"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Jumat, 27 Februari 2009

Tentang sebuah Gerakan “Wiji Thukul”

oleh Achmad Saptono

Aku berpikir tentang sebuah gerakan
Tapi mana mungkin
Kununtut sendirian
Aku berpikir tentang sebuah gerakan
Tapi mana mungkin
Kalau aku diam
(Wijii Thukul)

Wiji Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, yang mayoritas penduduknya adalah buruh dan tukang becak. Ayahnya sendiri seorang tukang becak dan buruh. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara dia berhasil menamatkan SMP pada tahun l979, lalu masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat dan keluar pada tahun 1982 karena kesulitanuntuk membayar biaya sekolah. Selanjutnya ia hidup dari hasil berjualan koran, lalu bekerja di sebuah perusahaan meubel antik dan menjadi tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur ini, Wiji Thukul mulai membuat puisi dan membacakan disekitar teman sekerjanya. Diselah-selah berjualan koran, Wiji pun tak pernah berhenti untuk menulis puisi.

Wiji Thukul penyair radikal, puisinya bernuansa perlawanan. Sejatinya ia pembangkang. Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
Melalui puisi-puisinya, ayah berputra dua itu mampu membangun kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia. Meskipun tidak berpendidikan tinggi dan hanya bekerja sebagai tukang pelitur, Wiji Thukul memiliki kepekaan dan kesadaran akan situasi kertertindasan kemanusiaan. Wiji Thukul juga bukan seorang aktivis yang bekerja pada bidang advokasi di bawah naungan lembaga penggerak HAM. Juga, ia bukan opinion leader yang gagasan-gagasannya bisa memengaruhi opini publik. Wiji hanyalah seorang buruh yang bisa menulis sajak sebagai pelampiasan rasa gundahnya.
Akan tetapi, dengan kekurangan-kekurangan seperti itu, ia telah melakukan sesuatu yang sangat penting. Sesungguhnya, untuk menegakkan HAM orang tidak harus terlebih dahulu masuk fakultas hukum, kuliah di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik atau menjadi aktivis pembela hak asasi manusia.
Ok, sekarang kita coba membaca realitas gerakan pada saat ini. Apa yang terjadi pada gerakan saat ini? Bagaimana format serta arah gerakan di era postmodern seperti sekarang ini? ketika gerakan seolah sudah terpecah dengan banyak ideologi, dan ketika antargerakan terjadi diferensi sosial apakah gerakan seperti yang pernah dilakukan Wiji akan kembali terjadi?
Format gerakan saat ini bisa dikatakan terlalu independen (asik beronani dengan permasalahan/urusan internalnya sendiri), sesekali memang gerakan itu masih nampak seperti disaat munculnya isu2 besar seperti global warming atau isu2 lainnya. akan tetapi apakah orang2 atau mahasiswa yang tergabung dalam gerakan2 tersebut memahami tentang ruh atau ghiroh dari gerakan itu sendiri? apakah mereka dalam keadaan sadar ketika berteriak lawan....turunkan....atau hancurkan...
Secara (simple nya)pengertian sadar adalah suatu keadaan mengerti atau tahu akan kemana ia akan bergerak atau akan kemana ia akan melangkah. sedangkan konteks yang terjadi pada orang2 atau mahasiswa2 yang tergabung dalam suatu kelompok gerakan atau aksi demonstrasi adalah secara fisik mereka memang mengikuti jalannya aksi tersebut, dengan berjalan, berteriak dan lain sebagainya akan tetapi apakah mereka paham serta mengerti tentang apa yang ia teriakan/tuntutkan?
Aksi demonstrasi itu perlu, bagus memang..karena sejarahnya rezim otoriter Soeharto(alm) dahulu mampu dilengserkan dengan cara aksi demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa aliansi mahasiswa.sependek pengetahuan saya tentang gerakan2 mahasiswa saat ini adalah masih sangat2 premature. maaf, mungkin argumen saya agak bernada pesimis tentang gerakan. yang jelas saya tetap berharap semoga gerakan2 atau aksi yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini lebih mempunyai content serta esensi yang jelas akan dibawa kemana aksi yang dilakukan itu.

"markas hijau hitam"
Share:

Selasa, 24 Februari 2009

Idealisme Mahasiswa

Oleh : Achmad Saptono

Kenapa menjadi hal yang aneh bagi sebagian masyarakat? Mereka berasumsi ”jangan sok’ idealis!”. Kutipan kalimat itu pernah dilontarkan oleh salah satu guru BP di sekolah SMA Purwokerto. Entah apa yang ada didalam fikirannya, apakah memang idealisme sudah tidak bisa lagi kita terapkan di era globalisasi ini. Yang jelas menurut hemat saya, ketika anda merasa bahwa idealisme itu tidak bisa hidup di era globalisasi maka artinya anda menyerah begitu saja kepada tantangan globalisasi atau sama saja anda tidak mau mencoba untuk mendekonstruksi budaya globalisasi yang semakin menjajah kita itu. Apakah anda sudah merasa puas atau sudah merasa keenakan dengan mengonsumsi produk neolib yang notabene sebagian besar harganya mahal itu? Padahal disisi lain dari segi kualitas produk sebenarnya anda masih mampu untuk memproduksi sendiri.
Saya kira sudah sepantasnya kita (mahasiswa) tetap berpihak pada idealisme, karena kita lah yang mengemban amanah itu. Kaum pendobrak atau agent of change saya pikir sudah cukup mewakili bahwa kita memang seharusnya tetap idealis. Dan ketika banyak orang yang meragukan idealisme itu ada maka untuk membuat mereka tidak ragu lagi adalah perlu adanya pembuktian dari kita sebagai mahasiswa yang tetap idealis dan mahasiswa yang berpihak pada perdamaian abadi seperti apa yang tercantum pada tujuan dari bangsa indonesia. Kalau ada yang masih ragu, baik saya akan mencoba untuk membantu membangun alur berfikirnya. Tentunya anda sepakat bahwa idealis adalah hal yang baik, hanya saja mungkin anda merasa untuk melangkah ke arah idealis itu sangat sulit apalagi di zaman yang sudah semakin modern ini. Nah, simpelnya... kalau anda tidak mau mencoba untuk tetap idealis, bagaimana anda tahu bahwa untuk tetap idealis di zaman modern ini susah. Iya toh??? Selamat merenung...(Noy).
Share:

Pragmatisme, sebuah penyakit akut

Oleh : Achmad Saptono

Penyakit pemikiran yang menyerang jantung pendidikan di Indonesia, pragmatisme menyerang bagai racun yang terus menjalar ke seluruh fikiran masyarakat Indonesia. Era 1980-an banyak pejuang islam yang identik dengan kajian-kajian filsafat keislamannya baik teologis, epistemologis, aksiologis dan lain-lain. Akan tetapi sangat disayangkan ternyata tradisi seperti itu mengalami keterputusan transformasi kepada pejuang (umat) islam saat ini.
Jangan heran kalau akhir-akhir ini sering sekali terjadi konflik antarumat islam atau juga konflik antarumat agama lain, karena bisa jadi hal tersebut dikarenakan masyarakat pada saat ini berfikir lebih singkat atau yang saat ini sering kita interpretasikan dengan istilah pragmatis. Terkadang berfikir pragmatis adalah sama saja menuruti hawa nafsu yang sesaat, tanpa berfikir panjang apa sebab serta akibat dari hal yang telah diputuskan dalam waktu yang singkat itu.
Filsafat adalah berfikir, seseorang bisa dikatakan berfilsafat ketika ia sudah mau menyita waktunya untuk memikirkan sesuatu. Nah, yang menjadi permasalahan pada saat ini ketika sudah semakin sedikit saja orang-orang yang mau menyita waktunya untuk memikirkan sesuatu, mereka cenderung lebih berorientasi ke hal-hal yang praktis. Suatu contoh kecilnya adalah adanya produk makanan/minuman dalam kemasan instant seperti mie instant, soft drink yang membuat masyarakat indonesia menjadi beralih dari makanan-makanan tradisional yang notabene memerlukan waktu lebih untuk membuat atau menyajikannya. Memang hal seperti ini tidak begitu dirasakan oleh masyarakat, namun justru proses itulah yang akhirnya mengkonstruk pola pikir masyarakat Indonesia menjadi berfikir pragmatis. Kemajuan teknologi dalam berbagai media di Indonesia yang akhirnya dapat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan berbagai macam informasi dari Negara lain. Hal-hal demikian lah yang kemudian mampu meninabobokan masyarakat Indonesia secara keseluruhan tanpa kecuali. Masyarakat Indonesia yang hanya bisa mengekor kepada bangsa lain, tidak punya pendirian yang kuat. Lalu kapan bangsa indonesia bisa lebih maju? Bisakah bangsa indonesia lebih kreatif daripada bangsa lain? Mampukah bangsa indonesia menciptakan lapangan pekerjaan dan tidak mencari lapangan pekerjaan lagi??? Saya yakin itu semua bisa terwujud andaikata kita mampu membumihanguskan penyakit pragmatis tersebut. (Noy).
Share:

Pendidikan yang belum “Humanis”

Pendidikan yang belum “Humanis”
Oleh : Achmad Saptono

Humanis, sebuah konsep pendidikan yang pernah dikemukakan oleh salah satu pakar pendidikan di Indonesia, Paulo freire. Menurutnya, pendidikan dikatakan humanis (memanusiakan manusia) ketika pendidikan itu sudah benar-benar mampu membebaskan peserta didik, tanpa ada unsur paksaan, dalam hal ini baik siswa/siswi atau pun mahasiswa/mahasiswi. Ki Hajar Dewantara pun demikian, menurutnya perlu adanya kelas atau sekolah khusus yang didalamnya memang benar-benar bisa membebaskan peserta didiknya. Untuk itu Ki Hajar Dewantara pernah mendirikan sebuah sekolah yang bernama Taman Siswa.
Firdaus M. Yunus dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah karangan Eko Prasetyo menuliskan bahwa pendidikan yang humanis adalah ketika pendidikan itu dapat membebaskan manusia dari segala macam keterbelakangan mental dan juga membebaskan manusia dari segala macam keterkungkungan. Di dalam buku tersebut Firdaus M. Yunus menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia seharusnya bisa berlaku adil, artinya terdapat pemerataan pendidikan untuk semua kalangan. Seperti yang tercantum pada salah satu pasal di UUD’45, yaitu pada pasal “setiap warga Negara berhak pendapat pendidikan yang layak”. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan yang ada di Indonesia adalah hak bagi setiap warga Negara tanpa terkecuali.
Dalam menumbuhkan kebebasan tersebut, Freire membagi tahap kesadaran berfikir menjadi 3 (tiga) yaitu kesadaran magis, naïf dan kritis. Pertama, yang dimaksud tahap kesadaran berfikir magis adalah suatu keadaan sadar yang dikarenakan oleh adanya unsur dogma/doktrin atau paksaan, kedua, tahap kesadaran berfikir naïf yaitu suatu keadaan sadar yang tidak mengerti arah akan kemana melangkah dan yang ketiga, tahap kesadaran kritis yaitu suatu keadaan sadar yang berasal dari adanya proses berfikir dan mengerti/tahu akan kemana melangkah.
Mari kita analisis konsep pendidikan di sekitar kita, apakah konsep pendidikan di lingkungan sekitar kita sudah menciptakan peserta didik yang mempunyai kesadaran kritis, naif atau magis? Andaikata konteks yang sering kita temukan dalam institusi pendidikan disekitar kita adalah demikian maka ini dinamakan kesadaran yang magis, sebuah kesadaran yang berasal dari adanya doktrin atau pakasaan dari seseorang atau orang lain.
Tak sedikit institusi pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi sekalipun yang ternyata msih saja menganut konsep pendidikan Gaya Bank, sehingga yang terjadi pada saat ini adalah peserta didik yang tidak bisa kreatif, ketergantungan dengan guru/staf pengajarnya. Ketika peserta didik tidak bisa kreatif saya pikir adalah sebuah faktor permasalahan yang cukup besar bagi perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena bisa jadi kualitas pendidikan di Indonesia semakin tahun akan mengalami penurunan.
Saya berani meng-klaim banyak peserta didik di Indonesia yang belajar hanya pada saat sedang ada di dalam kampus/sekolah, kemudian selebihnya waktu digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sama sekali tidak ada keterkaitan dengan pendidikan (maaf), atau dengan kata lain waktu yang digunakan hanya untuk bermain saja.
Share:
Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers