"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 01 Januari 2011

Bahaya Pragmatisme


Jahatnya Penyakit Pragmatisme!
Oleh : Tino*

Pemanasan atau yang biasa disebut dengan warming up sebelum olah raga itu perlu, agar semua otot dan tulang-tulang tidak terasa tegang atau kencang. Benar kan? Kalimat Itu mungkin analogi yang tepat untuk mendeskripsikan betapa pentingnya proses step by step. Walaupun kadang saat kita berada dalam sistem birokrasi, seharusnya pemahaman tadi berlaku. Akan tetapi mungkin konteks sistem disinipun perlu kita kaji ulang, sistem yang seperti apa? Salah satu tokoh Struktural fungsional, Talcot Parsons dalam kerangka AGIL menjelaskan bahwasanya sebuah sistem akan bekerja maksimal jika semua bidang antara A, G, I dan L dapat berjalan sesuai dengan fungsinya. AGIL yang dimaksudkan Parsons disini yaitu Adaptasi, Goal, Integrasi dan Laten.
Intinya gini, kalau sistemnya “normal” – tidak ada unsur penyimpangan sosial alias gak ada yang cacat maka oke-oke aja kita jalani prosedure yang ada. Misal gampangannya gini ; kita sekolah kan tingkatannya TK, SD, SMP, SMA, PERGURUAN TINGGI dst. Nah, kalau ada salah satu tingkatan sekolah dengan metode pembelajarannya gak sesuai, maka out put dari siswanya pun bakalan “gak bener”. Contoh lainnya gini, mahasiswa yang mau pinjem aula kampus buat kegiatan seminar dll, harus pake surat, proposal, duit jaminan, gak boleh sampe larut malem dan sebagainya. Yang kaya gini nih yang bisa dibilang sistemnya ada yang cacat.
Kembali ke benang merah! Judul yang tertulis diatas arahannya akan lebih berbicara tentang kesiapan dan persiapan individu saat hendak melangkah jauh. Hal kecil misalnya saja belajar atau baca buku, sebelum baca buku tentang B seharusnya baca dulu yang tentang A nya. Sebelum ngomong A, individu itu harus pelajari dulu A sampai benar-benar mengerti atau kalau dituliskan ke dalam kata-kata Mutiara, “Jangan terlalu cepat menyimpulkan” atau “Kalau sudah merasa paham, Jangan langsung besar kepala kemudian banyak bicara”. Kurang lebih seperti itu, karena di atas langit masih ada langit. Benar kan?
Jadi kalau ada yang mau belajar filsafat, (sebaiknya) pelajari dulu tauhid, al-qur’an dan As-sunnah (bagi yang muslim) atau perdalam dulu ilmu tentang keyakinannya. Kalau ada yang ingin belajar Postmodern, (sebaiknya) pelajari dulu perkembangan munculnya Postmodern tersebut, kan sebelum Postmodern ada Modern dan Klasik. Contoh lainnya, kalau ada yang ingin berdebat, berdialektika (sebaiknya) baca dulu referensi atau bukunya sampai tuntas. Sekarang gampangannya gini deh, kalau misalnya kamu banyak ngomong tanpa landasan yang jelas atau sudah menyimpulkan sebelum mengetahui semuanya, kemungkinan besar 90 % argumen kamu akan terbantahkan oleh mereka yang sudah membaca buku atau mempelajari sampai tuntas. Apalagi ketika banyak ngomongnya tanpa memberikan tawaran solusi yang konkret! Kamu bakalan masuk anggota kelompok NATO deh. Kalau di kampus saya mah terkenal dengan sindiran, “mahasiswa kok bisanya Cuma ngritik doang!”.
Ingat! Jahatnya penyakit Pragmatisme, semakin hari semakin mengajak kita untuk beralih ke pola hidup instant. Bahkan dalam hal berfikir kitapun terus dipengaruhi oleh penyakit tersebut. Jangan terlalu cepat menyimpulkan!!! Baca buku atau Kenali dan pelajari lagi lebih jauh dan sampai kamu benar-benar merasa yakin bahwa kamu mengerti akan suatu hal karena ada landasan yang kuat, karena referensi yang jelas! Dengan seperti itu, kamu akan jauh dari rasa ragu untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain.

Share:

Si Miskin Konservatif


Pengemis (Si Miskin Konservatif) di tengah Pasar Global
Oleh : Achmad Saptono*


Gambar : Di Sekitar Kampusku
Judul di atas akan terlihat terlalu berat jika hanya dibaca redaksionalnya saja. Mari ikuti apa yang saya maksudkan tentang miskin yang konservatif dalam tulisan ini. Pengemis, dahulu adalah perilaku yang sangat-sangat nista bagi masyarakat. Mengemis adalah hal yang tabu untuk dilakukan jika saja bukan karena kepepet alasan ekonomi. Menyodorkan telapak tangan, menundukkan kepala serta dagu, merintih lapar, bahkan ada yang berdalih mengatasnamakan do’a dan sebagainya.
Pengemis susah untuk diklasifikasikan berdasarkan usia, karena orang yang mengemis tidak melulu orang-orang tua yang sudah tidak mampu bekerja ekstra saja – anak muda dan anak-anak kecilpun menjadi pelaku hal yang sama yakni mengemis, atau bukan cuma pengemis yang cacat fisik saja – melainkan “cacat” akan kesadaran innovatif, progressif, serta kesadaran-kesadaran revolusioner yang lainnya.
Pengemis Berdasi
Bagaimana negara kita mau maju kalau warganya rata-rata mempunyai mental pengemis??!!! Pertanyaan ini seharusnya merupakan sebuah tamparan keras bagi kita yang juga termasuk pengemis akademis. Hanya demi mendapatkan nilai mata kuliah yang bagus, kita rela membawakan makanan apa saja untuk dosen kita. Dosen atau karyawan yang ingin naik pangkat-pun demikian, mereka rela melakukan apa saja seperti merayu, “nyogok”, berperilaku ramah padahal biasanya tidak. Menteri atau Pejabat di DPR, DPRD? Silahkan analisa sendiri, saya kira mental mereka pun tidak akan jauh-jauh dari mental pengemis yang saya maksud. Hanya saja yang membuat kita berbeda dengan mereka adalah mereka termasuk pengemis berdasi, atau pengemis kerah putih sedangkan kita termasuk kategori pengemis akademis. Sama-sama pengemis kan?
Tanpa disadari bangsa kita hidup bergantung dari belas kasih orang atau bangsa lain. Tanpa hutang luar negeri, Pak SBY akan bingung mencari pinjaman hutang. Apakah bisa dikatakan wajar karena kita hidup itu harus simbiosis-mutualisme, saya rasa tidak! Lhah wong akhirnya selamanya kok bangsa kita jadi ketergantungan sama hutang luar negeri. Dan jika kita tarik ke hubungan kausal dampak dari hutang luar negeri ini, maka akan terbukti bahwa bangsa kita tetap berada di bawah tekanan bangsa asing.
Andai saja pengemis yang saya maksudkan mempunyai inisiatif mampu menjadi voluntaire bagi progressivitas dunia kepengemisan, misalkan dengan cara pengemis-pengemis tersebut menawarkan inovasi-inovasi kreatif untuk merubah image bahwasanya pengemis adalah malas, pengemis tidak mempunyai hasrat untuk maju dan sebagainya. Entah apa yang mendasari banyak pengemis yang merasa bangga dengan statusnya sebagai seorang pengemis, cara mudah mendapatkan hasilkah? Senang bermain dramaturgis sebagai seorang pengemiskah? Hobikah? Atau jangan-jangan memang sudah mempercayai bahwa mengemis adalah tradisi yang sudah mendarahdaging pada masyarakat kita? Terlepas dari banyak alasan tadi, saya yakin ada faktor eksternal yang menyebabkan mental pengemis terkonstruk dalam diri masyarakat di sekitar kita ini.
Pengemis Turunan
Fakir miskin dalam hal ini termasuk pengemis, ketika kita mengacu pada UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 jelas bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi realitas di sekitar kita, justru fakir miskin termasuk pengemis tersebut telah dilestarikan secara tidak langsung oleh Negara. Dari data observasi yang dilakukan oleh penulis selama 5 jam di daerah kampus saja, menemukan 5 orang pengemis yang berbeda dan tentunya dengan metode yang berbeda-beda. Berbagai macam kostum dan properti digunakan oleh pengemis semata-mata untuk menarik rasa iba, rasa belas kasih dari semua orang yang ia temui. Menggendong bayi atau balita, berpakaian kucel, rombeng, membawa surat pengantar dari kelurahan atau kecamatan, proposal bahkan sampai pengemis dengan cara “menjual do’a”-pun tak jarang saya temui.
Pernah beberapa minggu yang lalu saya melihat acara di televisi (red*), yang menayangkan tentang kilas-balik seorang pengemis di kota Jakarta. Acara tersebut mengupas fenomena mengemis yang dijadikan sebagai lapangan pekerjaan, pengemis yang menggantungkan nasibnya dengan cara mengemis atau meminta belas kasihan dari orang lain. Dalam acara tersebut pengemis berhasil diwawancarai, salah satu kenyataan yang terungkap dari pengemis tersebut yakni “mengemis adalah lapangan pekerjaan yang menjanjikan, karena penghasilan perhari bisa mencapai Rp.600-800.000 rupiah”. Bahkan yang lebih menjanjikan lagi bagi seorang pengemis adalah ketika omsett di hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri bisa mencapai Rp.1.000.000 rupiah. Jika dibandingkan dengan berjualan keliling, mengasong atau kaki lima, pekerjaan mengemis ini memang jauh lebih menjanjikan.
Namun dibalik semua itu, jika kita benturkan dengan halal atau tidaknya pekerjaan mengemis tersebut saya kira perlu kita pertanyakan lagi “Apakah mengemis yang dilakukan oleh pengemis di Jakarta itu termasuk halal atau tidak?”. Kenapa? Karena dalam acara televisi tersebut, pengemis juga mengatakan bahwa “pakaian yang ia kenakan ketika mengemis adalah pakaian khusus untuk mengemis, sedangkan pakaian keseharian dari pengemis tersebut layaknya pakaian biasa yang digunakan masyarakat pada umumnya”.
Sudah demikian parahnya mental pengemis, sudah demikian hebatnya pola pikir instant mencari uang tertanam pada masyarakat Indonesia. Hanya dengan memasang wajah memelas, mengatasnamakan fakir miskin yang tidak mampu dan sebagainya. Ketatnya persaingan dunia kerja serta dampak krisis ekonomi ternyata mampu membuat penyakit pragmatis semakin akut menimpa masyarakat Indonesia. Pengemis yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya adalah yang saya maksud dengan Pengemis (Si Miskin yang Konservatif). Karena mereka tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi zaman yang sudah terpengaruh oleh Pasar Global, dimana inovasi termasuk dalam hal IPTEK sudah semakin bermunculan dari berbagai macam bidang. Semangat mereka adalah bukan semangat pekerja keras yang memimpikan kemajuan. Kalau saran saya, segera jauhi mental-mental pengemis itu, lalu beralihlah menanamkan mental entrepreneurship, atau leadership sedini mungkin. Mari kita lakukan hal-hal yang belum pernah kita lakukan, diawali dari hal-hal yang paling kecil.
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers