"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Rabu, 27 Oktober 2010

Siapa yang salah?

SIAPA YANG SALAH? Harusnya gak usah saling menyalahkan...
Oleh : Achmad Saptono


BERJALAN KAKI dengan sepatu warna cokelat namun sudah kehitam-hitaman tertutup debu dan dengan tas ransel hitam kusam aku menuju antrean tiket kereta api ekonomi di stasiun kota Udang. Sebatang rokok di tangan kanan dan handphone di tangan kiri, sambil asik mengetik sms – aku melihat-lihat jadwal kereta sebelum membeli tiket. Cuma deretan jadwal kereta api ekonomi yang aku lirik, yang bisnis atau yang eksekutif mah kabur dari pandanganku. Sesekali aku menengok jam dinding di loket tiket, “wah.. ternyata udah jam 04 kurang 13 menit yaah..”. Menurut jadwal pemberangkatan kereta yang aku lihat, seharusnya jam 04 kurang 15 menit ada kereta api ekonomi Gaya Baru Malam yang tiba di sini, tetapi karna jarak antarkereta ekonomi yang satu jalur terlalu dekat maka salah satu dari kereta api itupun telat tiba di stasiun Kejaksan-Cirebon. Sebatang rokok aku matikan dan bertanya pada petugas di loket, “Pak, Gaya Baru Malam udah lewat ya?”, salah satu dari dua petugas yang berjaga menjawab cekatan, “belum mas, nanti mungkin sekitar jam 04 lebih 15an...rada telat”. Tanpa basa-basi aku langsung mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan selembar uang sepuluh ribuan, “berapa Pak harga tiketnya?”, tanyaku.. “dua puluh delapan ribu mas”,  jawab Pak petugas loket.

Setelah menunggu kembalian beli tiket, aku langsung masuk dan menunjukkan tiket ke Peron kemudian langsung menunggu kereta api di tempat duduk diantara jalur 1 – jalur 2. Sambil sms’an & Facebook’an aku menunggu hampir setengah jam tapi kereta tak juga datang. Jam 04 lebih 20 menit aku melihat jam dinding di atas kepalaku, selang beberapa detik tibalah kereta yang aku tunggu – masuk ke jalur 3, aku langsung beranjak dari tempat duduk dan berlari kecil menuju gerbong kereta bagian depan. Belum sampai masuk ke bagian dalam, di pintu kereta tampak bergelantungan tiga pria dewasa dan satu ibu-ibu duduk di bawahnya. “Agh... rupanya di gerbong bagian depan sudah sangat penuh oleh penumpang”, akupun lari ke gerbong bagian belakang dan ternyata pemandangan serupa aku dapati di pintu kereta. “Hhmmff....di gerbong belakang juga sama penuhnya”.

Yasudahlah, akupun nekat masuk ke kereta dari gerbong belakang. Memiringkan badan, mengangkat tas ranselku ke atas kepala, berhenti di sambungan antargerbong, berjalan lagi berhimpitan samai akhirnya aku putuskan untuk berhenti di tengah-tengah. Di kanan dan di kiriku, tempat duduk penuh oleh  penumpang yang sudah pada tertidur pulas. Tau kan gimana pemandangan kereta api ekonomi? Yupz... pedagang asongan mondar-mandir menawarkan barang dagangannya, tukang pijit, tukang sapu terus bergantian menyenggol pinggangku.

Yaah... demikianlah adanya pelayanan kereta api ekonomi, perjalananku dari kota udang menuju kota mendoan aku nikmati dengan berdiri selama kurang lebih 3 jam-an. Hhahaa..... besok2 kalo aku udah kaya, aku gak mau naik kereta api ekonomi lagi ah... :D
Jujur sama sekali belum sempat terfikirkan apa jadinya kalau kereta api ekonomi yang aku naiki mengalami kecelakaan karena penumpang yang Over, rel kereta yang tidak kuat/anjlok dan lain sebagainya. Padahal Data kecelakaan kereta api dari tahun 2004-2008 (Perkeretaapian.dephub.go.id) :
1.      tahun 2004 : 128 kecelakaan
2.      tahun 2005 : 91 kecelakaan
3.      tahun 2006 : 102 kecelakaan
4.      tahun 2007 : 140 kecelakaan
5.      tahun 2008 : 117 kecelakaan

Ratusan kecelakaan di atas terjadi dalam bentuk : tabrakan antarkereta api sebanyak 28 kasus; tabrakan kereta api dengan kendaraan bermotor sebanyak 108 kasus; kereta api anjlok sebanyak 442 kasus. Selama lima tahun itu korban yang meninggal, luka berat dan luka ringan sebanyak 1221 orang. Penyebab dari kecelakaan-kecelakaan tersebut diantaranya karena : faktor alam sejumlah 4 %, faktor sarana sejumlah 23 %, faktor prasarana 18 %, faktor SDM Operator sejumlah 35 % dan faktor eksternal sejumlah 20 % (Perkeretaapian.dephub.go.id, update : 23/1/2009).

“Nah lhoh... banyak faktor kan yang menyebabkan kecelakaan kereta api?”. Di sini nih anehnya, dulu Tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro (baca ; Tragedi Bintaro) yang kemudian disalahkan dan dihukum penjara adalah sang Masinisnya – begitupun juga kecelakaan yang terjadi pekan kemarin di Pemalang, Masinis yang juga menjadi korbannya kok masih saja mau diadili alias posisinya disalahkan. Padahal nih menurut data dari Media Indonesia, (04/10/2010) : Tahun 1939 panjang rel kereta api di Indonesia mencapai 6.811 km, nah tahun 2000 panjang rel kereta api di Indonesia turun menjadi 4.030 km. Kondisi sarana pendukungnya juga sama – mengalami penurunan. Misalnya, pada tahun 1955 jumlah stasiun kereta api mencapai 1.516 stasiun, nah.. tahun 2005 jumlah stasiun kereta menjadi tinggal 571 stasiun.

Oke... beralih ke anggaran. Anggaran untuk revitalisasi kereta api dalam jangka waktu lima tahun ke depan (2010-2015) sebesar Rp. 20 triliun. (semoga pemerintah segera merealisasikannya, Amiinn...). maksudnya gini, mari kita lihat selama lima tahun ke depan; apakah kondisi perkereta apian di Indonesia akan mengalami kemajuan atau bahkan sebaliknya – malah semakin parah saja? Satu lagi, apa emang sudah menjadi keharusan bahwa setiap kali terjadi kecelakaan di kereta api kemudian yang disalahkan selalu sang Masinis? Bagaimana dengan sarana dan prasarananya, apakah sudah benar-benar mendukung? J
Share:

Agama, Negara dan Pluralisme

“Menyoal Konflik Agama, Negara dan Pluralisme”
Oleh : Achmad Saptono

KONFLIK sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut saat ini, merupakan personifikasi fakta dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tak dapat diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya ingin memberi gambaran bahwa phobia terhadap ancaman disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini adalah wujud resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform (penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa Orde Baru. Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi karakteristik nilai-nilai dalam unsur-unsur pembentuk pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yang ada saat ini. Walaupun kita sangat meyakini bahwa perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan ”pemberontakan”, di dalam ”pemberontakan” selalu ada nilai yang ingin dicapai.

Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini.
Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai : (1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial (Maskuri,2001).

Dalam prinsip dasar Demokrasi, kemajemukan (pluralitas) menjadi sebuah fenomena kunci sebab hakekat berdemokrasi dalam sebuah negara bangsa ada pada transformasi nilai dari heterogenitas teritorial, sosial (SARA), budaya, ke dalam bentuk homogenitas politik sebagai konsensus untuk berada bersama-sama dalam sebuah bangsa demi mencapai tujuan bersama yang di dalamnya ada hak dan kedudukan yang sama, ada saling pengakuan terhadap keberadaan masing-masing elemen. Perbedaan dalam bentuk heterogenitas tersebut hanya akan menjadi sebuah potensi kolektif jika telah terwujud dalam konsensus tujuan hidup bersama dengan jaminan tak akan ada negasi terhadap salah satu unsur. Ketika terjadi pengingkaran terhadap salah satu unsur, ”pemberontakan nilai” akan terlihat lewat berbagai ekspresi yang fenomenannya kini nampak di Indoensia.

Pentingnya perekat bangsa
Tentulah Indonesia sebagai bangsa tak ingin mengalami dan harus belajar pada realitas sejarah kehancuran negara-negara yang pernah besar seperti Uni Soviet, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan berpisahnya India dengan Pakistan. Berkaca pada negara-negara tersebut, faktor etnis dan agama adalah pemicu dan ancaman disintegrasi. Namun juga, harus disadari bahwa homogenitas agama atau etnis bukanlah jaminan kelanggengan integrasi jika berkaca pada terpisahnya Bangladesh-Pakistan, Korea Utara-Selatan, dan beberapa negara besar lainnya.

Di tengah dinamika politik dan nuansa pencarian jati diri tatanan berdemokrasi di Indonesia, saat ini sangat berpotensi melahirkan prototipe politik yang berciri keindonesiaan tanpa harus mengadopsi tatanan politik yang telah ada pada negara lain jika dimensi Pluralitas yang ada tetap saling memberi ruang dan pengakuan untuk menghindari phobia krisis identitas. Pada saat lain dengan kondisi yang ada saat ini sangat terbuka peluang kejadian negara-negara tersebut di atas akan dialami Indonesia ketika sebuah unsur dalam ikatan kemajemukan yang ada melakukan hegemoni dominasi dan diskriminasi terhadap unsur lain.

Dengan kerenggangan yang ada saat ini, sesungguhnya dibutuhkan sebuah pengikat sosial politik yang dapat menjadi faktor kohesi yang mampu memberi ruang terhadap identitas sekaligus melanggengkan entitas Indonesia. Faktor kohesi yang dibahaskan oleh Robert Bellah sebagai ”civil religion” di AS. Jika idiom dari Bellah ini kita tarik ke dalam perspektif keindonesiaan, akan tertuju pada perekat sosial yang kita kenal sebagai Pancasila. Persoalannya sekarang adalah seberapa jauh kesungguhnya kita terhadap konsesus yang telah kita sepakati dalam Pancasila sebagai ”kontrak sosial” yang telah menginspirasi lahirnya Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai identitas kebangsaan membawa nilai integratif.

Persinggungan agama dan politik
Pengalaman keagamaan sering dikaitkan dengan pencarian realitas yang asasi dari ”kebenaran” dan ”kebaikan”. Hal tersebut dapat berbeda dari masing-masing pemeluk agama. Dalam semangat kebenaran dan kebaikan tersebut, agama sering tak dapat menghindari persinggungan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Agama sebagai fenomena dan realitas sosial sering membuat orang dengan kesadaran sujektifnya sulit berhadapan dengan kenyataan objektif.

Hal tersebut sering melahirkan ekstrimitas, pada satu sisi agama sering membuka diri selebar-lebarnya sehingga jatuh pada sinkritisme dan menghilangkan keunikan identitas. Sementara pada dimensi lain, sering mengekslusifkan diri dan kehilangan relevansinya dalam perubahan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap ”transformatif” yang pada satu pihak tak mengorbankan ortodoksi dan pada pihak lain menghilangkan relevansi.

Seringkali agama dan negara mengalami ketegangan-ketegangan dan tarikan kepentingan yang sangat kuat ketika agama berlomba-lomba untuk dapat mempengaruhi kebijakan negara bagi kepentingan komunitasnya. Pada wilayah dan ruang yang praktis itulah nilai dan kahadiran agama secara tanpa sadar terkooptasi oleh kekuasaan negara dan politik yang menciptakan proses ”politisasi agama”. Meskipun demikian, secara mendalam baik negara maupun agama punya persoalan masing-masing yang terus berkembang. Persoalan yang aktual misalnya kepentingan satu agama yang dihadapkan dengan kepentingan agama lain, seperti persoalan mayoritas-minoritas, persoalan representasi politik (politik proporsional), bagaimana menguasai kekuasaan, dst.

Sementara pada sisi lain sesungguhnya negara pun memiliki persoalan sendiri, misalnya persoalan hak warga negara, perundang-undangan, bentuk dan sistem pemerintahan, kesejahteraan rakyat, dst. Walaupun sibuk dengan masalahnya masing-masing, antara agama dan negara tidak saja untuk saling mempengaruhi dan bergulat untuk mencari legitimasi dan akan saling menentukan posisi satu terhadap yang lain, yang kadang memunculkan negara dengan label negara agama, negara demokrasi, dll.

Konflik komunal yang kini mencuat ke permukaan sesungguhnya bagian dari ketidaktegasan negara dan agama dalam memberi batas demarkasi pada ruang dan wilayah berimprovisasi bagi agama dan negara. Persoalan ini nampak jelas ketika Cak Nur melemparkan wacana intelektual yang ditanggapi secara kontraversial, yaitu Islam Yes, Partai Islam No. Sesungguhnya wacana tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan nilai-nilai semangat agama (Islam) yang sesuai dengan pluralisme keberagaman tanpa melalui formalitas bentuk institusi partai politik yang berwarna agama. Namun karakter agama akan tetap memberi warna dan nilai dalam perilaku dan penampakan tanpa harus diberi legitimasi lewat simbol dan stigmatisasi. Konsep mayoritas-minoritas biarlah berjalan menjadi nilai yang penampakannya hanya dapat dirasakan dalam perilaku dan moralitas tanpa harus dikedepankan menjadi komoditi politik verbal yang sering nampak dalam bentuk diskriminasi politik.
Dengan demikian, agama pada tingkat konstruksi tidak bebas nilai dan statis. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial selalu ditegaskan, bahwa agama tidak dapat dilihat sebagai sistem makna yang statis, tetapi selalu harus dilihat dalam keadaan yang terus berubah dan mampu mengartikulasikan berbagai kepentingan.

Di tengah tuntutan demokratisasi yang semakin menguat belakangan ini, suatu keniscayaan agama dikonstruksi sebagai kekuatan demokrasi. Partai mengfungsikan dirinya sebagai instrumen bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi yang bersumber dari agama. Esensi demokrasi adalah persamaan. Sesuai dengan semangat persamaan ini, sikap primordial dan ekseklusif yang lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya semata harus dibuang jauh-jauh.*
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers