Teater,
Terasing hingga Kering
Oleh : Tino Achmad Saptono[1]
Seni Teater di Cirebon dalam
perkembangannya dikatakan jalan di tempat. Meski Cirebon adalah kota tempat
dilahirkannya para teaterawan besar seperti Arifin, C. Noer, Nano Riantiarno,
dan seniman-seniman lainnya. Ya, barangkali sedikit berbangga, tak apa. Karena
toh mereka di Cirebon hanya numpang lahir saja, hidup dan dibesarkannya di kota
lain..
Hasil penelusuran saya tentang
sejarah perkembangan teater di Cirebon, dulu pernah ada Teater Tanah Air (TTA),
yang berdiri sekitar tahun 1960-an di Kota Cirebon, lalu menyusul Teater Cob-cob Grage sekitar tahun 1977.
Setelah itu Teater Nara, Bengkel Seni,
Teater gardu dan disusul oleh teater-teater pelajar seperti Teater An Nur, Teater Smanda, Teater Alief, Lawan Teater yang beriringan dengan
pasangsurutnya teater kampus yakni Teater
Awal, Teater Dugal dan Teater Roempoet – yang sampai saat ini belum
mengadakan pementasan. Artinya, sebenarnya dapat dikatakan sudah cukup lama
sepak terjang perteateran di “kota transit” ini.
Entah dimana keberadaan
teater-teater yang disebutkan di atas, yang jelas kondisi saat ini komunitas
teater di luar kampus sudah tidak terdengar. Dahulu di kampus Untag sempat
hidup Teater Parlemen, kini
(lagi-lagi) entah tidak diketahui keberadaannya. Terakhir yang saya tahu,
beberapa waktu lalu saya bertanya tentang keberadaan Teater Parlemen ke salah seorang mahasiswa pengurus UKM Seni lan Budaya Untag Cirebon, dia
menjawab “sekarang teater jarang peminat,
mahasiswa lebih berminat ke tarian modern dan band”. Nah, saya kira ini-pun
persoalan serius.
Menjadi Terasing – Mengasingkan Diri
Saya menduga, perteateran di
Cirebon dikatakan jalan di tempat karena teater semakin mengasingkan diri, dan
semakin menjadi menara gading. Kesan ekslusif yang sengaja dilanggengkan, salah
satunya nampak dari : baik itu pementasan teater atau perlombaan, semua masih
bermuara di dalam kampus. Kalau-pun membuat kegiatan di luar kampus, itu hanya
dalam rangka untuk kepentingan intern
organisasi. Sedangkan kontribusi riil atau kegiatan yang bersentuhan dengan
masyarakat pada umumnya masih perlu dipertanyakan sudah sejauh mana?.
Padahal jelas-jelas hajat hidup
teater dipengaruhi oleh seberapa dekat masyarakat dengan teater. Jika
masyarakat masih berjarak dengan teater, maka niscaya teater tersebut tidak
akan hidup langgeng, itu hemat saya. Pegiat teater dengan pegiat Rumah Produksi
Film jelas sangat beda kedudukannya, jauh lebih tinggi para pegiat teater –
dari segi kreatifitasnya. Kalau kemudian pegiat teater malah jadi sok ngartis, itu justru menurunkan
kedudukan pegiat teater. Sebab para pegiat Rumah Produksi Film baru mau
bekerja, jika sudah dijanjikan berapa honor yang akan diterimanya, sedangkan
para pegiat teater tidak mengenal itu. Pegiat teater adalah murni pekerja seni
yang bekerja demi menciptakan seni yang berkualitas, tanpa tedheng aling-aling.
Kesenian teater, bagi saya
merupakan satu-satunya jenis kesenian yang sangat kompleks. Sebab di sana
bersemayam banyak unsur seni seperti seni grafis, seni peran, seni gerak,
vokal, pencahayaan, instalasi, tata busana dan seni melukis karakter atau make
up. Kondisi tersebut bukan berarti kemudian menjadikan teater memisahkan diri
dari kesenian jenis lain, tapi justru banyak peluang bagi teater untuk menjalin
keharmonisan dengan semua kesenian jenis lain – khususnya semua jenis kesenian
yang ada di Cirebon. Menjadi terasing atau mengasingkan diri itu pilihan,
meski-pun harapan saya tidak ada dalam dua pilihan tersebut.
Teater dan Sastra, dari Terasing “Menjadi Kering”
Teater modern Indonesia, hingga saat ini, masih belum betul-betul menjadi
“milik masyarakat.” Meski pun perkembangannya sudah dimulai sejak pra-kemerdekaan, “teater Indonesia masih
merupakan fenomena kota besar dan hanya diterima oleh sebagian kecil penonton”
(Saini, 2000: 46). Teater semakin berjarak dengan penonton, juga dengan
masyarakat sekitar, dan sastra-pun demikian, “menjadi kering”. Kalau boleh
berandai-andai, andai ada banyak pegiat teater kampus di Cirebon dari kalangan
Marxian, maka kemungkinan terbesar setiap pertunjukan teater yang digagas
dikemas sedemikian rupa, dan berupaya objektif untuk menyuarakan realitas
konflik kelas-kelas sosial-ekonomi. Mungkin akan jauh lebih menarik, ketimbang
melulu menyuarakan isu tentang cinta – seperti trend media televisi saat ini.
Teater dan Sastra di Cirebon kian
hari menjadi kering minim esensi, kering tanpa kreatifitas, kering tanpa
isu-isu sosial. Barangkali bagi sebagian besar dari kita, sudah cukup puas
hanya dengan menjadi penonton, dan pemberi komentar, tanpa ingin tahu kenapa
Gedung Kesenian tidak difungsikan? Dan kenapa Gedung Sekretariat Dewan Kesenian
Cirebon sampai dibongkar pada Selasa kemarin? Atau kenapa Teater dan Sastra di
Cirebon seolah “menjadi kering”, padahal entah.. ! [T.A.S]
[1]
Penulis bermukim di Komunitas Rumah
Kertas, juga bergentayangan di twitt-land
sebagai @tinosia, kini kesehariannya tengah sibuk bermain dengan Otong &
Ateng.
0 comments:
Posting Komentar