Selasa, 30 Juni 2009
TUHAN DALAM BINGKAI POSTMODERN
Manusia, mampu membunuh “Tuhan-nya”
Oleh : Achmad Saptono (Panggil; Tino)
Siapa yang menciptakan Manusia? Tumbuhan? Binatang serta semua isi dunia? Jawabannya sudah pasti Tuhan tentunya yang menciptakan semua itu. Lalu siapa yang menciptakan Tuhan itu sendiri? Dengan tegas saya akan jawab, Manusia yang menciptakan Tuhan!.
Nietze pernah mengatakan “Tuhan telah mati”, inilah salah satu teori yang mampu menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya mampu menciptakan Tuhan kembali. Teori ini juga secara tidak langsung mengungkap keberadaan Tuhan, logikanya sebelum tuhan itu mati berarti dahulu Tuhan pernah hidup. Manusia-manusia yang hidup di jaman postmodern sekarang ini dapat dengan mudahnya menciptakan tuhan baru, semua lapisan masyarakat di dunia ini masing-masing mempunyai keyakinan akan Tuhan yang berbeda-beda. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, kekuasaan, teknologi di dunia inilah yang kemudian mendukung keberadaan banyak Tuhan baru. Dengan mudahnya manusia menuhankan benda yang menurutnya sangat berharga.
Manusia saat ini cenderung lebih berorientasi pada hal sifatnya materiil. Kekayaan dan kesenangan dunia menjadi hal yang paling utama, menjadi tujuan hidup yang paling penting sampai-sampai manusia melupakan bahwa masih ada kehidupan setelah mati. Prinsip manusia saat ini kebanyakan berpegang “gimana ntar aja”, ini suatu prinsip yang fatalistic ketika dikaitkan dengan konteks hakikat manusia hidup untuk apa. Sudah lupakah manusia saat ini akan keberadaan Allah yang maha menciptakan?
Istilah "Dunia yang Berlari: Mencari 'Tuhan-Tuhan” Digital" tentu hanya metafora. Dengan metafora itu hendak dijelaskan bahwa telah terjadi perubahan atau transformasi yang sangat cepat, memerangkap manusia dalam kegilaannya dan ekstasinya, yang mengurung manusia dalam kepanikannya sehingga tidak menyisakan lagi ruang untuk mendekati Tuhan dan tidak ada waktu lagi untuk mengingat nama-Nya. Manusia saat ini mencari "Tuhan-tuhan"-nya sendiri dibimbing oleh tiga "dewa", antara lain : kapitalisme, postmodernisme, dan cyberspace. Ke tiga dewa ini yang kemudian menghegemoni logika berfikir serta ideologi manusia-manusia sekarang. Logika materialistik semakin kukuh tertanam dalam mainstream masyarakat seara keseluruhan. Dengan adanya “dewa” cyberspace, dapat mempengaruhi manusia dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya, seperti apa yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2006 : 57) :
Kini di dalam era virtulitas, ada berbagai model aktivitas sosial, yang di dalamnya tidak hanya ada pergerakan linier Hagerstand, dan pergerakan kembali (return) Giddens, akan tetapi bentuk-bentuk pergerakan yang sebenarnya berdiam diri di tempat (sedentarity). Inilah pelipatan sosial dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dimampatkannya ruang sosial, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapainya dalah rel-time, berapapun jarak ruangnya. Paul Virillio menyebut pola kehidupan sosial ini sebagai pola inersia (inertia), yaitu pola kehidupan sosial, yang di dalam melakukan berbagai aktivitasnya, aktor-aktor sosial hanya berdiam diri di tempat, oleh karena justru informasi yang bergerak mendatanginya. Jean Baudrillard menyebut keadaan berdiam diri di tempat ini sebagai pola implosi (implosion), dengan pengertian meledaknya informasi ke arah manusia (pusat) yang berdiam diri di tempat. sementara, Deleuze & Guattari menyebutkan pola sendentarity, untuk membedaknnya dengan pola pergerakan nomad, yaitu orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Cyberspace juga memungkinkan manusia menjadi makhluk individualistis, menuhankan teknologi internet. Menurutnya, dengan internet ia bisa mendapatkan segala yang di inginkannya. Dengan internet ia bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di luar negeri dan lain sebagainya. Dengan internet, ia bisa mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lengkap. Hal ini yang oleh Yasraf Amir Piliang disebut denganh “Dunia yang Di lipat”.
Tantangan bagi umat beragama kini tidak lagi terjadi perang secara fisik, akan tetapi perang ideologi dengan “dewa-dewa” tadi. Umat dari agama manapun selain kaum yahudi pasti akan menghadapi tantangan yang sama, Kapitalisme, postmodernisme dan Cyebrspace.
*Adalah Mahasiswa FISIP-UNSOED SKS 2006 yang aktif di UKM Teater SiAnak & Organisasi HMI (MPO) Cbg PWT.
Tags
- all about my mind (43)
- Berbagi (5)
- Mari Merenung (5)
- Mirip Puisi (44)
- Nyeni (8)
- pengalamankoe (5)
- Profil Seniman (2)
- Sejarah (1)
- unek2 (17)
- warning2 (1)
Pages
Popular Posts
-
"STOP" Karya Putu Wijaya * Oleh : Achmad Saptono (Panggil ; Tino)** STOP merupakan sebuah naskah monolog karya dari seorang sastra...
-
MONOLOG : R E P U B L I K T I K U S Oleh : Achmad Saptono [1] PROLOG : Selamat datang di REPUBLIK TIKUS untuk seluruh warga dari...
-
“Monolog : Homo Homini Lupus” Karya : Achmad Saptono Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainya. Manusia tidak bertindak sebaga...
-
Janda di dada aing! Oleh : Achmad Saptono* Aku pria 22 tahun yang baru saja lulus kuliah tahun lalu, namun sekarang sudah berist...
-
Children of Heaven ; Kisah Si Miskin-Pintar “Ali Mandegar” Memanjat “Menara Gading” [1] Oleh : Achmad Saptono [2] “Matahari terbit | fajar...
-
#Opohdernitas Dunia semakin tidak seimbang, semakin semrawut, semakin tidak masuk akal, kacau balau, dunia ini semacam sedang tr...
-
Seputar Kemiskinan, teknologi Informasi, pendidikan, dan tentunya tentang Indonesia (Rokoknya rokok.... Aqua...Aqua...myzone’nya myzone......
-
Pemilihan Dukun Sakti Oleh : Tino Achmad Saptono [1] Demokrasi iku bebas Acara pemilihan ning ndi-ndi pasti sing diutamanange y...
-
Penyakit tak Disadari? Indonesia tanah airku, tanah beli, air juga beli… (Harry Roesli) Barangkali salah satu ciri dari Negara y...
-
Teater, Terasing hingga Kering Oleh : Tino Achmad Saptono [1] Seni Teater di Cirebon dalam perkembangannya dikatakan jalan di tem...