"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Senin, 21 November 2011

Analisis Film Children of Heaven


Children of Heaven ; Kisah Si Miskin-Pintar “Ali Mandegar”
Memanjat “Menara Gading”[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

“Matahari terbit | fajar tiba | dan aku melihat delapan juta kanak – kanak | tanpa pendidikan... (W.S.Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 1978)

Di tahun 1978 yang lalu Alm. W.S. Rendra dalam sajaknya mengatakan kurang lebih sebanyak 8 Juta anak-anak yang tidak bisa memanjat menara gading bernama pendidikan. Saking kokohnya menara itu di mata masyarakat Indonesia, sehingga tidak heran jika dalam film Children of Heaven, sosok Ali Mandegar dan Zahra digambarkan harus bekerja sama dengan cara bertukar sepatu setiap hari untuk memanjat menara gading itu. Entah masih berapa banyak lagi Ali dan Zahra lain di Indonesia yang benar-benar belum dilirik sama sekali oleh pemerintah.


Kalau mau pintar, ya harus punya uang!. Pemahaman pragmatis itu sepertinya sudah melekat kuat dalam benak pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan logika pemberlakuan hukum rimba, masyarakat yang tersubordinasi seperti keluarga Ali mau tidak mau harus selalu berada di bawah, baik secara ekonomi, pendidikan atau-pun kesejahteraannya. Bukankah tidak adil jika seorang Ali yang mempunyai tingkat kecerdasan lebih terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah ke sekolah yang lebih tinggi lagi, hanya karena faktor tidak mempunyai sepatu, seragam, buku atau kelengkapan sekolah yang lainnya?!

Miskin-pintar, miskin-bodoh, kaya-pintar, kaya-bodoh. Secara sederhana, kurang lebih demikian klasifikasi peserta didik berdasarkan kondisi ekonomi dan kecerdasannya. Betapa malangnya nasib keluarga Ali, Si miskin-pintar di tengah semakin menjulang tingginya menara gading bernama pendidikan sekarang ini. Betapa beruntungnya peserta didik yang tergolong kaya-pintar dan kaya-bodoh, dan betapa tidak beruntungnya peserta didik yang tergolong miskin-bodoh. Miskin-pintar di jaman sekarang masih bisa dininabobokan dengan adanya dana BOS atau bantuan dana beasiswa bagi yang berprestasi, meskipun dana tersebut belum tentu mampu membiayai atau meskipun dana bantuan tersebut kadang tersendat. Lalu bagaimana dengan nasib peserta didik yang tergolong miskin-bodoh? Akan dikemanakan ia?
Terjadinya dikotomi kelas sosial dalam masyarakat semacam itu, yang oleh Paulo Freire Bapak Revolusioner Pendidikan Dunia dikatakan sebagai gambaran sedang terjadi ketidakhumanisan dalam dunia pendidikan, dimana pendidikan hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu saja. Bagi Freire, pendidikan dapat dikatakan humanis ketika sudah tidak lagi terjadi ketertindasan, ketika pendidikan itu dapat diakses oleh semua masyarakat (education for all). Lebih lanjut dalam konsep paradigma pendidikan kritis, menurut Freire pendidikan bertujuan untuk membebaskan manusia, membebaskan manusia dari segala macam keterbelakangan mental, dari keterpurukan, dari keterkungkungan. Sudahkah tercapai tujuan pendidikan yang demikian di negara kita?!

Berbicara humanisme pendidikan, Pak Jafari dalam film Children of Heaven adalah guru dari Ali Mandegar yang digambarkan cukup humanis dalam memperlakukan peserta didik. Keterlambatan Ali saat datang ke sekolah baginya bukan menjadi permasalahan yang subtansial, karena mengingat perilaku serta prestasi Ali yang cukup baik ketika di kelas. Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mengedepankan proses dialektis antara yang satu dengan yang lainnya, antara pendidik dengan peserta didik. Ironisnya, tidak banyak guru yang benar-benar mempunyai pemahaman demikian. Tidak heran jika Ali dan Zahra yang ke sekolah dengan bertukar sepatu-pun sampai tidak ada yang mengetahuinya.

Sebagai pengantar refleksi, landasan penataan pendidikan di negara kita sejak merdeka telah dimiliki baik secara filosofis, konstitusional maupun operasional. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa sejatinya telah tertuang dalam UUD 1945, pasal 31 ayat (1). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2). Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan (3). Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka menderdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Selanjutnya, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 menegaskan bahwa (1). Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu, (2). Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3). Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4). Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, (5). Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Jika kita cermati kembali konstitusi yang mengatur pendidikan di negara kita, betapa kompleksnya penyakit yang menjangkit dunia pendidikan saat ini. Dan semakin terlihat jelas bahwa pendidikan di Indonesia belum merata. Pendidikan di negara ini selalu dihadapkan dengan faktor kemiskinan yang menghambat akses mengenyam pendidikan. Kalau semakin hari pendidikan semakin bercokol di tanah mewah, menjadi menara gading yang susah dipanjat oleh semua masyarakat, bisakah Ali memanjat menara itu? Dengan cara apa? [ ]

“Pada masa kanak-kanakku | setiap jam tujuh pagi | aku harus seragam | bawa buku harus mbayar ke sekolah | katanya aku bodoh | kalau tidak bisa menjawab | pertanyaan guru yang diatur kurikulum | aku dibentak dinilai buruk | kalau tidak bisa mengisi dua kali dua | aku harus menghapal | mataku mau tak mau dijejali huruf | aku harus tahu siapa presidenku | aku harus tahu ibukota negaraku | tanpa aku tahu | apa maknanya bagiku... | (Wiji Thukul, Kenangan anak-anak seragam, 19 Januari 1988)”

= S E L A M A T  R E F L E K S I =


[1] Disampaikan sebagai bahan refleksi di acara Pekan Film Pendidikan dan Sastra, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Sabtu 26 Nov 2011.
[2] Mantan Mahasiswa PTN di Purwokerto, Jawa Tengah.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers