Janda
di dada aing!
Oleh
: Tino Achmad Saptono*
Aku pria 22 tahun yang
baru saja lulus kuliah tahun lalu, namun sekarang sudah beristri dan beranak 4
(empat). Keempat anak itu perempuan, tapi bukan darah dagingku sendiri. Ya,
benar sekali dugaan anda sekalian, aku memang menikahi seorang janda usia 37
tahun. Konon kabarnya, istriku menyandang gelar janda karena dulu almarhum
suami istriku itu meninggal akibat serangan penyakit diabetes.
Banyak yang bilang aku
ini bego, tolol dan kawanannya – karena aku yang seorang sarjana ekonomi kok
mau-maunya menikahi janda beranak 4 (empat). Tapi setidaknya di tulisan ini aku
mau jelaskan alasanku kenapa mau menikah dengan seorang janda. Oh iya, istriku
bukan termasuk janda kaya lhoh ya…
Kali pertama aku ketemu
sama istriku yang pintar berdandan itu, di warung kopi tempatnya. Sedari
almarhum suaminya masih hidup sampai menjadi janda, istriku itu dulu memang
membantu suaminya mencari nafkah dengan membuka warung kopi. Warung kopi yang
buka dari jam 06 pagi sampai jam 08 malam bahkan kadang sampai jam 09, ketika
malam tertentu (malam minggu misalnya).
Sama seperti nasib fresh graduated yang lainnya, dua bulan
lamanya aku mondar-mandir membawa amplop lamaran dari perusahaan satu ke
perusahaan yang lainnya. Saat aku masuki satu persatu perusahaan, jawaban yang
sering terlontar dari bagian penerimaan kepegawaian adalah “berkas lamaran ini
saya terima, tunggu pemberitahuan selanjutnya dari kami ya..”, atau “tunggu
panggilan dari kami minggu depan ya..”. Dalam hati, “ah, nunggu lagi….”.
Terlalu seringnya
kupingku mendengar jawaban itu, bosan bercampur lelah yang ada dalam pikiranku.
Warung Mbak Ranti, janda beranak empat inilah yang selalu menjadi satu-satunya
tempat untukku melepas lelah, warung yang mengerti keadaanku, karna di sana aku
yang sering kehabisan uang bisa diizinkan nge-bon dulu. “Nanti kalau aku udah
kerja dan udah dapat penghasilan, semua hutangku akan aku bayar ya mbak…”,
ucapku setiap kali hendak meninggalkan warung menuju pulang. “Iya mas, kalem
aja sama saya mah…”, begitu jawab Mbak Ranti sambil tersenyum ramah dan manis
(Menurutku, secara sekarang dia udah jadi istriku). Hehe…
Kalau boleh jujur, yang membuatku mau menikahi janda itu salah
satunya adalah karena sifat dan pembawaannya yang ramah serta manis, sedang alasan
lainnya bagiku banyak sekali yang susah untuk aku ceritakan di tulisan ini.
Pasti akan menghabiskan ratusan bahkan ribuan halaman, untuk menceritakan
alasan ketertarikanku kepada janda itu.
Pernah suatu hari, di
terik siang yang menggigit ubun-ubun serta bagian punggungku. Aku mampir ke
warung Mbak Ranti, berteduh sambil memesan segelas Es Teh. Siang hari, bukan
hanya aku yang kelojotan karena dahsyatnya sengatan matahari kota. Sopir
angkot, bajaj, metromini bahkan sampai tukang becak-pun berjubelan memesan
minuman dingin di warung Mbak Ranti. Agak heran banyak bingung, dan cukup sulit
untuk aku cerna dengan pikiran sehat. “Tidak ada rasa yang beda dengan minuman
dingin buatan Mbak Ranti, tapi kenapa bapak-bapak sopir dan tukang becak ini
rela berdesakan minum di warung bawah pohon punya janda ini ya?”, tanyaku dalam
hati.
Kurang lebih 5 menit
aku merenungkan pertanyaan tadi, sembari menikmati Es Teh yang masih tersisa
setengah gelas lagi. Bersamaan dengan itu, aku mendapati bapak-bapak sopir dan
tukang becak tadi yang ternyata luar biasa genit, nakal dan aiihh….
wajah-wajahya berubah kayak buaya. “Mbak Ranti, aku pesan Teh Manis dingin yang
tanpa gula tapi plus senyum Mbak’nya dong, segelas aja…”, salah seorang sopir
metromini yang duduk persis di sebelahku dengan wajah buaya memesan minuman.
Bapak sopir di sebelahku ini aku anggap mending, karna ternyata di bangku
tempat aku duduk – tepatnya berdekatan dengan Mbak Ranti berdiri, ada 2 sopir
angkot yang memesan minuman sambil memegang tangan Mbak Ranti dan parahnya
mereka sesekali bergantian menowel bokong
Mbak Ranti.
Sabar. Mbak Ranti
memang seorang janda muda yang cukup sabar. “Kalau aku tidak sabar, atau kalau
aku
melarang mereka agar tidak genit ya nanti warungku jadi sepi Mas…”, Begitu
ungkap Mbak Ranti saat bapak-bapak sopir itu sudah pada pergi, saat di warung
cuma tinggal seorang janda muda yang manis dan seorang sarjana muda yang belum
kerja. Sejak saat itu, Mbak Ranti menjadi semakin terbuka untuk bercerita
kepadaku tentang keluh kesahnya selama berdagang dan terutama selama ia menjadi
janda.
…………………………………………..
Satu minggu kemudian,
aku diterima kerja menjadi seorang Promotor di sebuah perusahaan rokok yang
cukup besar. Kerja sebagai seorang promotor, tidak melulu ada di kantor dan
tidak juga melulu ada di lapangan. Saat itu, kerja di kantor atau-pun di
lapangan, sama sekali tidak menghambat keinginanku untuk mampir di warung kopi
Mbak Ranti. Pagi, siang atau bahkan sore hari saat pulang kerja, aku sering
menyempatkan mampir dan ngobrol-ngobrol dengan Mbak Ranti.
Seperti sedikit yang
sudah aku ceritakan di atas tentang alasanku mau menikahi janda muda bernama Ranti.
Mbak Ranti ini selain ramah, senyumnya manis, sabar, ia juga seorang Ibu yang
luar biasa untuk anak-anaknya. Ia melarang anak-anaknya ikut membantu
berjualan, meski anaknya yang pertama sudah cukup besar, sudah duduk di bangku
kelas 2 SMA, anak keduanya kelas 3 SMP, anak ketiganya kelas 5 SD, dan anak
bungsunya sudah kelas 2 SD. Kalau Mbak Ranti mau, sebenarnya keempat anaknya
itu sudah bisa membantunya berjualan. Bukan “janda di dada aing” namanya, kalau
Mbak Ranti sampai tega merampas masa kanak-kanak dari ke empat anaknya.
Suatu hari, kamis malam
tepatnya ba’da isya. Sepulang kerja, aku mampir ke warung Mbak Ranti. Sangat
berbeda dengan pagi, siang atau malam-malam yang lainnya. Kali ini warung
tampak sepi. Mbak Ranti-pun sudah berniat akan menutup warungnya setengah jam
lagi. Setibanya di depan warung aku langsung bertanya, “lhoh tumben, kok
sepertinya Mbak sudah rapih-rapih, mau tutup ya mbak? Masih sore kok mbak…”.
Saat itu Mbak Ranti sambil mencuci gelas dan piring menjawab, “Iya Mas, maklum
aku kan janda. Takut makin banyak anggapan-anggapan negatif tentang aku Mas…”.
Sontak aku langsung menimpali, “tapi aku masih bisa pesan kopi kan Mbak? trus
yang mbak maksud, anggapan negatif apa sih mbak?”.
Sambil mengambil gelas,
menuang kopi, sesekali Mbak Ranti tersenyum sembari menjawab pertanyaan yang
aku lontarkan, “hehee… aku pernah loh mas dianggap pake jimat pelaris karena
warungku selalu ramai, sering dibilang janda genit, kegatelan, warung kopi
plus-plus, malah ada juga yang bilang warungku ini warung esek-esek karena
sering buka sampai malam. Sudahlah mas, lupain aja anggapan-anggapan itu. Ini
kopinya mas silahkan…”.
Saat itu aku baru sadar,
ternyata konstruks masyarakat mengenai janda muda itu sangat kompleks. Sambil
terus ngobrol ngalor-ngidul (sebut saja sedang pedekate). Setengah jam kemudian
kopiku sudah tinggal ampas. Bersamaan dengan itu Mbak Ranti menutup warungnya.
Aku ikut membantu Mbak Ranti, kemudian pulang ke kontrakan naik becak berdua.
Pedekate itu
berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) bulan kemudian berlanjut ke
pernikahan. Demi menjaga istriku dari buaya jalanan, aku putuskan untuk
berhenti menjadi promotor perusahaan rokok, dan membantu membesarkan -
mengelola warung kopi istriku.
…………………………………………..
Di situlah kehebatan
istriku. Dia bisa tersenyum ramah meski beban yang ia pikul cukup besar. Dia
bisa berdagang dari pagi sampai malam, meski konstruks “janda muda” saat itu
semakin menjadi. Dia menyekolahkan dan tidak mau merampas masa kanak-kanak dari
ke empat anak perempuannya. Janda di dada aing!!! Eh, sekarang mah ganti.
Istriku Ranti di dada aing! [t.a.s].
*Penulis
berdomisili di Klangenan, Cirebon, akrab disapa Tino. Tercatat sebagai salah
satu Santri di Komunitas Rumah Kertas – Cirebon.
"Senin
Pagi//21 Jan 2013"
0 comments:
Posting Komentar