"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Kamis, 16 Agustus 2012

Cerita Bocah


“PENGEJAR MIMPI”
(Kisah Nyata Anak Laki-laki lulusan SMP yang Ingin Jadi Pemain Bola)

Judul tulisannya udah kaya judul Sinetron Ramadhan yaa... :D
Alkisah terjadi di hari Selasa 07 Agustus 2012, Jam 09 malam Wib. Malam itu aku nongkrong (nongkrong sama siapa-siapanya gak usah di ekspose ah, takutnya malah ngomentarin nongkrong sama siap-siapanya! :p ) menikmati secangkir kopi di warung kopi yang tidak jauh dari Gedung Kesenian Rarasantang-Cirebon. Nongkrongku kali ini demi untuk menepati janji bertemu anggota komunitas Kaskus Cirebon, yang ingin ngajak bikin acara buka bareng anak-anak jalanan di belakang Terminal Harjamukti-Cirebon (Kebetulan aku adalah salah satu partisipan yang seminggu sekali meluangkan waktu belajar bareng anak-anak jalanan itu). Bla...bla..blaa... Singkat cerita, obrolan dengan beberapa anggota komunitas Kaskus Cirebon itu rampung sekitar jam 10 lebih sekian. Dengan hasil : “acara buka bareng anak jalanan di belakang Terminal Harjamukti-Cirebon itu fix diadakan hari Sabtu 11 agustus 2012”. (Makasih Kaskus Cirebon atas partisipasi & beberapa sumbangan buat anak jalanannya... hhehe :*)
Usai itu, aku-pun menenggak habis sisa kopi kemudian bergegas menaiki kuda besiku untuk pulang ke rumah tercinta. Belum ada 1 km kuda besi melangkah, aku mendapati seorang anak lelaki usia belasan di depan SPBU yang tidak jauh dari warung kopi tadi. Ia berjalan dengan menggendong tas yang (kayaknya) didalamnya berisi baju silat atau baju-baju karate (karena aku kira dia baru pulang usai latian silat atau karate). Wajahnya nampak pucat berkeringat, langkah kakinya nampak kelelahan tak tentu arah, entah apa yang sedang ia pikirkan. Melihat dia yang seperti itu, aku menghampirinya kemudian langsung mengajaknya untuk ikut bonceng di kuda besiku. Meski awalnya ia menolak dengan alasan “rumahku dekat mas, itu di depan situ”, tapi setelah aku bujuk “gak apa-apa biar kuantar, aku sekalian pulang ke arah yang sama”, akhirnya ia-pun mau.
Baru saja ia duduk di atas kuda besiku yang mulai melangkah pelan, aku memulai obrolan dengan bertanya padanya “habis dari mana Mas?”, “... habis Sekolah Bola”, jawabnya gugup. Samar-samar aku dengar jawabannya, karena takut salah dengar, lalu aku tanyakan lagi “habis dari mana Mas?”, kali ini jawabannya terdengar cukup tegas “habis nyari sekolah Bola Mas...”. Mendengar jawaban itu, sontak saja aku kaget kemudian menimpalinya “Ooh.. kirain abis latian silat atau karate, lhah terus udah nemu kan Sekolah Bolanya?”, seolah tanpa jedah ia-pun menjawab “bukan Mas, Saya sejak maghrib tadi sampe sekarang abis muter-muter di GOR Bima nyari Sekolah Bola, tapi ternyata belum ketemu juga Mas, padahal udah seminggu aku nyari muter-muter”.
Melihat postur tubuhnya yang memang masih seusia anak sekolah, akhirnya aku langsung bertanya “Kamu masih sekolah? Kelas berapa?”, tepat memang perkiraanku, ia masih seusia anak sekolah. “Aku baru aja lulus SMP kemarin Mas, tapi sekarang udah gak sekolah, aku dan keluargaku ini orang susah Mas, makanya aku gak lanjut sekolah”. Semakin kaget dan penasaran aku mendengar ucapannya (kepo nih aing...). Namun, tidak terasa kuda besiku sudah sampai di lampu merah Cideng – Cirebon. Tidak lama kemudian pundakku ditepuk oleh anak itu, “udah Mas, aku turun di sini aja”. Dan itu artinya bocah yang aku bonceng itu harus turun. Tapi, jujur aku masih penasaran sama anak laki-laki itu. Dengan berat hati aku berhentikan kuda besiku, “iya bentar, di depan toko itu sekalian berhentinya”. Sembari mengangkat kaki dari foot step kuda besiku, ia bilang “Sekolah Bola di Cirebon sih mahal gak ya Mas? Tau gak Mas, kira-kira biayanya perbulan berapa?”. Cengo’ lah aku kali ini mendengar pertanyaannya, secara aku tidak tau sama sekali tentang Info Sekolah Bola di Cirebon. Sambil terus berpikir mencari jawaban agar dia tidak kecewa, aku parkir kuda besiku, kemudian turun dan aku ajak anak laki-laki itu duduk di depan toko sembako untuk melanjutkan obrolan.
Emperan toko yang sudah sepi dengan pemandangan mobil dan motor lalu lalang di depan mata, aku dan anak itu duduk bersebelahan menghadap jalan raya, kurang lebih seperti itu gambaran suasana malam itu. Sambil menaruh tas dan menyalakan sebatang rokok, aku coba menjawab pertanyaan tadi, “Mmm...mm... Waduuh... aku kurang tau tuh masalah biayanya, tapi kalo mau, nanti aku bantu cari informasinya deh lewat temen-temenku. Gimana? Nomer HP kamu berapa?” (Sambil aku merogoh HP di saku celanaku). Wajah anak itu tampak bingung saat mendengar aku bertanya tentang nomer HP, karena ternyata ia tidak punya HP. “aku gak punya HP Mas, tapi kartunya mah aku punya, aku minta nomer Mas aja deh...”, (mungkin yang ia maksud kartu adalah sim card). Sembari aku menyebutkan nomer HP’ku dan anak itu mulai mencatatnya di sobekan kertas, kembali aku bertanya“rada susah juga ya nanti kalo mau hubungin kamu... oh ya, namaku Tino. Nama kamu siapa? Lhah terus sekarang berarti kamu nganggur? Apa udah kerja? Kamu aslinya mana sih?”
Bocah lulusan SMP yang semula gugup itu kini mulai lancar menjawab pertanyaanku, “Namaku Ferry Mas, 1 bulan kemarin aku kerja di Batembat-Plered Mas, bikin Sabuk, tapi sekarang udah enggak kerja lagi, soalnya ya ini siih... aku pengen banget nyari Sekolah Bola di Cirebon. Aku aslinya Beber Mas, tapi sekarang aku tinggalnya sama Kakakku dan Kakak Iparku di Cideng”. Mengetahui dia seorang  lulusan SMP dan pernah bekerja membuat sabuk, akhirnya aku penasaran dengan upahnya waktu masih bekerja. “Waktu Ferry bekerja bikin sabuk, gajinya berapa perbulan? Trus kenapa sekarang malah gak lanjut kerja di situ lagi?”. Dengan gamblang ia menjawab, “Gajinya kecil sih Mas, 15 ribu per-hari, itu tuh kotor. Tapi ya itu lumayan lah 10 ribunya cukup buat makan 2 kali, trus yang 5 ribunya buat jajan sama ngrokok, tapi sekarang mah udah berhenti ngrokoknya Mas. Aku berhenti kerja tuh karena pengen ngejer cita-cita mas, cita-citaku pengen masuk Tim-tim Besar kaya SRIWIJAYA FC itu loh Mas. Iya Mas, aku tuh nge-Fans banget sama SRIWIJAYA FC, kemarin juga pas SRIWIJAYA tanding di Jawa Timur, aku nonton ke sana sendirian Mas...”.
Aku-pun semakin hanyut oleh semangat cita-cita dan keprihatinannya, sampai-sampai aku lupa padahal tadinya usai ketemu anggota Kaskus Cirebon, rencananya mau langsung pulang. Semakin besar keinginanku untuk membantu anak itu, meski aku sendiri masih bingung mau membantu apa, karena tidak lebih paling-paling aku cuma bisa membantu mencarikan informasi seputar sekolah bola untuknya. :(
Sebatang rokok telah habis kuhisap. Mendengar ceritanya yang pernah sengaja nonton sendirian pertandingan SRIWIJAYA, aku teringat keluarganya, dalam hati ; kirain dia nonton bareng keluarganya. “Eh, ngomong-ngomong. Orang tua Ferry kerjanya apa? Ferry gak tertarik buat lanjut sekolah SMA dulu?”. Aku bertanya seperti ini, karena semula aku kira orang tuanya masih mampu dan masih mau membiayainya, hanya saja aku kira orang tuanya tidak setuju dengan cita-citanya. Tapi ternyata dugaanku meleset. Sambil menundukkan kepala, Ferry menjawab, “Itu dia Mas alasan kenapa aku gak lanjut ke SMA atau STM tuh... orang tuaku udah lama cerai. Ibu jadi Ibu rumah tangga di Beber, kalo Bapak mah jadi penjaga palang pintu rel kereta api di Kesambi Mas...”. Setelah aku mengetahui bahwa finansial-lah masalah yang menghambat cita-citanya, akhirnya aku coba ceritakan bahwa di Desaku juga rutin diadakan latihan Bola (meski yang melatih masih Mahasiswa, jurusan olah raga). Sedikit panjang dan sedikit lebar kuceritakan tentang agenda latihan & track of record dari tim sepak bola di Desaku. Tampaknya Ferry-pun tertarik. Ia bilang, “Daerah Mas dari sini jauh ga? Ada kontrakan ga? Kalo kerja mah nanti gampang-lah apa aja yang penting halal, nanti kan di sana aku bisa sambil latihan sepak bola... aku pengen masuk tim-tim besar kaya SRIWIJAYA FC itu loh Mas”, begitu, tanggapan Ferry usai mendengar ceritaku.
Ya kurang lebih seperti itu perjumpaanku dengan Ferry di malam itu. Sebenernya masih banyak obrolan lain dengannya yang belum sempat tertulis di sini. Mengingat takutnya kalau tulisannya kebanyakan itu malah gak dibaca, jadi yasudah... langsung saja ke paragraf penutup. Malam itu aku rampung ngobrol sama Ferry sekitar jam setengah 12-an. Karena Ferry tidak punya HP sehingga nantinya akan rada susah buat diajak ketemu ngobrol-ngobrol lagi, lalu aku putuskan untuk mengantarnya pulang sampai ke rumah (Bosnya) kakaknya. Tadinya Ferry gak mau diantar sampai rumah, tapi setelah aku jelaskan agar nanti kalau kapan-kapan pengen main, aku bisa datang ke rumahnya, Ferry-pun mau. Rumahnya ternyata cukup kecil untuk ukuran rumah di daerah yang masih kental dengan nuansa pedesaan. Dan sampai tulisan ini dipublish, aku belum ketemu lagi sama Bocah yang bercita-cita pengen jadi pemain bola itu. Untuk sementara berdo’a saja dulu, semoga anak yang nge-Fans banget sama SRIWIJAYA FC itu gak galau, gak putus asa kemudian malah pindah haluan dan salah pergaulan. [ ]
*Barangkali ada yang tau info sekolah bola di Cirebon, boleh dong di share di sini. Atau barangkali ada info sekolah SMA yang gak pake biaya juga share aja. Hheu
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers