"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 27 September 2014

Teater, Terasing hingga Kering


Teater, Terasing hingga Kering
Oleh : Tino Achmad Saptono[1]

Seni Teater di Cirebon dalam perkembangannya dikatakan jalan di tempat. Meski Cirebon adalah kota tempat dilahirkannya para teaterawan besar seperti Arifin, C. Noer, Nano Riantiarno, dan seniman-seniman lainnya. Ya, barangkali sedikit berbangga, tak apa. Karena toh mereka di Cirebon hanya numpang lahir saja, hidup dan dibesarkannya di kota lain..




Hasil penelusuran saya tentang sejarah perkembangan teater di Cirebon, dulu pernah ada Teater Tanah Air (TTA), yang berdiri sekitar tahun 1960-an di Kota Cirebon, lalu menyusul Teater Cob-cob Grage sekitar tahun 1977. Setelah itu Teater Nara, Bengkel Seni, Teater gardu dan disusul oleh teater-teater pelajar seperti Teater An Nur, Teater Smanda, Teater Alief, Lawan Teater yang beriringan dengan pasangsurutnya teater kampus yakni Teater Awal, Teater Dugal dan Teater Roempoet – yang sampai saat ini belum mengadakan pementasan. Artinya, sebenarnya dapat dikatakan sudah cukup lama sepak terjang perteateran di “kota transit” ini. 

Entah dimana keberadaan teater-teater yang disebutkan di atas, yang jelas kondisi saat ini komunitas teater di luar kampus sudah tidak terdengar. Dahulu di kampus Untag sempat hidup Teater Parlemen, kini (lagi-lagi) entah tidak diketahui keberadaannya. Terakhir yang saya tahu, beberapa waktu lalu saya bertanya tentang keberadaan Teater Parlemen ke salah seorang mahasiswa pengurus UKM Seni lan Budaya Untag Cirebon, dia menjawab “sekarang teater jarang peminat, mahasiswa lebih berminat ke tarian modern dan band”. Nah, saya kira ini-pun persoalan serius.

Menjadi Terasing – Mengasingkan Diri

Saya menduga, perteateran di Cirebon dikatakan jalan di tempat karena teater semakin mengasingkan diri, dan semakin menjadi menara gading. Kesan ekslusif yang sengaja dilanggengkan, salah satunya nampak dari : baik itu pementasan teater atau perlombaan, semua masih bermuara di dalam kampus. Kalau-pun membuat kegiatan di luar kampus, itu hanya dalam rangka untuk kepentingan intern organisasi. Sedangkan kontribusi riil atau kegiatan yang bersentuhan dengan masyarakat pada umumnya masih perlu dipertanyakan sudah sejauh mana?.

Padahal jelas-jelas hajat hidup teater dipengaruhi oleh seberapa dekat masyarakat dengan teater. Jika masyarakat masih berjarak dengan teater, maka niscaya teater tersebut tidak akan hidup langgeng, itu hemat saya. Pegiat teater dengan pegiat Rumah Produksi Film jelas sangat beda kedudukannya, jauh lebih tinggi para pegiat teater – dari segi kreatifitasnya. Kalau kemudian pegiat teater malah jadi sok ngartis, itu justru menurunkan kedudukan pegiat teater. Sebab para pegiat Rumah Produksi Film baru mau bekerja, jika sudah dijanjikan berapa honor yang akan diterimanya, sedangkan para pegiat teater tidak mengenal itu. Pegiat teater adalah murni pekerja seni yang bekerja demi menciptakan seni yang berkualitas, tanpa tedheng aling-aling.

Kesenian teater, bagi saya merupakan satu-satunya jenis kesenian yang sangat kompleks. Sebab di sana bersemayam banyak unsur seni seperti seni grafis, seni peran, seni gerak, vokal, pencahayaan, instalasi, tata busana dan seni melukis karakter atau make up. Kondisi tersebut bukan berarti kemudian menjadikan teater memisahkan diri dari kesenian jenis lain, tapi justru banyak peluang bagi teater untuk menjalin keharmonisan dengan semua kesenian jenis lain – khususnya semua jenis kesenian yang ada di Cirebon. Menjadi terasing atau mengasingkan diri itu pilihan, meski-pun harapan saya tidak ada dalam dua pilihan tersebut.

Teater dan Sastra, dari Terasing “Menjadi Kering”

Teater modern Indonesia, hingga saat ini, masih belum betul-betul menjadi “milik masyarakat.” Meski pun perkembangannya sudah dimulai sejak pra-kemerdekaan, “teater Indonesia masih merupakan fenomena kota besar dan hanya diterima oleh sebagian kecil penonton” (Saini, 2000: 46). Teater semakin berjarak dengan penonton, juga dengan masyarakat sekitar, dan sastra-pun demikian, “menjadi kering”. Kalau boleh berandai-andai, andai ada banyak pegiat teater kampus di Cirebon dari kalangan Marxian, maka kemungkinan terbesar setiap pertunjukan teater yang digagas dikemas sedemikian rupa, dan berupaya objektif untuk menyuarakan realitas konflik kelas-kelas sosial-ekonomi. Mungkin akan jauh lebih menarik, ketimbang melulu menyuarakan isu tentang cinta – seperti trend media televisi saat ini.

Teater dan Sastra di Cirebon kian hari menjadi kering minim esensi, kering tanpa kreatifitas, kering tanpa isu-isu sosial. Barangkali bagi sebagian besar dari kita, sudah cukup puas hanya dengan menjadi penonton, dan pemberi komentar, tanpa ingin tahu kenapa Gedung Kesenian tidak difungsikan? Dan kenapa Gedung Sekretariat Dewan Kesenian Cirebon sampai dibongkar pada Selasa kemarin? Atau kenapa Teater dan Sastra di Cirebon seolah “menjadi kering”, padahal entah.. ! [T.A.S]


[1] Penulis bermukim di Komunitas Rumah Kertas, juga bergentayangan di twitt-land sebagai @tinosia, kini kesehariannya tengah sibuk bermain dengan Otong & Ateng.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers