"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 01 Januari 2011

Si Miskin Konservatif


Pengemis (Si Miskin Konservatif) di tengah Pasar Global
Oleh : Achmad Saptono*


Gambar : Di Sekitar Kampusku
Judul di atas akan terlihat terlalu berat jika hanya dibaca redaksionalnya saja. Mari ikuti apa yang saya maksudkan tentang miskin yang konservatif dalam tulisan ini. Pengemis, dahulu adalah perilaku yang sangat-sangat nista bagi masyarakat. Mengemis adalah hal yang tabu untuk dilakukan jika saja bukan karena kepepet alasan ekonomi. Menyodorkan telapak tangan, menundukkan kepala serta dagu, merintih lapar, bahkan ada yang berdalih mengatasnamakan do’a dan sebagainya.
Pengemis susah untuk diklasifikasikan berdasarkan usia, karena orang yang mengemis tidak melulu orang-orang tua yang sudah tidak mampu bekerja ekstra saja – anak muda dan anak-anak kecilpun menjadi pelaku hal yang sama yakni mengemis, atau bukan cuma pengemis yang cacat fisik saja – melainkan “cacat” akan kesadaran innovatif, progressif, serta kesadaran-kesadaran revolusioner yang lainnya.
Pengemis Berdasi
Bagaimana negara kita mau maju kalau warganya rata-rata mempunyai mental pengemis??!!! Pertanyaan ini seharusnya merupakan sebuah tamparan keras bagi kita yang juga termasuk pengemis akademis. Hanya demi mendapatkan nilai mata kuliah yang bagus, kita rela membawakan makanan apa saja untuk dosen kita. Dosen atau karyawan yang ingin naik pangkat-pun demikian, mereka rela melakukan apa saja seperti merayu, “nyogok”, berperilaku ramah padahal biasanya tidak. Menteri atau Pejabat di DPR, DPRD? Silahkan analisa sendiri, saya kira mental mereka pun tidak akan jauh-jauh dari mental pengemis yang saya maksud. Hanya saja yang membuat kita berbeda dengan mereka adalah mereka termasuk pengemis berdasi, atau pengemis kerah putih sedangkan kita termasuk kategori pengemis akademis. Sama-sama pengemis kan?
Tanpa disadari bangsa kita hidup bergantung dari belas kasih orang atau bangsa lain. Tanpa hutang luar negeri, Pak SBY akan bingung mencari pinjaman hutang. Apakah bisa dikatakan wajar karena kita hidup itu harus simbiosis-mutualisme, saya rasa tidak! Lhah wong akhirnya selamanya kok bangsa kita jadi ketergantungan sama hutang luar negeri. Dan jika kita tarik ke hubungan kausal dampak dari hutang luar negeri ini, maka akan terbukti bahwa bangsa kita tetap berada di bawah tekanan bangsa asing.
Andai saja pengemis yang saya maksudkan mempunyai inisiatif mampu menjadi voluntaire bagi progressivitas dunia kepengemisan, misalkan dengan cara pengemis-pengemis tersebut menawarkan inovasi-inovasi kreatif untuk merubah image bahwasanya pengemis adalah malas, pengemis tidak mempunyai hasrat untuk maju dan sebagainya. Entah apa yang mendasari banyak pengemis yang merasa bangga dengan statusnya sebagai seorang pengemis, cara mudah mendapatkan hasilkah? Senang bermain dramaturgis sebagai seorang pengemiskah? Hobikah? Atau jangan-jangan memang sudah mempercayai bahwa mengemis adalah tradisi yang sudah mendarahdaging pada masyarakat kita? Terlepas dari banyak alasan tadi, saya yakin ada faktor eksternal yang menyebabkan mental pengemis terkonstruk dalam diri masyarakat di sekitar kita ini.
Pengemis Turunan
Fakir miskin dalam hal ini termasuk pengemis, ketika kita mengacu pada UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 jelas bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi realitas di sekitar kita, justru fakir miskin termasuk pengemis tersebut telah dilestarikan secara tidak langsung oleh Negara. Dari data observasi yang dilakukan oleh penulis selama 5 jam di daerah kampus saja, menemukan 5 orang pengemis yang berbeda dan tentunya dengan metode yang berbeda-beda. Berbagai macam kostum dan properti digunakan oleh pengemis semata-mata untuk menarik rasa iba, rasa belas kasih dari semua orang yang ia temui. Menggendong bayi atau balita, berpakaian kucel, rombeng, membawa surat pengantar dari kelurahan atau kecamatan, proposal bahkan sampai pengemis dengan cara “menjual do’a”-pun tak jarang saya temui.
Pernah beberapa minggu yang lalu saya melihat acara di televisi (red*), yang menayangkan tentang kilas-balik seorang pengemis di kota Jakarta. Acara tersebut mengupas fenomena mengemis yang dijadikan sebagai lapangan pekerjaan, pengemis yang menggantungkan nasibnya dengan cara mengemis atau meminta belas kasihan dari orang lain. Dalam acara tersebut pengemis berhasil diwawancarai, salah satu kenyataan yang terungkap dari pengemis tersebut yakni “mengemis adalah lapangan pekerjaan yang menjanjikan, karena penghasilan perhari bisa mencapai Rp.600-800.000 rupiah”. Bahkan yang lebih menjanjikan lagi bagi seorang pengemis adalah ketika omsett di hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri bisa mencapai Rp.1.000.000 rupiah. Jika dibandingkan dengan berjualan keliling, mengasong atau kaki lima, pekerjaan mengemis ini memang jauh lebih menjanjikan.
Namun dibalik semua itu, jika kita benturkan dengan halal atau tidaknya pekerjaan mengemis tersebut saya kira perlu kita pertanyakan lagi “Apakah mengemis yang dilakukan oleh pengemis di Jakarta itu termasuk halal atau tidak?”. Kenapa? Karena dalam acara televisi tersebut, pengemis juga mengatakan bahwa “pakaian yang ia kenakan ketika mengemis adalah pakaian khusus untuk mengemis, sedangkan pakaian keseharian dari pengemis tersebut layaknya pakaian biasa yang digunakan masyarakat pada umumnya”.
Sudah demikian parahnya mental pengemis, sudah demikian hebatnya pola pikir instant mencari uang tertanam pada masyarakat Indonesia. Hanya dengan memasang wajah memelas, mengatasnamakan fakir miskin yang tidak mampu dan sebagainya. Ketatnya persaingan dunia kerja serta dampak krisis ekonomi ternyata mampu membuat penyakit pragmatis semakin akut menimpa masyarakat Indonesia. Pengemis yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya adalah yang saya maksud dengan Pengemis (Si Miskin yang Konservatif). Karena mereka tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi zaman yang sudah terpengaruh oleh Pasar Global, dimana inovasi termasuk dalam hal IPTEK sudah semakin bermunculan dari berbagai macam bidang. Semangat mereka adalah bukan semangat pekerja keras yang memimpikan kemajuan. Kalau saran saya, segera jauhi mental-mental pengemis itu, lalu beralihlah menanamkan mental entrepreneurship, atau leadership sedini mungkin. Mari kita lakukan hal-hal yang belum pernah kita lakukan, diawali dari hal-hal yang paling kecil.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers