Alamku tak Perawan lagi
Oleh Achmad Saptono
“Mengapa
harus tunggu bencana, baru kita percaya kebesaran Tuhan ... Mengapa harus
tunggu bencana, baru kita bersahabat dengan alam..., (SLANK – SOLIDARITAS)”
Putih lusuh warna dedaunan, putih
tandus warna pegunungan, cokelat keruh warna laut serta sungai di sekitarku,
hitam kecoklatan warna langitku.
Seharusnya seperti itu materi pelajaran yang
disampaikan untuk anak usia TK maupun SD, karena kenyataannya pun memang
seperti itu adanya. Bagaimana tidak?! Dedaunan kini sudah berubah warna karena
debu serta asap kendaran, pegunungan kini sudah berubah warna karena semakin
terkikis habis karena ulah penambang yang tak bertanggungjawab. Langit berubah
warna karena tebalnya asap kendaraan, asap industri dan sebagainya.
Aku semakin sangsi dengan keberadaan
klorofil pada dedaunan. Aku semakin sangsi dengan pelajaran yang disampaikan
oleh guru IPA’ku, bahwasanya banyak oksigen di udara ini, di alam ini, di
pepohonan ini. Konon katanya terjadi rantai makanan di tumbuhan serta
binatang-binatang yang ada di lingkungan sekitar kita, yakin masih ada rantai
makanan? Bukankah warna dedaunan hari ini sudah mengalami banyak perubahan?
Menjadi putih, menjadi hitam, cokelat atau lusuh karena polusi udara? Memang
ancaman bagi tumbuh-tumbuhan bukan hanya tumbuhan benalu atau parasit saja,
tapi parahnya kini manusia-lah yang menjadi ancaman bagi tumbuh-tumbuhan.
Tampak sangat tidak mudah untuk
dipercaya, jika ternyata manusia-pun menjadi ancaman bagi keberadaan tumbuhan
di sekitar kita. Seringkali aku tidak tahu sedang berada dimana, karena papan
nama/plang jalan yang ada di tepi
jalan telah tertutup reklame, spanduk atau sejenisnya. Seringkali aku tidak
percaya bahwa inilah desa tempatku dilahirkan, karena semakin banyaknya
bangunan mewah yg secara tidak langsung menghabiskan sawah serta pepohonan
lainnya. Padahal dulu, yang aku jadikan patokan saat mau belok adalah ada pohon
mangga di kanan jalan atau di kiri jalan.
Alamku tak perawan lagi. Kasihan
keponakan-keponakanku. Mereka tidak pernah merasakan asyiknya bermain di sungai
dekat rumah, mereka tidak pernah menyaksikan kerbau yang sedang membajak sawah,
mereka tidak pernah merasakan betapa asyiknya mencuri buah jeruk atau mangga di
kebun tetangga sebelah. Karena sawah dan perkebunan kini banyak yang sudah
berubah menjadi tanah kapling. Sungai-pun terkikis habis oleh bangunan-bangunan
baru, serta pemukiman warga. Ada pula sungai yang sudah beralih fungsi menjadi
tempat pembuangan sampah. Ah, kadang,
aku-pun merasa sulit untuk membedakan mana desa dan mana kota. Apakah desaku
ini sudah berubah menjadi kota?
Pekarangan rumahku tak perawan lagi.
Dulu, pekarangan rumahku cukup subur. Menanam pohon atau bunga apa-pun pasti
akan tumbuh dengan subur. Menanam pohon mangga, pepaya, kelengkeng, rambutan,
umbi-umbian dan sebagainya. Menanam bunga melati, mawar, pakis, kaktus dan
sebagainya, pasti akan langsung tumbuh subur. Tapi sekarang? Entah kandungan
tanahnya, entah oksigennya atau karbondioksidanya yang sudah tidak perawan
lagi, yang jelas, untuk bercocok tanam di jaman sekarang tidak semudah dahulu.
Karena memang alam ini sudah tidak perawan lagi! Lalu, apakah harus
tunggu bencana, baru kita bersahabat dengan alam??? [ ]
0 comments:
Posting Komentar