"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Minggu, 07 Juni 2009

Resensi naskah Teater (Monolog)

"STOP" Karya Putu Wijaya*
Oleh : Achmad Saptono (Panggil ; Tino)**
STOP merupakan sebuah naskah monolog karya dari seorang sastrawan kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali yang bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya, atau yang akrab dipanggil Putu Wijaya. STOP adalah naskah karya Putu Wijaya yang ke-35. Selain menulis naskah teater, cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya juga sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali dan DOR.
Naskah STOP berhasil diselesaikan oleh Putu pada tanggal 21 oktober 1992 di Kyoto. Naskah ini berangkat dari kegelisahan seorang Putu ketika melihat fenomena yang ada di Indonesia tentang perilaku masyarakat yang "malas". Malas yang dimaksud adalah sebuah sebutan untuk perilaku masyarakat indonesia yang tidak mau bekerja keras, hanya mengharapkan pertolongan orang lain tanpa mempunyai keinginan untuk menolong orang lain. Sebaliknya, di sisi lain istilah malas dalam naskah STOP ini juga menggambarkan tentang perilaku masyarakat indonesia yang mempunyai mental peminta-minta.
Naskah monolog dalam naskah ini diperankan oleh 2 aktor yaitu seseorang yang gendut, kaya dan seorang koki (juru masak) yang kurus kerempeng. Antara kedua aktor tersebut sama sekali tidak terjadi interaksi secara tersurat, koki yang kurus kerempeng sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Openning pada naskah ini diawali dengan sosok aktor seorang gendut yang baru bangun tidur menghadapi meja makan sambil membaca Koran, kemudian koki datang menata meja dan menghidangkan makanan yang amat mewah sebagai sarapan pagi lalu menyalakan televisi. Seorang yang gendut menyaksikan siaran upacara penyerahan anugerah kepada seseorang yang dianggap telah berjasa kepada masyarakat. Penyiar televisi itu memberikan pujian dan menyebutkan jasa-jasa orang yang bersangkutan. Lalu kemudian seketika aktor tersebut kaget dan merobek Korannya kemudian melemparkannya. Sementara koki mengumpulkan kembali robekan Koran itu dan menatanya kembali. Di sisi lain seorang gendut mengucapkan "Amit-amit jabang bayi!!." Hal tersebut menggambarkan bahwa betapa kagetnya seorang gendut ketika melihat siaran anugerah serta pujian-pujian kepada seseorang yang telah berjasa kepada masyarakat. Hal tersebut digambarkan pada naskah di scene pertama dan kemudian diperjelas pada scene kedua, scene pertama tersebut yaitu :
"Orang yang suka menolong orang lain dipuji setinggi langit. Mereka disebut dermawan. Mereka dianggap punya watak sosial. Memiliki rasa kemanusiaan. Tahu aturan hidup kemasyarakatan. Ada kepedulian lingkungan. Bullshit!".

Sedangkan di scene yang kedua, seorang yang gendut itu mengucapkan :
Kepada mereka diberikan penghormatan. Lebih, tanda-tanda jasa atau sertifikat. Kedudukannya di masyarakat terhormat. Diramal punya kans besar masuk pintu surga. Dan akhirnya dilimpahi tanggung jawab lebih banyak lagi, untuk memikul tugas sosial yang bukan kewajibannya.
Minta ampun. Tahukah anda siapa mereka sebenarnya?

Kemudian koki memasang serbet di leher seorang gendut dan mempersiapkan piring, hal ini menggambarkan betapa kayanya seorang gendut tersebut.
Di scene ketiga menggambarkan bahwa sebenarnya ketika ada seseorang yang mau menolong/membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, sebenarnya orang yang menolong tersebut akan mengharap imbalan dari seseorang yang telah ditolongnya. Bahkan bisa jadi imbalan yang diinginkannya itu akan jauh lebih besar dengan apa yang telah ia keluarkan untuk menolong. Perhatikan kutipan naskah di scene ketiga dibawah ini :
"Astaga. Apa daya, ternyata kita temukan orang-orang yang sudah menolong orang itu, rupanya menolong dengan harapan agar nanti pada gilirannya ditolong. Bahkan pertolongan yang diharapkannya jauh di atas modal yang sudah dipinjamkannya".

Kalau dikaitkan dengan teori George Homans, maka perilaku masyarakat tersebut tergolong kedalam teori pertukaran. Menurut Homans dalam teori pertukaran, semakin sering hadiah yang diterimanya, maka perilaku itu pun semakin membosankan. Tapi, ketika reward yang diterimanya tidak teratur, maka ia pun cenderung akan mengulanginya lagi. Hal ini lah yang kemudian menjadi issue besar dalam naskah STOP ini. Di scene keempat, lima dan enam menceritakan tentang proses tolong menolong yang pada dasarnya pasti tidak ada yang tanpa pamrih. Menurut Putu Wijaya dalam naskah ini, setiap orang yang menolong itu pada akhirnya pasti akan mengharapkan imbalan. Menurutnya, menolong untuk kemanusiaan itu sudah lenyap dari kamus. Tak ada lagi menorong untuk orang lain, dan orang lain harus mampu mengurus dirinya sendiri. Hidup kita adalah tanggung jawab kita sendiri-sendiri. Kita sendiri tetap masih memerlukan pertolongan, bagaimana mungkin seseorang yang butuh pertolongan bisa menolong?
Seorang yang gendut itu menikmati makan dan terus berbicara dengan mulut yang penuh makanan.
Scene keempat :
"Mereka bilang bahwa mereka sudah potong salah satu jari mereka, untuk menolong kita. Maka berkoar, mereka sudah memangkas hidup mereka. Semuanya untuk menolong kita waktu sekarat. Tapi kemudian untuk semua kebaikan itu, mereka menghimbau kalau tidak bisa dikatakan memaksa kita untuk memotong kepala kita sebagai balasannya.
Hah! Mereka bukan menolong, tetapi mengijon. Mereka bukan dermawan tetapi bajingan. Mereka tidak perlu dipuja, tetapi mestinya dicerca. Kita mesti murka."

Di scene kelima seorang yang gendut itu berdiri dan koki membuka kimononya, kemudian seorang gendut tersebut berkata :
"Orang tak akan menolong kalau tidak ada jaminan ia akan dapat nyolong. Orang tidak akan main derma kalau tidak mendapat pahala. Orang tidak akan memberi kalau tidak dapat rezeki. Orang tidak akan berkorban kalau tidak mendapat penghormatan. Orang tidak akan menghutang budi kalau tidak ada jaminan semuanya akan kembali. Orang tidak akan peduli nasib kita kalau mereka tidak diam-diam ingin mengibuli. Buktinya, orang tak akan mau menolong orang kalau tak ada jaminan ia akan ditolong orang. Orang menolong orang karena ingin ditolong. Tetapi kalau orang yang sudah menolong orang kemudian ditolong orang, ia merasa itu bukan pertolongan tetapi haknya. Dia akan menuntut lebih banyak dan menganggap semua pertolongan tidak cukup, masih kurang dari apa yang sudah pernah dipertolongkannya."

Di scene keenam, seorang yang gendut itu duduk dan menikmati makan kembali. Pada scene ini pada intinya Putu menegaskan tentang perilaku menolong yang seharusnya tidak usah dilakukan. Karena bagaimana kita akan melakukan pertolongan kalau ternyata kita sendiri masih memerlukan pertolongan dari orang lain. Lalu dengan apa kita menolong orang lain? Dengan simpati, tidak akan mungkin bisa. Siapa yang merasa bisa tertolong hanya dengan simpati? Karena saat ini masyarakat sudah tidak lagi membutuhkan simpati, akan tetapi yang dibutuhkan adalah uang, rumah mewah, mobil-mobil terbaru serta hal-hal materil yang lainnya. Ketika seorang yang gendut tersebut sedang berkata-kata, koki kemudian membawakan minuman dan langsung diminum oleh seorang gendut.
Di scene ketujuh, Putu ingin menjelaskan bahwa perilaku menolong hanya akan memanjakan masyarakat saja. Perilaku menolong akan meng konstruk masyarakat menjadi mempunyai mental peminta-minta. Jadi, pada scene ini Putu menegaskan bahwa seharusnya perbuatan menolong itu tidak cocok dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang notabene sedang berkembang membangun Indonesia yang sudah di cita-citakan. Kutipan naskah pada scene ketujuh tersebut yaitu :
"Jangan menolong anak-anak kecil yang merengek minta kita melakukan apa sebenarnya yang bisa ia lakukan sendiri. Itu namanya memanjakan kebodohan. Jangan menolong pengemis di perempatan jalan yang meminta sambil menyembunyikan ototnya yang masih segar dan anting-anting emas di balik kostum kerenya. Itu namanya membudidayakan kemalasan. Jangan menolong orang yang pintar merayu, lihat akting atau yahud bikin proposal mendayu. Itu menggalakkan kriminalisat moral.
Menolong adalah tabu. Adalah bahaya! Hentikan nyala di dalam hati kecil itu. Menolong bukan perbuatan mulia lagi. Itu penyakit menular, akut dan membunuh. Sekali kena serang sulit sembuh. Menolong adalah perilaku sesat. Watak salah kaprah. Tak cocok buat kita yang sibuk, yang berjuang membina karier, yang mengejar prestasi untuk hidup enak kalau bisa keenakan."

Koki berada di sebelah seorang gendut namun tetap tidak bersuara, kemudian koki memberikan tablet dan langsung ditenggak oleh seorang gendut. Kemudian setelah itu di scene kedelapan, Putu Wijaya kembali mempertegas tentang kritiknya yang meminta agar kita berhenti menolong dengan menunjukan seorang gendut yang terus berkata seolah tampak sedang menggerutu. Lihat kutipan scene kedelapan di bawah ini :
"Jangan berlagak jadi maecenas. Jangan jadi cukong. Tak usah pura-pura jadi Begawan Bhisma. Pahlawan sejati adalah dia yang mampu membawa dirinya ke puncak piramid dan menjadi orang nomor satu. Paling tinggi kedudukan dan paling kaya. Dengan mencapai puncak itu, baru kita bebas untuk memikirkan, sekali lagi, hanya untuk memikirkan untuk menolong tidak untuk melaksanakan ingat, tidak untuk melaksanakannya.
Pahlawan di masa kini, adalah mereka yang berani menolak menolong.
Karena berhutang budi akibat menelan pertolongan, lebih berat dari memikul dosa. Tak semua orang suka ditolong. Daripada salah, lebih baik jangan menolong."

Seorang gendut kembali duduk dan koki kembali menghidangkan makanan baru untuknya. Mulut seorang gendut tampak sangat penuh oleh makanan. Kemudian dengan emosi yang memuncak (klimaks) seorang gendut menekankan perkataannya yang ada pada Scene kesembilan, yang merupakan sekaligus scene terakhir dalam naskah ini. Scene ini benar-benar bagian klimaks, mengandung pesan yang penting untuk disampaikan kepada para audiens. Dengan tegas Putu menghimbau dan meminta kepada masyarakat untuk tidak menolong orang lain. Lihat kutipan dibawah :
"Jadi dengar! Kalau sedang menolong, putuskan sampai di situ saja. Kalau sedang dimintai tolong, bilang tidak bisa. Telepon berdering jangan diangkat. Atau bilang sedang tugas ke luar kota! Tak usah ragu. Jauhkan hidup dari orang yang perlu pertolongan. Bencana di Nigeria, itu masalah dunia. Bencana di rumah tetangga, itu urusan Pak RT. Bahkan bencana keluarga, itu urusan paman-paman yang lain. Masih banyak orang lain, masak kita semua. Tak usah jadi orang baik. Hidup realistik saja. Kita ini mahluk biasa. Jangan mau pikul beban orang lain. Orang kata egois biarin. Asosial, masa bodo. Kemaruk, peduli amat. Yang penting kenyang dan aman tujuh turunan.
Itulah suara hati nurani anak cucumu. Karena suara hati nuranimu sendiri tidak perlu!"

Ending pada naskah STOP ini diakhiri dengan penggambaran seorang gendut yang mengangkat gelas serta meminumnya dengan nikmat. Lalu koki mengangkat tempat air dan memukul kepala orang gendut. Setelah itu koki menusuk orang gendut dengan pisau dan juga garpu. Tidak hanya itu, koki kemudian menghajar orang gendut dengan menumpahkan seluruh isi meja ke atas badannya. Setelah itu koki mengelap, membersihkan tangannya dan kemudian menyalakan televisi, berdiri di depan televisi dengan nampak sopan. Dalam acara televisi itu muncul siaran orang gendut yang tadi makan itu sedang diberi anugerah dengan iringan musik yang bersemangat.
Secara keseluruhan dalam naskah ini, menurut penulis terdapat beberapa pernyataan yang dapat dijadikan sebagai "pesan" dari Putu ketika menciptakan karya STOP ini :
1)Menolong adalah perbuatan yang tidak baik, maksudnya adalah ketika orang yang menolong itu selalu dipuja-puja. Dalam hal ini saya sepakat, karena dengan dipuja-puja maka pertolongan yang diberikan itu menjadi Riya atau tidak ikhlas. Menolong menjadi hal yang tidak baik, ketika yang ditolong itu ternyata “masih mampu” namun pura-pura tidak mampu).
2)Menolong menjadi perbuatan yang baik. Ketika orang yang melakukan pertolongan itu bisa ikhlas tanpa memperhitungkan untung dan ruginya.

*Tulisan ini pernah di presentasikan dalam perkuliahan sosiologi sastra
**Adalah Mahasiswa Sosiologi FISIP-UNSOED yang juga anggota teater SiAnak FISIP UNSOED Purwokerto.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers