"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Jumat, 11 Juni 2010

Obrolan Ringan Bareng Penjual Koran

Seputar Kemiskinan, teknologi Informasi, pendidikan, dan tentunya tentang Indonesia

(Rokoknya rokok.... Aqua...Aqua...myzone’nya myzone... nasi rames empat ribu pake ayam, pop mie anget, kopi... mas kopi...)
(Begitu kira-kira para pedagang asongan di kereta ekonomi menuju kota mendoan “Purwokerto”).

Selasa tepat jam 05 lebih 20 menit sore hari di sebuah kereta ekonomi yang penuh sesak oleh pedagang asongan, bau keringat penumpang yang berdesakan bercampur jejak kaki yang kotor oleh beceknya tanah mengelilingi aku yang sedang berdiri di dekat pintu samping gerbong makan. Berdiri di dekat pintu bukan pilihanku memang, tapi karena memang kereta ekonomi yang selalu padat penumpang sehingga aku tak kebagian tempat duduk. Walaupun aku sudah bayar sesuai tarif yang ditentukan, tetapi kembali aku pikir ga masalahlah yang penting aku bisa lebih cepat sampai ke tujuan daripada harus naik bis yang dua kali lipat jauh lebih lama. Saat kakiku terasa lelah untuk berdiri, seketika akupun duduk – jongkok bersebelahan dengan bapak-bapak usia ± 40 tahun.

Bapak-bapak yang duduk bersebelahan denganku di pinggir jalan itu rupa-rupanya penjual koran yang keliling di kereta api sejak 30 tahun silam. Tanpa aku melontarkan pertanyaan, penjual koran itu bercerita banyak tentang semakin susahnya menjual koran di tengah pesatnya teknologi informasi. Menurutnya, saat ia sedang keliling di dalam kereta api menawarkan koran seringkali mendapati penumpang yang sedang mengakses berita melalui telepon genggam. Padahal dulu masih banyak penumpang kereta api yang membeli koran untuk mengakses informasi saat di tengah perjalanan, tambahnya. Dampak sosial yang terjadi pada bapak penjual koran tersebut adalah akhir-akhir ini koran yang ia jual sering tidak terjual sampai habis. Entah tamatan apa atau bahkan pernah membaca buku apa bapak penjual koran itu, yang jelas ia juga sempat melontarkan “Indonesia sampai sekarang masih dijajah sama Jepang mas, bedanya sekarang Indonesia dijajah secara tidak langsung, dari Handphone, komputer, sampai kendaraan bermotor atau mobil yang hampir tiap tahun di produksi. Di kota Tegal sudah banyak orang pintar yang mampu membuat atau merakit kendaraan bermotor dan juga mobil, lihat saja PT Niaga, akan tetapi WAO tidak memberikan ijin produksi ke Pemda Tegal, sehingga kembali Indonesia akhirnya tidak bisa memproduksi seperti Jepang ”.

Di tengah pembicaraan, aku berdiri menghilangkan rasa kesemutan di bagian kaki, dan aku melihat dari kejauhan ada seorang waria yang mengamen di gerbong makan. Dalam hati aku berfikir, “ternyata kereta juga mungkin bisa dikatakan sebagai pusat peradaban”. Aku tidak menuruti apa yang aku fikirkan tadi, tetapi aku memilih untuk kembali duduk dan berbincang kembali dengan bapak-bapak penjual koran.
Kali ini giliran aku yang memulai dengan pertanyaan singkat kepada bapak penjual koran yang dari pagi sampai malam itu, “Pak, njenengan sih pulang ke rumahnya sekitar jam berapa?”. Saat aku menanyakan ini, jujur aku kepingin tahu bagaimana bapak itu membagi waktu untuk keluarganya. Tanpa basa-basi ia menjawab, “kadang aku pulang ke rumah ya jam 08 kadang jam 10 malam – tergantung aku jual koran ke daerah kutoarjo, kebumen atau ke daerah Jatibarang, Cirebon dan sekitarnya. Karna tergantung sama kereta yang aku naiki, kan jamnya beda-beda mas”.

Obrolanku dengan bapak penjual koran tersebut sesaat terhenti karena di sebelah kirinya berdiri seorang anak laki-laki umur belasan tahun. Ternyata tidak lain anak laki-laki itu adalah penjual koran bekas yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke SMP, karena keluarganya yang tidak punya biaya. Anak laki-laki asal Ciledug itu sebut saja Ujang. Lalu bapak penjual koran itu menegur Ujang, “Jang, kamu udah makan?”. Belum, “jawab Ujang”. Seolah sudah terjadi kontak batin, bapak penjual koran itu mengeluarkan selembar uang ribuan, “nih Jang aku tambahin buat beli makan”. Tanpa pikir panjang – mungkin saking laparnya, si Ujang pun menerima uang tersebut dan dibelikannya nasi rames. Ujang langsung melahap rames+mendoan sambil duduk di sebelah bapak penjual koran.

Sambil menunjuk jari ke Ujang bapak penjual koran itu bercerita bahwa ia merasa ironis dengan keadaan di kota besar Jakarta yang sering terjadi pemaksaan anak-anak seumuran Ujang untuk gabung di komplotan “Kapak Merah”. Makanya tak heran jika selama ini bapak penjual koran tersebut selalu peduli kepada anak-anak jalanan yang ia temui di kereta api. Bahkan sampai-sampai ada anak jalanan yang dulu waktu kecil – sekitar 20 tahun yang lalu pernah di kasih makan olehnya kemudian di dalam kereta mereka bertemu kembali, bapak penjual koran diberi amplop berisi uang 50ribu oleh anak jalanan yang dulu pernah dikasih makan oleh bapak-bapak penjual koran tersebut.

Obrolan ringan di dalam kereta ini mungkin berbicara sebagian kecil dari realitas kemiskinan yang terjadi di Negara kita. Masih banyak pedagang asongan lainnya yang saya kira punya banyak pengalaman hidup yang pahit, atau bahkan karena terjepit susahnya mencari nafkah akhirnya mereka mencari nafkah dengan terjun ke tindakan yang melanggar hukum.
Mari melihat realitas dan mari berbagi cerita!


*Ctt : Obrolan dengan penjual koran versi aslinya menggunakan bahasa ngapak banyumasan, sengaja di rubah ke bahasa indonesia agar mempermudah pembaca dalam mengartikannya. Trimakasih...
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers