak sebanding dengan hasrat ingin mensejahterakan masyarakat, nafsu rakus menjadi identitas manusia pada jaman sekarang.

“Gaji bulanan, itu Cuma seberapa,” katanya. Akhirnya banyak pejabat yang mencari jalan lain untuk mendapatkan fuluuuss… ahahahahaa………. Pejabat tidak ada di tempat saat ditemui oleh masyarakat, karna mungkin sedang sibuk mencari fulus di tempat lain. Dosen tidak ada di tempat saat ditemui oleh mahasiswa karena mungkin…… Upss…. Maaf aku sok tahu!

Mungkin aku termasuk orang yang diuntungkan karena belum pernah menyandang predikat mahasiswa. Ckckckck….. (tertawa geli). Kemarin aku pernah baca berita di Koran bekas bungkus kacang rebus yang aku makan, katanya akhir-akhir ini banyak mahasiswa yang menjadi ayam kampus, banyak juga mahasiswa yang melakukan hubungan begituan di warnet. Ckckck…. Dulu mahasiswa terkenal di berita karena Narkoba, sekarang mahasiswa terkenal karena Narik kolor mba-mba! Ahahahaa…… aku jadi ingat nara pidana teman satu kamar waktu di dalam tahanan yang ditahan karena mengkonsumsi minuman keras. Dia bilang, “aku minum minuman keras karena aku butuh”.

Benar sekali memang! Manusia punya banyak kebutuhan. Tidak hanya kebutuhan sandang, pangan dan papan saja, manusia juga membutuhkan seks yang menyangkut kepuasan tersendiri, dan banyak kebutuhan lainnya yang menyangkut ego masing-masing manusia. Hanya demi mendapatkan kursi kekuasaan, orang mampu melupakan keluarga, teman sejawat apalagi tentang dosa. Demi mendapatkan uang, orang mau memperalat rekan kerjanya atau bawahannya. Demi mendapatkan kebutuhan seksual, orang mau menipu bahkan sampi membunuh.

Lalu apa hak dari manusia yang mengambil nyawa manusia lainya?
Apa hak dari manusia yang merampas hak manusia lainnnya?
Manusia sudah melupakan kodratnya yang dilahirkan sebagai manusia. Manusia memperkosa ibu kandungnya, memperkosa adiknya, saudaranya. Manusia membunuh kerabatnya, menipu masyarakat. Manusia merusak alamnya. Naluri manusia sudah berubah menjadi naluri binatang. Manusia sudah berubah menjadi homo homini lupus!

-selesai-
Share:

Jumat, 11 Juni 2010

Obrolan Ringan Bareng Penjual Koran

Seputar Kemiskinan, teknologi Informasi, pendidikan, dan tentunya tentang Indonesia

(Rokoknya rokok.... Aqua...Aqua...myzone’nya myzone... nasi rames empat ribu pake ayam, pop mie anget, kopi... mas kopi...)
(Begitu kira-kira para pedagang asongan di kereta ekonomi menuju kota mendoan “Purwokerto”).

Selasa tepat jam 05 lebih 20 menit sore hari di sebuah kereta ekonomi yang penuh sesak oleh pedagang asongan, bau keringat penumpang yang berdesakan bercampur jejak kaki yang kotor oleh beceknya tanah mengelilingi aku yang sedang berdiri di dekat pintu samping gerbong makan. Berdiri di dekat pintu bukan pilihanku memang, tapi karena memang kereta ekonomi yang selalu padat penumpang sehingga aku tak kebagian tempat duduk. Walaupun aku sudah bayar sesuai tarif yang ditentukan, tetapi kembali aku pikir ga masalahlah yang penting aku bisa lebih cepat sampai ke tujuan daripada harus naik bis yang dua kali lipat jauh lebih lama. Saat kakiku terasa lelah untuk berdiri, seketika akupun duduk – jongkok bersebelahan dengan bapak-bapak usia ± 40 tahun.

Bapak-bapak yang duduk bersebelahan denganku di pinggir jalan itu rupa-rupanya penjual koran yang keliling di kereta api sejak 30 tahun silam. Tanpa aku melontarkan pertanyaan, penjual koran itu bercerita banyak tentang semakin susahnya menjual koran di tengah pesatnya teknologi informasi. Menurutnya, saat ia sedang keliling di dalam kereta api menawarkan koran seringkali mendapati penumpang yang sedang mengakses berita melalui telepon genggam. Padahal dulu masih banyak penumpang kereta api yang membeli koran untuk mengakses informasi saat di tengah perjalanan, tambahnya. Dampak sosial yang terjadi pada bapak penjual koran tersebut adalah akhir-akhir ini koran yang ia jual sering tidak terjual sampai habis. Entah tamatan apa atau bahkan pernah membaca buku apa bapak penjual koran itu, yang jelas ia juga sempat melontarkan “Indonesia sampai sekarang masih dijajah sama Jepang mas, bedanya sekarang Indonesia dijajah secara tidak langsung, dari Handphone, komputer, sampai kendaraan bermotor atau mobil yang hampir tiap tahun di produksi. Di kota Tegal sudah banyak orang pintar yang mampu membuat atau merakit kendaraan bermotor dan juga mobil, lihat saja PT Niaga, akan tetapi WAO tidak memberikan ijin produksi ke Pemda Tegal, sehingga kembali Indonesia akhirnya tidak bisa memproduksi seperti Jepang ”.

Di tengah pembicaraan, aku berdiri menghilangkan rasa kesemutan di bagian kaki, dan aku melihat dari kejauhan ada seorang waria yang mengamen di gerbong makan. Dalam hati aku berfikir, “ternyata kereta juga mungkin bisa dikatakan sebagai pusat peradaban”. Aku tidak menuruti apa yang aku fikirkan tadi, tetapi aku memilih untuk kembali duduk dan berbincang kembali dengan bapak-bapak penjual koran.
Kali ini giliran aku yang memulai dengan pertanyaan singkat kepada bapak penjual koran yang dari pagi sampai malam itu, “Pak, njenengan sih pulang ke rumahnya sekitar jam berapa?”. Saat aku menanyakan ini, jujur aku kepingin tahu bagaimana bapak itu membagi waktu untuk keluarganya. Tanpa basa-basi ia menjawab, “kadang aku pulang ke rumah ya jam 08 kadang jam 10 malam – tergantung aku jual koran ke daerah kutoarjo, kebumen atau ke daerah Jatibarang, Cirebon dan sekitarnya. Karna tergantung sama kereta yang aku naiki, kan jamnya beda-beda mas”.

Obrolanku dengan bapak penjual koran tersebut sesaat terhenti karena di sebelah kirinya berdiri seorang anak laki-laki umur belasan tahun. Ternyata tidak lain anak laki-laki itu adalah penjual koran bekas yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke SMP, karena keluarganya yang tidak punya biaya. Anak laki-laki asal Ciledug itu sebut saja Ujang. Lalu bapak penjual koran itu menegur Ujang, “Jang, kamu udah makan?”. Belum, “jawab Ujang”. Seolah sudah terjadi kontak batin, bapak penjual koran itu mengeluarkan selembar uang ribuan, “nih Jang aku tambahin buat beli makan”. Tanpa pikir panjang – mungkin saking laparnya, si Ujang pun menerima uang tersebut dan dibelikannya nasi rames. Ujang langsung melahap rames+mendoan sambil duduk di sebelah bapak penjual koran.

Sambil menunjuk jari ke Ujang bapak penjual koran itu bercerita bahwa ia merasa ironis dengan keadaan di kota besar Jakarta yang sering terjadi pemaksaan anak-anak seumuran Ujang untuk gabung di komplotan “Kapak Merah”. Makanya tak heran jika selama ini bapak penjual koran tersebut selalu peduli kepada anak-anak jalanan yang ia temui di kereta api. Bahkan sampai-sampai ada anak jalanan yang dulu waktu kecil – sekitar 20 tahun yang lalu pernah di kasih makan olehnya kemudian di dalam kereta mereka bertemu kembali, bapak penjual koran diberi amplop berisi uang 50ribu oleh anak jalanan yang dulu pernah dikasih makan oleh bapak-bapak penjual koran tersebut.

Obrolan ringan di dalam kereta ini mungkin berbicara sebagian kecil dari realitas kemiskinan yang terjadi di Negara kita. Masih banyak pedagang asongan lainnya yang saya kira punya banyak pengalaman hidup yang pahit, atau bahkan karena terjepit susahnya mencari nafkah akhirnya mereka mencari nafkah dengan terjun ke tindakan yang melanggar hukum.
Mari melihat realitas dan mari berbagi cerita!


*Ctt : Obrolan dengan penjual koran versi aslinya menggunakan bahasa ngapak banyumasan, sengaja di rubah ke bahasa indonesia agar mempermudah pembaca dalam mengartikannya. Trimakasih...
Share:

Selasa, 01 Juni 2010

untuk hal yang aku cari


Antara Raflesia dan Rosa hybrida

Kusingkap telapak tanganku
kubalik tubuhku
kurebahkan fikirku
kutenggadahkan hayalku
kugaruk kepalaku...
kuremas jari-jariku
kusanggah daguku
kusentuh dahiku
kuatur nafasku
kubuka lebar mulutku
kukencangkan kerutku
kuturunkan wajahku
kutarik lengan bajuku
kuikat rambutku
kupandangi atap kamarku
kuraba dinding ranjangku
kutegangkan urat nadiku
kukepalkan tanganku

dan...
saat jantung berdegup kencang
sesekali kupejamkan mataku
kubenahi hayalku
lalu kembali kurebahkan tubuhku
kulipat kedua tanganku di dada

akupun terlelap
aku hanyut dalam mimpiku

di dalam mimpiku
kudapati serangkai Rosa hybrida segar
parasnya nan elok
wanginya yang menebar
warnanya yang merayu
menuntun langkahku untuk memetiknya
sambil tergesa dan mengusap keringat di dahi
perlahan aku menghampirinya
kugenggam lengannya
Rafflesia arnoldii ternyata yang kusentuh benang sarinya...
ternyata Rosa hybrida itu si parasit Rafflesia arnoldii...
Seketika akupun tercengang
dahiku semakin mengernyit

dan...

Serentak kubuka mataku
astagaa....
aku baru saja terjerembab dalam mimpi

Rosa hybrida...
Rafflesia arnoldii...

Kau menyisakan Kernyit di dahiku!!!
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers