"Sekadar umpatan yang tersimpan dalam barisan kata"

Jumat, 25 Januari 2013

Cerpen : Janda di Dada aing



Janda di dada aing!
Oleh : Achmad Saptono*

Aku pria 22 tahun yang baru saja lulus kuliah tahun lalu, namun sekarang sudah beristri dan beranak 4 (empat). Keempat anak itu perempuan, tapi bukan darah dagingku sendiri. Ya, benar sekali dugaan anda sekalian, aku memang menikahi seorang janda usia 37 tahun. Konon kabarnya, istriku menyandang gelar janda karena dulu almarhum suami istriku itu meninggal akibat serangan penyakit diabetes.

Banyak yang bilang aku ini bego, tolol dan kawanannya – karena aku yang seorang sarjana ekonomi kok mau-maunya menikahi janda beranak 4 (empat). Tapi setidaknya di tulisan ini aku mau jelaskan alasanku kenapa mau menikah dengan seorang janda. Oh iya, istriku bukan termasuk janda kaya lhoh ya…

Kali pertama aku ketemu sama istriku yang pintar berdandan itu, di warung kopi tempatnya. Sedari almarhum suaminya masih hidup sampai menjadi janda, istriku itu dulu memang membantu suaminya mencari nafkah dengan membuka warung kopi. Warung kopi yang buka dari jam 06 pagi sampai jam 08 malam bahkan kadang sampai jam 09, ketika malam tertentu (malam minggu misalnya).


Sama seperti nasib fresh graduated yang lainnya, dua bulan lamanya aku mondar-mandir membawa amplop lamaran dari perusahaan satu ke perusahaan yang lainnya. Saat aku masuki satu persatu perusahaan, jawaban yang sering terlontar dari bagian penerimaan kepegawaian adalah “berkas lamaran ini saya terima, tunggu pemberitahuan selanjutnya dari kami ya..”, atau “tunggu panggilan dari kami minggu depan ya..”. Dalam hati, “ah, nunggu lagi….”.

Terlalu seringnya kupingku mendengar jawaban itu, bosan bercampur lelah yang ada dalam pikiranku. Warung Mbak Ranti, janda beranak empat inilah yang selalu menjadi satu-satunya tempat untukku melepas lelah, warung yang mengerti keadaanku, karna di sana aku yang sering kehabisan uang bisa diizinkan nge-bon dulu. “Nanti kalau aku udah kerja dan udah dapat penghasilan, semua hutangku akan aku bayar ya mbak…”, ucapku setiap kali hendak meninggalkan warung menuju pulang. “Iya mas, kalem aja sama saya mah…”, begitu jawab Mbak Ranti sambil tersenyum ramah dan manis (Menurutku, secara sekarang dia udah jadi istriku). Hehe…

Kalau boleh jujur,  yang membuatku mau menikahi janda itu salah satunya adalah karena sifat dan pembawaannya yang ramah serta manis, sedang alasan lainnya bagiku banyak sekali yang susah untuk aku ceritakan di tulisan ini. Pasti akan menghabiskan ratusan bahkan ribuan halaman, untuk menceritakan alasan ketertarikanku kepada janda itu.

Pernah suatu hari, di terik siang yang menggigit ubun-ubun serta bagian punggungku. Aku mampir ke warung Mbak Ranti, berteduh sambil memesan segelas Es Teh. Siang hari, bukan hanya aku yang kelojotan karena dahsyatnya sengatan matahari kota. Sopir angkot, bajaj, metromini bahkan sampai tukang becak-pun berjubelan memesan minuman dingin di warung Mbak Ranti. Agak heran banyak bingung, dan cukup sulit untuk aku cerna dengan pikiran sehat. “Tidak ada rasa yang beda dengan minuman dingin buatan Mbak Ranti, tapi kenapa bapak-bapak sopir dan tukang becak ini rela berdesakan minum di warung bawah pohon punya janda ini ya?”, tanyaku dalam hati.

Kurang lebih 5 menit aku merenungkan pertanyaan tadi, sembari menikmati Es Teh yang masih tersisa setengah gelas lagi. Bersamaan dengan itu, aku mendapati bapak-bapak sopir dan tukang becak tadi yang ternyata luar biasa genit, nakal dan aiihh…. wajah-wajahya berubah kayak buaya. “Mbak Ranti, aku pesan Teh Manis dingin yang tanpa gula tapi plus senyum Mbak’nya dong, segelas aja…”, salah seorang sopir metromini yang duduk persis di sebelahku dengan wajah buaya memesan minuman. Bapak sopir di sebelahku ini aku anggap mending, karna ternyata di bangku tempat aku duduk – tepatnya berdekatan dengan Mbak Ranti berdiri, ada 2 sopir angkot yang memesan minuman sambil memegang tangan Mbak Ranti dan parahnya mereka sesekali bergantian menowel bokong Mbak Ranti.

Sabar. Mbak Ranti memang seorang janda muda yang cukup sabar. “Kalau aku tidak sabar, atau kalau aku 
melarang mereka agar tidak genit ya nanti warungku jadi sepi Mas…”, Begitu ungkap Mbak Ranti saat bapak-bapak sopir itu sudah pada pergi, saat di warung cuma tinggal seorang janda muda yang manis dan seorang sarjana muda yang belum kerja. Sejak saat itu, Mbak Ranti menjadi semakin terbuka untuk bercerita kepadaku tentang keluh kesahnya selama berdagang dan terutama selama ia menjadi janda.

…………………………………………..

Satu minggu kemudian, aku diterima kerja menjadi seorang Promotor di sebuah perusahaan rokok yang cukup besar. Kerja sebagai seorang promotor, tidak melulu ada di kantor dan tidak juga melulu ada di lapangan. Saat itu, kerja di kantor atau-pun di lapangan, sama sekali tidak menghambat keinginanku untuk mampir di warung kopi Mbak Ranti. Pagi, siang atau bahkan sore hari saat pulang kerja, aku sering menyempatkan mampir dan ngobrol-ngobrol dengan Mbak Ranti.

Seperti sedikit yang sudah aku ceritakan di atas tentang alasanku mau menikahi janda muda bernama Ranti. Mbak Ranti ini selain ramah, senyumnya manis, sabar, ia juga seorang Ibu yang luar biasa untuk anak-anaknya. Ia melarang anak-anaknya ikut membantu berjualan, meski anaknya yang pertama sudah cukup besar, sudah duduk di bangku kelas 2 SMA, anak keduanya kelas 3 SMP, anak ketiganya kelas 5 SD, dan anak bungsunya sudah kelas 2 SD. Kalau Mbak Ranti mau, sebenarnya keempat anaknya itu sudah bisa membantunya berjualan. Bukan “janda di dada aing” namanya, kalau Mbak Ranti sampai tega merampas masa kanak-kanak dari ke empat anaknya.

Suatu hari, kamis malam tepatnya ba’da isya. Sepulang kerja, aku mampir ke warung Mbak Ranti. Sangat berbeda dengan pagi, siang atau malam-malam yang lainnya. Kali ini warung tampak sepi. Mbak Ranti-pun sudah berniat akan menutup warungnya setengah jam lagi. Setibanya di depan warung aku langsung bertanya, “lhoh tumben, kok sepertinya Mbak sudah rapih-rapih, mau tutup ya mbak? Masih sore kok mbak…”. Saat itu Mbak Ranti sambil mencuci gelas dan piring menjawab, “Iya Mas, maklum aku kan janda. Takut makin banyak anggapan-anggapan negatif tentang aku Mas…”. Sontak aku langsung menimpali, “tapi aku masih bisa pesan kopi kan Mbak? trus yang mbak maksud, anggapan negatif apa sih mbak?”.

Sambil mengambil gelas, menuang kopi, sesekali Mbak Ranti tersenyum sembari menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, “hehee… aku pernah loh mas dianggap pake jimat pelaris karena warungku selalu ramai, sering dibilang janda genit, kegatelan, warung kopi plus-plus, malah ada juga yang bilang warungku ini warung esek-esek karena sering buka sampai malam. Sudahlah mas, lupain aja anggapan-anggapan itu. Ini kopinya mas silahkan…”.

Saat itu aku baru sadar, ternyata konstruks masyarakat mengenai janda muda itu sangat kompleks. Sambil terus ngobrol ngalor-ngidul (sebut saja sedang pedekate). Setengah jam kemudian kopiku sudah tinggal ampas. Bersamaan dengan itu Mbak Ranti menutup warungnya. Aku ikut membantu Mbak Ranti, kemudian pulang ke kontrakan naik becak berdua.

Pedekate itu berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) bulan kemudian berlanjut ke pernikahan. Demi menjaga istriku dari buaya jalanan, aku putuskan untuk berhenti menjadi promotor perusahaan rokok, dan membantu membesarkan - mengelola warung kopi istriku.

…………………………………………..

Di situlah kehebatan istriku. Dia bisa tersenyum ramah meski beban yang ia pikul cukup besar. Dia bisa berdagang dari pagi sampai malam, meski konstruks “janda muda” saat itu semakin menjadi. Dia menyekolahkan dan tidak mau merampas masa kanak-kanak dari ke empat anak perempuannya. Janda di dada aing!!! Eh, sekarang mah ganti. Istriku Ranti di dada aing! [t.a.s].

*Penulis berdomisili di Klangenan, Cirebon, akrab disapa Tino. Tercatat sebagai salah satu Santri di Komunitas Rumah Kertas – Cirebon.

"Senin Pagi//21 Jan 2013"
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers