"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Selasa, 24 Februari 2009

Pendidikan yang belum “Humanis”

Pendidikan yang belum “Humanis”
Oleh : Achmad Saptono

Humanis, sebuah konsep pendidikan yang pernah dikemukakan oleh salah satu pakar pendidikan di Indonesia, Paulo freire. Menurutnya, pendidikan dikatakan humanis (memanusiakan manusia) ketika pendidikan itu sudah benar-benar mampu membebaskan peserta didik, tanpa ada unsur paksaan, dalam hal ini baik siswa/siswi atau pun mahasiswa/mahasiswi. Ki Hajar Dewantara pun demikian, menurutnya perlu adanya kelas atau sekolah khusus yang didalamnya memang benar-benar bisa membebaskan peserta didiknya. Untuk itu Ki Hajar Dewantara pernah mendirikan sebuah sekolah yang bernama Taman Siswa.
Firdaus M. Yunus dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah karangan Eko Prasetyo menuliskan bahwa pendidikan yang humanis adalah ketika pendidikan itu dapat membebaskan manusia dari segala macam keterbelakangan mental dan juga membebaskan manusia dari segala macam keterkungkungan. Di dalam buku tersebut Firdaus M. Yunus menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia seharusnya bisa berlaku adil, artinya terdapat pemerataan pendidikan untuk semua kalangan. Seperti yang tercantum pada salah satu pasal di UUD’45, yaitu pada pasal “setiap warga Negara berhak pendapat pendidikan yang layak”. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan yang ada di Indonesia adalah hak bagi setiap warga Negara tanpa terkecuali.
Dalam menumbuhkan kebebasan tersebut, Freire membagi tahap kesadaran berfikir menjadi 3 (tiga) yaitu kesadaran magis, naïf dan kritis. Pertama, yang dimaksud tahap kesadaran berfikir magis adalah suatu keadaan sadar yang dikarenakan oleh adanya unsur dogma/doktrin atau paksaan, kedua, tahap kesadaran berfikir naïf yaitu suatu keadaan sadar yang tidak mengerti arah akan kemana melangkah dan yang ketiga, tahap kesadaran kritis yaitu suatu keadaan sadar yang berasal dari adanya proses berfikir dan mengerti/tahu akan kemana melangkah.
Mari kita analisis konsep pendidikan di sekitar kita, apakah konsep pendidikan di lingkungan sekitar kita sudah menciptakan peserta didik yang mempunyai kesadaran kritis, naif atau magis? Andaikata konteks yang sering kita temukan dalam institusi pendidikan disekitar kita adalah demikian maka ini dinamakan kesadaran yang magis, sebuah kesadaran yang berasal dari adanya doktrin atau pakasaan dari seseorang atau orang lain.
Tak sedikit institusi pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi sekalipun yang ternyata msih saja menganut konsep pendidikan Gaya Bank, sehingga yang terjadi pada saat ini adalah peserta didik yang tidak bisa kreatif, ketergantungan dengan guru/staf pengajarnya. Ketika peserta didik tidak bisa kreatif saya pikir adalah sebuah faktor permasalahan yang cukup besar bagi perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena bisa jadi kualitas pendidikan di Indonesia semakin tahun akan mengalami penurunan.
Saya berani meng-klaim banyak peserta didik di Indonesia yang belajar hanya pada saat sedang ada di dalam kampus/sekolah, kemudian selebihnya waktu digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sama sekali tidak ada keterkaitan dengan pendidikan (maaf), atau dengan kata lain waktu yang digunakan hanya untuk bermain saja.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers