"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Minggu, 18 Desember 2011

Teknologi, Lingkungan dan Dunia Intelektual


Menjamurnya Sistem Informasi Berbasis Teknologi;
Ancaman Ketidakteraturan Terhadap Lingkungan dan Dunia Intelektual
Oleh : Achmad Saptono, S.Sos

Perkembangan teknologi mau tidak mau perlu mendapatkan perhatian lebih dari semua kalangan, terutama dari kalangan praktisi dan akademisi yang mumpuni dalam bidang ini. Alasan yang mendasar adalah cepat atau lambat masyarakat Indonesia akan mengalami transformasi sosial menuju sebuah sistem teknologi atau teknorasi sebagai konsekuensi dari mengalirnya banjir alih teknologi dari negara-negara industri maju, kalau bukan karena keberhasilan para praktisi teknologi Indonesia di dalam pengembangan teknologi di masa depan.
Share:

Sabtu, 26 November 2011

Analisis isu Film Laskar Pelangi


RAPORT MERAH UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

“Saya pikir Cirebon sudah cukup gerah, tapi rasanya tidak begitu gerah kalau kita hanya duduk diam membiarkan anak-anak usia belasan tahun tanpa pendidikan karena faktor kemiskinan”

Belitong tahun 1974, setting waktu dan nama daerah dalam Film Laskar Pelangi. Film yang berangkat dari Novel berjudul “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata ini benar-benar menjadi warning tersendiri bagi para praktisi maupun akademisi di zaman sekarang. Film ini mencoba mengkomparasikan bagaimana kondisi sekolah swasta/SD Inpres dan SD negeri pada zaman rezim Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pendidikan secara perlahan memang sudah dikomersilkan. Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara sepertinya memang tidak pernah menjalankan secara konsekuen, tidak pernah konsisten dengan amanat UUD 1945 terutama terkait persoalan pendidikan.
Share:

Senin, 21 November 2011

Analisis Film Children of Heaven


Children of Heaven ; Kisah Si Miskin-Pintar “Ali Mandegar”
Memanjat “Menara Gading”[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

“Matahari terbit | fajar tiba | dan aku melihat delapan juta kanak – kanak | tanpa pendidikan... (W.S.Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 1978)

Di tahun 1978 yang lalu Alm. W.S. Rendra dalam sajaknya mengatakan kurang lebih sebanyak 8 Juta anak-anak yang tidak bisa memanjat menara gading bernama pendidikan. Saking kokohnya menara itu di mata masyarakat Indonesia, sehingga tidak heran jika dalam film Children of Heaven, sosok Ali Mandegar dan Zahra digambarkan harus bekerja sama dengan cara bertukar sepatu setiap hari untuk memanjat menara gading itu. Entah masih berapa banyak lagi Ali dan Zahra lain di Indonesia yang benar-benar belum dilirik sama sekali oleh pemerintah.
Share:

Rabu, 09 November 2011

PSK; Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


PSK; Pahlawan Tanpa Tanda Jasa[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

Keprihatinan dunia terhadap perempuan sudah lebih dari 30 tahun yang lalu disuarakan, tepatnya pada Konferensi Perempuan Dunia I di Mexico tahun 1975. Keprihatinan ini muncul karena dorongan semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap kaum perempuan. Keprihatinan perempuan Indonesia berkembang di Indonesia diawali dengan munculnya gerakan emansipasi wanita, atas pelopor pejuang perempuan asal kota Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng Kartini, tokoh perempuan Jawa sekaligus Pahlawan Nasional yang kemudian dikenal sebagai sang pelopor kebangkitan para perempuan pribumi.
Share:

Cerpen: Celana Abu-abu


Celana Abu-abu
Oleh : Achmad Saptono

Setengah terbenam mentari kala itu, menjemput lamunan tentang pagi. Arie yang sudah satu setengah bulan dinyatakan lulus SMA bangkit dari tempat tidurnya, kemudian bergegas  menuju kamar mandi. Ia langsung membasuh wajahnya dengan air yang ia kucurkan dari kendhi tempat menampung air wudhu. Setelah selesai membasuh wajah, ia kembali ke kamar untuk ganti pakaian. Usai istirahat tidur siang biasanya Arie memang sering main ke rumah teman sekelasnya, Bima. Bahkan sampai sekarang ia masih sangat akrab dengan Bima, sore ini Arie janjian dengan Bima tepat pukul 04 di rumah Bima akan pergi menengok Shanti yang dikabarkan sedang sakit. Shanti adalah teman perempuan yang juga satu kelas dengan mereka. Celana abu-abu dan kaos oblong/T-shirt, pakaian itu yang sering Arie kenakan ketika bermain setelah pulang sekolah dan setelah istirahat tidur siang.
ilustrasi
Dua pintu lemari pakaian sudah terbuka lebar, ia menjulurkan kepala ke dalam lemari, melongok dan memilih kira-kira pakaian apa yang akan dikenakan sore ini. Mengingat ia sudah tidak lagi berstatus sebagai siswa SMA, perasaan kurang percaya diri bercampur malu melekat dalam diri Arie. Sedangkan saat ia hendak mengenakan celana lain, menurutnya memang tidak ada celana yang pantas untuk ia kenakan selain celana abu-abu kesayangannya saat masih sekolah SMA. Celana panjang dengan model sama namun dengan varian warna yang bermacam-macam terlihat sangat rapih tersimpan di dalam lemari pakaiannya, tapi sama sekali tidak ia lirik, ia tidak tertarik untuk mengenakan celana-celana itu.
Share:

Senin, 24 Oktober 2011

Refleksi Nasionalisme


“Nasionalisme, Antara Harapan dan Kenyataan”
Oleh : Achmad Saptono

Siang yang terik aku habiskan untuk menghadiri diskusi seputar “Nasionalisme” di sebuah kampus swasta di Kotaku. Dengan pembicara yang berapi-api memaparkan pentingnya rasa Nasionalisme untuk membangun Indonesia seutuhnya. Kalau aku simpulkan, cara pembicara memaparkan materi secara umum menggunakan pendekatan Filsafat. Mengingat peserta diskusi yang rata-rata mahasiswa semester 1, saat itu juga aku berpikir “apakah semua peserta diskusi ini akan mengerti tentang apa yang disampaikan oleh pembicara?”. Setelah kurang lebih 45 menit pemaparan materi berjalan, tiba-tiba terdengar suara riuh nan kompak dari peserta diskusi yang tepat duduk di barisan paling belakang , “Setuju!!! Betul!!!”, lalu saat pembicara melemparkan pertanyaan, “Indonesia saat ini sedang dijajah oleh pihak asing melalui berbagai cara, apakah kita akan diam saja?, peserta di barisan belakang dengan kompak menjawab, “tidak!!!”. Dan tak lama kemudian, sang pembicara membacakan sumpah, janji atau baiat yang isinya tentang semangat berpegang teguh pada Nasionalisme yang mengacu pada Pancasila. Pasca acara tersebut selesai, banyak pertanyaan yang terlontar dalam benakku, diantaranya adalah “memang harus dengan cara seperti ini ya untuk menunjukkan rasa Nasionalisme kita? Kayaknya banyak cara deh untuk menunjukkan rasa Nasionalisme kita itu, tapi caranya apa aja ya?”.
Berawal dari pengalaman tersebut, di tulisan ini aku membicarakan tentang “Nasionalisme, antara harapan dan kenyataan”. Sepertinya isu Nasionalisme masih seksi bagi beberapa kalangan masyarakat. Seksinya isu itu yang kemudian dijadikan peluang oleh politisi untuk memobilisasi massa. Dengan menjual kata “Nasionalisme”, para politisi mengatakan ingin mewujudkan masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang cinta tanah air, menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan sebagainya. Bukannya aku pesimis atau anti Nasionalisme, aku sepakat bahwa semangat Nasionalisme itu harus tetap terintegrasi dalam hati sanubari seluruh warga Indonesia. Namun permasalahannya adalah terlalu ekstrim ketika para politisi yang menjual Nasionalisme, sampai-sampai ia mempersiapkan sumpah tersendiri yang memaksa peserta forum diskusi untuk mengikuti membaca sumpah tersebut.
Seringkali di acara upacara bendera dalam rangka peringatan hari-hari besar dikatakan bahwa dengan mengikuti upacara bendera merupakan bukti bahwa kita mempunyai rasa nasionalisme. Dalam hati aku berpikir, “berarti yang gak ikut upacara bendera, gak punya rasa nasionalisme dong?”. Upacara bendera merupakan seremonial, merupakan ritual yang rutin dilaksanakan di sekolah-sekolah setiap hari senin atau di setiap hari-hari besar. Saat momen pengibaran bendera, semua peserta upacara diwajibkan mengangkat tangan dengan posisi hormat kepada bendera dua warna itu. “kepada sang saka merah putih, hormat graak!!!” demikian teriak pemimpin upacara dalam setiap momen upacara bendera yang masih aku ingat dengan jelas sampai sekarang. Tak heran jika beberapa waktu yang lalu saat ada sekelompok orang yang menginjak-injak bendera tersebut, kemudian menjadi masalah besar karena dianggap tidak menghormati Indonesia, tidak punya rasa Nasionalisme atau apa-lah itu.
Isu Nasionalisme kembali diangkat dalam rangka meningkatkan semangat menuju pembangunan Indonesia seutuhnya, ini katanya. Kata beberapa kelompok orang yang memang benar-benar fanatis dengan fokus kajian kebangsaan atau Nasionalisme dalam komunitasnya sendiri. Dan kalau dipikir-pikir, kelompok ini yang kemungkinan dalam jangka panjang kemudian bisa merubah arah gerakan menjadi separatisme. Kenapa aku katakan demikian? Karena demi kepentingan tertentu kelompoknya, mereka bisa melakukan hal-hal apa saja sampai-sampai melupakan norma yang berlaku di Indonesia. Sebut saja NII misalnya, kelompok yang katanya mempunyai kepentingan ingin mendirikan negara tandingan selain Republik Indonesia. NII bisa saja menggunakan Nasionalisme sebagai alat untuk memobilisasi massa dengan iming-iming Nasionalisme, atau bahkan untuk memecah belah satu sama lainnya.
Soekarno-Hatta, M.Yamin, Bung Tomo atau tokoh Pahlawan nasional lainya aku kira tidak serta merta tanpa tedeng aling-aling saat menggagas isu Nasionalisme, tidak lain karena mereka ingin menyatukan bangsa Indonesia. Sama halnya dengan para politisi di jaman sekarang yang memang jelas-jelas punya kepentingan saat mereka berbicara panjang lebar tentang Nasionalisme, karena memang partai politik mereka yang kental dengan isu Nasionalisme lalu mereka menjual kata Nasionalisme tersebut untuk mencari suara dari rakyat. Orang yang benar-benar mengagung-agungkan nasionalisme, kemudian terlibat aktif dalam partai tertentu dan kemudian menjadi sangat fanatis, ia menjadi sangat sensitif, bahkan sangat diskriminatif ketika mengetahui lingkungan masyarakat yang menurut mereka kurang mempunyai rasa Nasionalisme. Mungkin karena hal ini juga, yang menyebabkan terjadinya insiden penangkapan kelompok mahasiswa yang sedang melakukan aksi demonstrasi dengan cara penurunan bendera merah putih di kota Purwokerto beberapa tahun yang lalu.
Selain sebagai bahan refleksi guna menyambut momentum Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober nanti, memang tidak ada tujuan lain dalam tulisan ini, hanya ingin mengajak pembaca untuk mendiskusikan dan merefleksikan tentang apa itu esensi dari Nasionalisme, lalu bagaimana cara mengimplementasikannya.
Share:

Minggu, 16 Oktober 2011

Menanti Purnama


Menanti Purnama, Kapan Kembali Cerah

Bulir keringat di pelipis mata
Cahaya penantian...
Deru kenangan penuh sesak membayang dalam ingatan
Tak sekejap saat kuletakkan rasa di meja kasih
Hingga kasih kini tlah membaluri degup jantung
Tiada yang dapat lari bersembunyi dari senyumnya
Kalaupun tiada purnama...
Malam pasti akan kembali indah
Jika senyum kasih berkenan menyelimuti
Kasih, kapan kau kembali cerah?

16 okt 2011/20.47 Wib
Share:

Sabtu, 01 Oktober 2011

Desaku tak lagi ramah!


Menunjukan angka 80 sampai 100 km/jam jarum speedometer di motor. Bukan hanya untuk menghindari sengatan matahari, tapi memang harus seperti itu di tengah ramainya kendaraan di kota besar. Tidak tau jalan yang pasti. Hanya dengan modal yakin pasti bisa ketemu, yakin tidak akan nyasar, kupacu terus sepeda motorku, menyusup di selah pinggang mobil-mobil besar. Belum sempat mandi pagi, tapi di siang yang sangat terik itu aku tiba di pusat keramaian kota. Kuusap wajahku yang penuh keringat dengan sapu tangan yang kusimpan di kantong belakang celana belelku. Kemudian masuklah aku di pusat perbelanjaan.
Sekitar pusat perbelanjaan dan lingkungan kota di sekitar yang menjadi setting dari ceritaku kali ini. Dengan kondisi kepala mendidih, kucari tempat yang nyaman untuk sekedar duduk beristirahat. Akhirnya kutemukan kafe di lantai 2 pusat perbelanjaan. Kopi hitam aku pikir bisa meredam kepalaku yang mendidih karena bising dan teriknya perjalanan di kota besar. Dengan duduk di kursi yang melingkari meja, kulemparkan pandangku ke setiap sudut ruangan di sekitarku. Samping kiriku adalah kaca besar yang sengaja dijadikan space bagi pengunjung untuk menikmati pemandangan di luaran sana. Tepat di hadapanku adalah sepasang kekasih dengan sang perempuan berkulit kuning langsat, rambut merah marun dan sebatang rokok di tangan kirinya. Samping kananku adalah remaja (sepertinya anak-anak SMA) yang sedang asyik menikmati minuman dingin dan masing-masing mengotak-atik blackberry di tangannya. Pemandangan seperti itu bukan pemandangan yang pertama kali aku temui, memang. Namun yang paling membuatku tertegun dan meluangkan banyak waktu untuk memutar otak adalah kenapa keadaan ini benar-benar memacu kinerja otakku untuk terus berpikir dan terus melemparkan pertanyaan-pertanyaan dalam hati?
“Pemandangan seperti ini di kampung tempat tinggalku dan di kota tempat aku kuliah juga sudah sering aku temukan”, dalam hati aku menyimpulkan. Memang sudah sangat sulit membedakan pergaulan remaja di kota dan di desa. Fashion-pun agaknya susah untuk dijadikan parameter apakah seseorang berasal dari kota atau desa. Kontaminasi budaya kota sudah menjalar ke pedesaan. “Entah ini sebuah kemajuan atau kemunduran”, pernyataanku pasrah dalam hati. Desaku tak lagi ramah!. Tidak mau terlalu pusing memikirkan hal itu, akhirnya aku putuskan untuk mengalihkan pandangan di samping kiriku. “ini adalah kali pertamanya aku menapakkan kaki di kota ini, aku harus benar-benar menikmati dan mengamati setiap gejala yang aku temukan selama aku ada di sini”, kira-kira seperti itu yang aku pikirkan.
Kaca tebal yang bening dengan ukuran panjang kurang lebih 7 meter melingkar, dan tinggi sekitar 4 meter. Lumayan strategis duduk di sini. Bisa melihat sekitar kota yang panas. Gedung-gedung tinggi. Rumah-rumah yang padat dengan warna kusam oleh debu. Bukit-bukit yang tandus. Namun ada satu pemandangan yang tidak bisa aku temukan dari balik kaca ini. Aku tidak bisa melihat biru langit dan cerahnya awan yang benar-benar alami warnanya. Mungkinkah gara-gara warna mereka sudah tertutup oleh asap pabrik? Asap kendaraan? Di desa tempat aku lahir-pun semakin hari semakin banyak pabrik bermunculan. Jangan-jangan akan terjadi hal yang sama dengan desaku??? Ah, desaku tak lagi ramah.
Setelah duduk-duduk di kursi tadi, ternyata cukup meredakan kondisi kepalaku yang sebelumnya sudah mendidih. Walaupun kini muncul gejala baru dalam pikiranku, yakni pertanyaan-pertanyaan seputar ketakutanku akan kondisi desaku yang kemungkinan besar lambat laun menjadi tidak ramah lagi. Sudahlah, lebih baik aku redam dulu pertanyaan-pertanyaan tadi. Beranjak dari tempat minum kopi, aku menuju lantai 1 karena pesan singkat yang masuk di hp’ku. Ya, aku memang sedang janjian dengan seseorang yang.......???? seseorang yang merasakan hal yang sama saat berada di pusat keramaian seperti ini. Hal tersebut yang justru memperkuat pendapatku, bahwa sepertinya suasana desa itu memang perlu dilestarikan, perlu dijaga! Karena menyangkut kebutuhan psikologis bagi manusia, karena manusia dan alam itu sesungguhnya sangat bersahabat. :)

*in memoriam 31 Juli 2011*

Share:

Selasa, 27 September 2011

Camar di Samudera


Camar di Samudera

Samudera telah pasang pekan ini
Camar berlari meninggalkan biru
Entah sampai kapan ia bersembunyi
Kerna terlanjur ia sematkan rasa
Deburan gelap lalu lalang menyelimuti kalbu
Bimbang ia meringkuk dibalik dingin
Senja semakin rapat di bibir pantai
Camar mengintai dari atas kaca jendela rumahnya
Air mata rindu terus ia tahan seiring gelap yang kian turun perlahan
Balada romansa membaluri ingatan di sekujur kepala
Percikan air diselah dedaunan yang tlah lama kering
Seolah mendendangkan alunan kenangan
Cintanya akan samudera terejawantahkan di kesendiriannya
Apa daya karang tlah rapuh menepis

“Cirebon, 27 Sept. 2011”

Share:

Seumpama

  Pangkuan Mentari

Barangkali cawan ini terlalu lama dalam almari
Hingga hiasan tulisan tlah kabur tertutup debu
Seumpama bahagia adalah saat pagi bernyanyi
Hadirmu kan kuantarkan di pangkuan mentari yang merindu
Seumpama kasih adalah saat kau terjaga diantara malam
Akan kubiarkan pagi menanti di sudut jalan berantah

“Cirebon, 26 Sept. 2011”

Share:

Rabu, 21 September 2011

Kemelut


Kemelut

Pendar rindu membuncah setiap waktu
Tak ayal tatkala aku terpelanting menuju sepi
Kalut memberingsut gelap dan kabut
Hempaskan aroma kasih membaur laksana kemelut
Bulan cemberut mentari-pun takut
Dalam hampanya ruang rasaku tersudut
Semakin tersudut semakin hanyut

“September, Cirebon/Purwokerto”
















Share:

Selasa, 09 Agustus 2011

Peribahasa: Bagai Hukum di Daun Talas


Bagai Hukum di Daun Talas
Oleh : Achmad Saptono

Orang yang nyolong ayam terus ditangkep, dipenjara atau digebukin, dibakar itu udah biasa. Orang yang ngomongnya nyentil-nyentil pemerintah (walau Cuma di Internet) ditangkep, itu juga udah biasa. Mahasiswa pada demo di depan gedung DPR, DPRD atau di Istana negara, ditangkep juga... ya itu biasa. Orang naik mobil atau motor tanpa surat-surat, ditangkep, dikira maling, itu biasa. Orang yang nyolong cokelat, nyolong semangka atau sejenisnya ditangkep selama sekian bulan atau sekian tahun, yaah biasa sih... baru aja kemaren-kemaren kasus itu terjadi.
Para pejabat yang korupsi duit rakyat jutaan, milyaran bahkan sampai triliunan ditangkep, itu biasa...eh, engga ding... pejabat ditangkep? Pura-pura ditangkep mungkin lebih tepatnya, lhah biasanya kan mereka itu sebelum ditangkep, terus mereka tiba-tiba langsung (pura-pura) sakit. Hukum yang ada di negara ini katanya gak berlaku buat orang yang lagi sakit. Pantesan dulu Pak Soeharto itu gak pernah ditangkep ya??? Doi kan sakit-sakitan mulu. Hahhaa.... padahal waktu jaman pemerintahannya Pak Soeharto tau sendiri kan? Ngritik dikit culik, bunuh!! Tembak mati!!! Buktinya sampe sekarang masih ada tuh, Om Wijii Thukul sampe sekarang ilang gak ketemu gara-gara dulu doi ngritik pemerintahannya Pak Soeharto lewat puisi-puisinya.
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers