“PENGEJAR
MIMPI”
(Kisah
Nyata Anak Laki-laki lulusan SMP yang Ingin Jadi Pemain Bola)
Judul
tulisannya udah kaya judul Sinetron Ramadhan yaa... :D
Alkisah
terjadi di hari Selasa 07 Agustus 2012, Jam 09 malam Wib. Malam itu aku
nongkrong (nongkrong sama siapa-siapanya
gak usah di ekspose ah, takutnya malah ngomentarin nongkrong sama
siap-siapanya! :p ) menikmati secangkir kopi di warung kopi yang tidak jauh
dari Gedung Kesenian Rarasantang-Cirebon. Nongkrongku kali ini demi untuk
menepati janji bertemu anggota komunitas Kaskus Cirebon, yang ingin ngajak
bikin acara buka bareng anak-anak jalanan di belakang Terminal Harjamukti-Cirebon
(Kebetulan aku adalah salah satu
partisipan yang seminggu sekali meluangkan waktu belajar bareng anak-anak
jalanan itu). Bla...bla..blaa... Singkat cerita, obrolan dengan beberapa
anggota komunitas Kaskus Cirebon itu rampung sekitar jam 10 lebih sekian.
Dengan hasil : “acara buka bareng anak jalanan di belakang Terminal
Harjamukti-Cirebon itu fix diadakan hari Sabtu 11 agustus 2012”. (Makasih Kaskus Cirebon atas partisipasi
& beberapa sumbangan buat anak jalanannya... hhehe :*)
Usai
itu, aku-pun menenggak habis sisa kopi kemudian bergegas menaiki kuda besiku
untuk pulang ke rumah tercinta. Belum ada 1 km kuda besi melangkah, aku
mendapati seorang anak lelaki usia belasan di depan SPBU yang tidak jauh dari
warung kopi tadi. Ia berjalan dengan menggendong tas yang (kayaknya) didalamnya
berisi baju silat atau baju-baju karate (karena aku kira dia baru pulang usai
latian silat atau karate). Wajahnya nampak pucat berkeringat, langkah kakinya
nampak kelelahan tak tentu arah, entah apa yang sedang ia pikirkan. Melihat dia
yang seperti itu, aku menghampirinya kemudian langsung mengajaknya untuk ikut
bonceng di kuda besiku. Meski awalnya ia menolak dengan alasan “rumahku dekat mas, itu di depan situ”,
tapi setelah aku bujuk “gak apa-apa biar
kuantar, aku sekalian pulang ke arah yang sama”, akhirnya ia-pun mau.
Baru
saja ia duduk di atas kuda besiku yang mulai melangkah pelan, aku memulai
obrolan dengan bertanya padanya “habis
dari mana Mas?”, “... habis Sekolah
Bola”, jawabnya gugup. Samar-samar aku dengar jawabannya, karena takut
salah dengar, lalu aku tanyakan lagi “habis
dari mana Mas?”, kali ini jawabannya terdengar cukup tegas “habis nyari sekolah Bola Mas...”.
Mendengar jawaban itu, sontak saja aku kaget kemudian menimpalinya “Ooh.. kirain abis latian silat atau karate,
lhah terus udah nemu kan Sekolah Bolanya?”, seolah tanpa jedah ia-pun
menjawab “bukan Mas, Saya sejak maghrib
tadi sampe sekarang abis muter-muter di GOR Bima nyari Sekolah Bola, tapi
ternyata belum ketemu juga Mas, padahal udah seminggu aku nyari muter-muter”.
Melihat
postur tubuhnya yang memang masih seusia anak sekolah, akhirnya aku langsung
bertanya “Kamu masih sekolah? Kelas
berapa?”, tepat memang perkiraanku, ia masih seusia anak sekolah. “Aku baru aja lulus SMP kemarin Mas, tapi
sekarang udah gak sekolah, aku dan keluargaku ini orang susah Mas, makanya aku
gak lanjut sekolah”. Semakin kaget dan penasaran aku mendengar ucapannya (kepo nih aing...). Namun, tidak terasa
kuda besiku sudah sampai di lampu merah Cideng – Cirebon. Tidak lama kemudian
pundakku ditepuk oleh anak itu, “udah
Mas, aku turun di sini aja”. Dan itu artinya bocah yang aku bonceng itu
harus turun. Tapi, jujur aku masih penasaran sama anak laki-laki itu. Dengan
berat hati aku berhentikan kuda besiku, “iya
bentar, di depan toko itu sekalian berhentinya”. Sembari mengangkat kaki
dari foot step kuda besiku, ia bilang
“Sekolah Bola di Cirebon sih mahal gak ya
Mas? Tau gak Mas, kira-kira biayanya perbulan berapa?”. Cengo’ lah aku kali
ini mendengar pertanyaannya, secara
aku tidak tau sama sekali tentang Info Sekolah Bola di Cirebon. Sambil terus
berpikir mencari jawaban agar dia tidak kecewa, aku parkir kuda besiku,
kemudian turun dan aku ajak anak laki-laki itu duduk di depan toko sembako
untuk melanjutkan obrolan.
Emperan
toko yang sudah sepi dengan pemandangan mobil dan motor lalu lalang di depan
mata, aku dan anak itu duduk bersebelahan menghadap jalan raya, kurang lebih
seperti itu gambaran suasana malam itu. Sambil menaruh tas dan menyalakan
sebatang rokok, aku coba menjawab pertanyaan tadi, “Mmm...mm... Waduuh... aku kurang tau tuh masalah biayanya, tapi kalo
mau, nanti aku bantu cari informasinya deh lewat temen-temenku. Gimana? Nomer
HP kamu berapa?” (Sambil aku merogoh HP di saku celanaku). Wajah anak itu
tampak bingung saat mendengar aku bertanya tentang nomer HP, karena ternyata ia
tidak punya HP. “aku gak punya HP Mas,
tapi kartunya mah aku punya, aku minta nomer Mas aja deh...”, (mungkin yang
ia maksud kartu adalah sim card).
Sembari aku menyebutkan nomer HP’ku dan anak itu mulai mencatatnya di sobekan
kertas, kembali aku bertanya“rada susah
juga ya nanti kalo mau hubungin kamu... oh ya, namaku Tino. Nama kamu siapa? Lhah
terus sekarang berarti kamu nganggur? Apa udah kerja? Kamu aslinya mana sih?”
Bocah
lulusan SMP yang semula gugup itu kini mulai lancar menjawab pertanyaanku, “Namaku Ferry Mas, 1 bulan kemarin aku kerja
di Batembat-Plered Mas, bikin Sabuk, tapi sekarang udah enggak kerja lagi,
soalnya ya ini siih... aku pengen banget nyari Sekolah Bola di Cirebon. Aku aslinya Beber Mas, tapi sekarang aku
tinggalnya sama Kakakku dan Kakak Iparku di Cideng”. Mengetahui dia
seorang lulusan SMP dan pernah bekerja
membuat sabuk, akhirnya aku penasaran dengan upahnya waktu masih bekerja. “Waktu Ferry bekerja bikin sabuk, gajinya
berapa perbulan? Trus kenapa sekarang malah gak lanjut kerja di situ lagi?”.
Dengan gamblang ia menjawab, “Gajinya
kecil sih Mas, 15 ribu per-hari, itu tuh kotor. Tapi ya itu lumayan lah 10
ribunya cukup buat makan 2 kali, trus yang 5 ribunya buat jajan sama ngrokok,
tapi sekarang mah udah berhenti ngrokoknya Mas. Aku berhenti kerja tuh karena
pengen ngejer cita-cita mas, cita-citaku pengen masuk Tim-tim Besar kaya
SRIWIJAYA FC itu loh Mas. Iya Mas, aku tuh nge-Fans banget sama SRIWIJAYA FC,
kemarin juga pas SRIWIJAYA tanding di Jawa Timur, aku nonton ke sana sendirian
Mas...”.
Aku-pun
semakin hanyut oleh semangat cita-cita dan keprihatinannya, sampai-sampai aku
lupa padahal tadinya usai ketemu anggota Kaskus Cirebon, rencananya mau
langsung pulang. Semakin besar keinginanku untuk membantu anak itu, meski aku
sendiri masih bingung mau membantu apa, karena tidak lebih paling-paling aku
cuma bisa membantu mencarikan informasi seputar sekolah bola untuknya. :(
Sebatang
rokok telah habis kuhisap. Mendengar ceritanya yang pernah sengaja nonton
sendirian pertandingan SRIWIJAYA, aku teringat keluarganya, dalam hati ; kirain
dia nonton bareng keluarganya. “Eh,
ngomong-ngomong. Orang tua Ferry kerjanya apa? Ferry gak tertarik buat lanjut
sekolah SMA dulu?”. Aku bertanya seperti ini, karena semula aku kira orang
tuanya masih mampu dan masih mau membiayainya, hanya saja aku kira orang tuanya
tidak setuju dengan cita-citanya. Tapi ternyata dugaanku meleset. Sambil
menundukkan kepala, Ferry menjawab, “Itu
dia Mas alasan kenapa aku gak lanjut ke SMA atau STM tuh... orang tuaku udah
lama cerai. Ibu jadi Ibu rumah tangga di Beber, kalo Bapak mah jadi penjaga
palang pintu rel kereta api di Kesambi Mas...”. Setelah aku mengetahui
bahwa finansial-lah masalah yang menghambat cita-citanya, akhirnya aku coba
ceritakan bahwa di Desaku juga rutin diadakan latihan Bola (meski yang melatih
masih Mahasiswa, jurusan olah raga). Sedikit panjang dan sedikit lebar
kuceritakan tentang agenda latihan & track
of record dari tim sepak bola di Desaku. Tampaknya Ferry-pun tertarik. Ia
bilang, “Daerah Mas dari sini jauh ga?
Ada kontrakan ga? Kalo kerja mah nanti gampang-lah apa aja yang penting halal,
nanti kan di sana aku bisa sambil latihan sepak bola... aku pengen masuk
tim-tim besar kaya SRIWIJAYA FC itu loh Mas”, begitu, tanggapan Ferry usai
mendengar ceritaku.
Ya
kurang lebih seperti itu perjumpaanku dengan Ferry di malam itu. Sebenernya masih
banyak obrolan lain dengannya yang belum sempat tertulis di sini. Mengingat takutnya
kalau tulisannya kebanyakan itu malah gak dibaca, jadi yasudah... langsung saja
ke paragraf penutup. Malam itu aku rampung ngobrol sama Ferry sekitar jam
setengah 12-an. Karena Ferry tidak punya HP sehingga nantinya akan rada susah
buat diajak ketemu ngobrol-ngobrol lagi, lalu aku putuskan untuk mengantarnya
pulang sampai ke rumah (Bosnya) kakaknya. Tadinya Ferry gak mau diantar sampai
rumah, tapi setelah aku jelaskan agar nanti kalau kapan-kapan pengen main, aku
bisa datang ke rumahnya, Ferry-pun mau. Rumahnya ternyata cukup kecil untuk
ukuran rumah di daerah yang masih kental dengan nuansa pedesaan. Dan sampai
tulisan ini dipublish, aku belum
ketemu lagi sama Bocah yang bercita-cita pengen jadi pemain bola itu. Untuk
sementara berdo’a saja dulu, semoga anak yang nge-Fans banget sama SRIWIJAYA FC
itu gak galau, gak putus asa kemudian malah pindah haluan dan salah pergaulan. [
]
*Barangkali ada yang tau info
sekolah bola di Cirebon, boleh dong di share
di sini. Atau barangkali ada info sekolah SMA yang gak pake biaya juga share aja. Hheu
0 comments:
Posting Komentar