"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Jumat, 13 Januari 2012

Naskah Teater: GAGEMONI


GAGEMONI !!
Oleh : Achmad Saptono

Pemain:
Bupati
Ajudan Bupati
Polisi
Seniman I, II
Mahasiswa/Demonstran
Wartawan
Pak RT
Warga I, II
Pengamen I, II
Pengemis

*Backsound Openning: lagu “Titi Kolo Mongso – Sujiwo Tejo”
(Panggung gaduh terdengar teriakan para Demonstran menuntut keadilan atas penembakan petani di kampungnya, sementara Polisi tetap berusaha mengamankan massa dengan menembakan peluru karet dan gas air mata ke langit-langit panggung)
Polisi                  : (Berbicara di depan megaphone) Sama sekali tidak ada kaitannya dengan upaya membantu Hegemoni pertanian setempat atau Hegemoni seisi panggung ini. Kami hanya aparat yang tetap berusaha agar terlihat baik di mata masyarakat sekalian.
                            Terlepas dari perut kami yang sudah semakin buncit ini, kami sebenarnya ingin mengabdi kepada masyarakat. Kami ingin sigap dalam setiap permasalahan, maka dari itu jargon kami saat ini adalah quickrespond, hotline via number (0231) 40265*......

Demonstran      : Bulshiittt.... Bohoongg....!!!
Demonstran I    : iya benar! Bohong... nol besaarr!!! Retorikamu itu Hoacx Pak Polisi.
                            Buktinya beberapa waktu lalu, saat kosan saya berhasil dibobol oleh maling, saya datang langsung ke kantor polisi meminta agar kasus ini segera diproses. Tapi apa? 2 jam setelah kejadian Polisi buncit seperti kalian baru datang!
Demonstran II   : Sudahlah Pak, lebih baik Bapak ini mengaku saja. Bapak juga terlibat dalam sengketa lahan pertanian di desa kami itu kan?
Demonstran      : Iya Pak! Akui saja.... sebelum seragam Bapak kami lepas secara paksa.
Demonstran III  : bakar aja bakaaarr..........
Demonstran      : yaa bakar ajaa... bakar... bakaarr..... (Fade Out, Panggung Gelap)

(Di sebuah perkampungan, Bupati yang didampingi oleh Ajudannya tampak sedang memberikan sumbangan untuk korban angin puting beliung, dan terlihat sedang sibuk diwawancarai oleh sejumlah wartawan)
Bupati                 : Saya turut prihatin dengan kejadian ini. Maaf hanya bantuan ini yang bisa kami berikan untuk korban musibah ini.
Wartawan          : Maaf Pak Bupati, kira-kira ada pesan atau upaya preventif apalagi dari pemerintah setempat, agar kejadian ini tidak kembali menimpa masyarakat kita Pak?
Bupati                 : yaa.. Mungkin secepatnya warga sekitar harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Wartawan          : terus Pak? Kira-kira daerah mana yang dikatakan aman menurut bapak tadi?
Bupati                 : eeee.....eee...... Tempat yang bangunan dan contour tanahnya lebih tinggi, lebih rata, begitu.
Wartawan          : okee Pak... kira-kira bantuan berikutnya kira-kira kapan akan diberikan Pak?
Ajudan Bupati   : Maaf mas.. mbak... saya kira cukup wawancaranya, berikan jalan untuk Pak Bupati. Pak Bupati harus segera beranjak dari tempat ini, untuk menghadiri acara peresmian toilet baru di gedung DPRD.
(bupati dan ajudan bupati buru-buru meninggalkan kerumunan wartawan, meninggalkan panggung)
BLACK OUT
(di sudut panggung muncul seorang seniman yang sedang asik membaca sajak-sajak tentang kondisi gedung pertunjukannya yang tak kunjung selesai dibangun)
(di atas panggung, seniman itu tampak sedang duduk di atas batu taman dengan dedaunan kering di sekitarnya, sementara di sudut yg berbeda terlihat Seniman II sedang memandangi Mawar merah di tangannya)
Seniman I          : Budi baik kalangkabut mengejar asap kendaraan jalan raya, dharma manusia terlelap oleh janji penguasa, terperdaya... bumi seisinya merintih merindukan hangatnya ibu pertiwi... saudara-saudaraku mencari tempat bernyanyi, tetangga di sekitarku menangisi tempat berpuisi....
Seniman II         : Tidak bosankah kau melantunkan sajak-sajak yang tak pernah didengar oleh objek lantunan sajakmu? Bagaimana mungkin pemerintah mengerti bahasa langit dalam sajakmu? Memangnya pemerintah kita mempunyai jiwa seni? Mawar merah yang tumbuh liar di kebun ini-pun dibiarkan begitu saja. Padahal dengan mawar merah dan sedikit barisan sajakku tentang anggur atau rembulan, dapat meluluhkan hati setiap wanita.
Seniman I          : Jika kau anggap bahasa dalam setiap sajakku adalah bahasa langit, lalu kau anggap apa bahasa dalam sajak-sajakmu yg bertemakan anggur dan rembulan itu?
Seniman II         : Tentu saja ini bahasa bumi. Bahasa yang membumi. Bahasa yang seringkali digunakan oleh masyarakat jaman sekarang. Kau pasti jarang nonton televisi ya Tuan?
Seniman I          : Televisi? Hampir setiap bangun tidur, istirahat siang dan sebelum tidur, aku slalu menyimak berita-berita yang ditayangkan televisi. Memangnya kenapa? Justru karena berita-berita kejih dalam televisi itu yang semakin membuatku ingin terus membacakan sajak-sajakku ini.
Seniman II         : ooh... berarti stasiun televisi yang kita tonton berbeda. Jujur aku bosan menyimak berita Korupsi yg tak kunjung henti, para anggota DPR yg meminta fasilitas lebih, gosip kawin-cerai kalangan selebritis. Ah... lebih baik aku urus sendiri urusanku. Aku akan menikmati cinta. Kau pernah merasakan jatuh hati yang benar-benar jatuh? Maksudku, kau pernah jatuh cinta dengan seorang wanita yang selama ini kau impikan Tuan?

(tiba-tiba datang dua orang pengamen, bernyanyi di depan rumah seniman I)

Pengamen    : Kuyakin... Suatu hari nanti.... aku bernyanyi tak lagi di sini.... Kuyakin... suatu hari nanti... kita berdua... bernyanyi di sana....
Seniman I      : ini... (memberikan koin rupiah) semoga harapan dalam lagumu itu segera terkabul kawanku.
Pengamen    : Terimakasih Tuan.... (sambil berjalan pergi)
Seniman I      : Kau dengar lirik lagu dari pengamen tadi? Tidakkah kau tersentuh dengan lirik itu? Jujur aku pernah jatuh cinta, tapi tidak kemudian aku melupakan begitu saja tentang masalah-masalah di sekitarku ini.
Seniman II     : ah Tuan ini... Berhati-hatilah dengan idealisme’mu itu Tuan...
Seniman I      : hei apa maksud kamu?
Seniman II     : bukankah idealisme itu seringkali mengantarkan seseorang pada jurang naas? Kau ingat Wiji Thukul? Munir? Atau Sondang Hutagalung barangkali?
Seniman I      : ya tentu saja aku ingat! Justru mereka yg menularkan semangat kepadaku untuk tetap bersajak seperti ini. (Kembali membacakan sajak) “bocah bermandikan ingus menenggadahkan jemari, di perempatan mengharapkan kasih, perempuan uzur di trotoar kota wali, nasibmu bergantung pada koin recehan.....”
Seniman II     : ah sudahlah.... saat ini kita memang sedang beda jalan. Sepertinya jalan masing-masing lebih baik. Semoga kau mau membiarkanku tetap hanyut dalam perasaan cinta yang membara ini Tuan... (membaca sajak, berjalan ke luar panggung), “Kinanthi... Tiada yang dapat lari bersembunyi dari senyummu, kalaupun tiada purnama, malam pasti akan kembali indah, tatkala senyum kasihmu berkenan terus menyelimuti”.
Seniman I      : Hidup bukan untuk mengeluh.... hidup bukan untuk menyerah pada keadaan.... yakinlah akan datang suatu perubahan.... (Suara seniman I Fade out, panggung gelap)
(Rombongan demonstran dengan papan tuntutannya kembali masuk panggung, terdengar suara sirine polisi yang mengiringi, mengelilingi panggung, lalu berjalan ke luar panggung)
Demonstran  : Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat! Bantai...bantaaai... bantai koruptor... bantai koruptor sekarang juga...!!! (FADE OUT,  Panggung Gelap)
(di atas panggung, terlihat seorang Ajudan yang sedang panik menelpon Polisi dan Satpol PP, ia berdiri persis di depan pintu kantor Bupati)
Ajudan           : Pak Kapolres, Saya Ajudan Bupati... Tolong segera turunkan beberapa kompi polisi untuk berjaga-jaga di depan gerbang kantor Bupati. Ada rombongan demonstran yang sedang menuju ke sini. Jangan lupa, bawa Anjing pelacak juga. Kalau perlu tangkap korlap aksi demonstrasi ini!.
(terlihat gerombolan demonstran sedang berjalan menuju gerbang kantor bupati)
Demonstran  : di sini dalang, di sana dalang... dimana-mana dalang Koruptor.... di sini dalang, di sana dalang... dimana-mana dalang Koruptor.... bantai aja ayolah... bantai aja ayolah... bantai aja ayolah bantai aja.....
(belum sampai gerbang kantor bupati, beberapa polisi sudah membubarkan para demonstran dengan memberikan tembakan peringatan)
Daarrr....... daarrr..... Cepat segera bubarkan aksi ini!!!
BLACK OUT
(malam harinya, di sebuah poskamling, terlihat seorang Pak RT dan beberapa warga sedang ronda, sambil menikmati teh hangat dan cemilan, mereka membicarakan tentang berita pemberian bantuan dari bupati untuk korban puting beliung beberapa waktu lalu)
Pak RT           : waah... sepertinya cuaca malam hari ini cukup tenang ya bapak-bapak, meskipun sebenernya agak mendung juga sih.
Warga I          : yaah... semoga saja malam hari ini tidak ada angin puting beliung lagi ya Pak RT. Lhah wong.. Korban puting beliung yang kemaren aja belum keurus....
Pak RT           : Hhusstt... Kan mereka sudah mendapatkan bantuan dari Pak Bupati.
Warga I          : Bantuan dari Pak Bupati mah cuma cukup buat beli beras mereka aja Pak, sementara belum punya tempat tinggal. Mereka kan butuh pakaian, butuh beli peralatan rumah tangga yang lainnya juga.
Pak RT           : Ya sudah kita mikir positif saja, mungkin anggaran Pak Bupati yang bulan ini sudah dialokasikan untuk keperluan masyarakat yang lain Pak. Lagipula, masih untung Pak Bupati masih mau memberikan bantuan untuk korban puting beliung itu, iya kan?
Warga II         : eh eh Pak RT, denger-denger kan tahun ini Pak Bupati mau mencalonkan sebagai kandidat Walikota lhoh Pak. Apa mungkin keperluan yang bapak maksudkan tadi itu, untuk modal pencalonan ya Pak?
Warga I          : wah bener juga tuh Pak RT. Pantesan akhir-akhir ini Pak Bupati terlihat sibuk ya.
Warga II         : sok tau kamu! Kayak pernah lihat Bupati aja. Kamu kan Cuma tahu Pak Bupati dari gambar poster pas pemilihan Bupati sama gambar-gambar Bupati yang di Tivi-tivi. Iya kan???
Warga I          : hehee... iya juga siih...
Pak RT           : kalaupun benar, sekarang-sekarang ini Pak Bupati kita lagi sibuk ya wajar saja. Mungkin lagi sibuk ngurus persiapan kota ini yang akan menjadi Propinsi.
Warga I          : lhoh... memangnya masyarakat sudah pada sepakat bahwa kota ini akan menjadi Propinsi? Saya pribadi saja sebenarnya tidak sepakat kok Pak kota ini jadi propinsi.
Pak RT           : kenapa Bapak gak sepakat?
Warga II         : halaah... pake gak sepakat segala. Kalo saya mah sepakat-sepakat saja deh, lagian kalo saya gak sepakat juga gak bakal ada pengaruhnya. Toh, mereka pejabat-pejabat yang lagi sibuk ngurus pembentukan propinsi itu tidak mau mendengarkan pendapat saya.
Warga I          : Justru itu Pak! Seharusnya, bagaimanapun juga para pejabat itu harus dengar apa pendapat kita tentang rencana pembentukan propinsi ini.
Warga II         : memangnya bapak mau bernasib sama dengan ketua forum apa itu namanya aku lupa... yg nasibnya diancam sana-sini lewat sms, gara-gara beliau menolak pembentukan propinsi ini.
Warga I          : diancam lewat sms ya silahkan. Toh saya gak punya handphone ini.
Pak RT           : aahh sudah sudaah.... kita ini kok malah ngobrol ngalor-ngidul tentang propinsi di sini. Memangnya kalau kita di sini ngobrolin tentang menolak atau tidaknya kita dengan pembentukan propinsi itu, nantinya bakalan berpengaruh kepada kesejahteraan kita di sini apa? Sudahlah... masih mending kita mulai keliling ke rumah warga. Siapa tahu nanti kita ketemu tim sukses yg lagi melakukan BlackCampaign. Hehehee.... Bapak warga II jaga di Poskamling ya, biar saya dengan bapak warga I yang keliling ke rumah warga.
(ketiga orang tersebut akhirnya membagi tugas, 1 orang berjaga di poskamling sementara 2 orang lagi keliling rumah warga (keluar panggung))
(masuklah seorang wanita tua berpakaian pengemis yang terlihat kelelahan, mendekati Bapak warga II yang sedang berjaga di poskamling)
Pengemis      : Pak, boleh saya numpang beristirahat sebentar di pos ini? (sambil mengusap keringat di kepala dengan menggunakan kerudungnya)
Warga II         : Ya silahkan Mbok... Si Mbok ini yang biasa duduk di pertigaan Jl.Pemuda itu ya??? Yang seringnya kalau malem tidur di bawah papan reklame itu kan mbok?
Pengemis      : iya Pak, kok bapak tau sih?
Warga II         : Iya soalnya kebetulan kalau persedian kopi di sini habis, saya biasanya membeli kopi di warung dekat pertigaan itu Mbok. Mari Mbok silahkan duduk, ini ada teh manis, ada kacang juga silahkan dimakan mbok....
Pengemis      : Iya trimakasih sekali Pak, saya hanya lelah berpikir kok Pak. Butuh refreshing pikiran sejenak.
Warga II         : maksudnya sekarang si mbok ini sedang pusing? Memangnya si mbok ini pusing mikiran apa sih mbok?
Pengemis      : Bapak ini loh pertanyaannya. Pusing itu ya pasti karena mikirin masalah lah Pak... Paak...! sedangkan orang kaya saya ini ya pasti punya segudang masalah.
Warga II         : iya tapiiii... masalahnya itu apa toh mbok? Seolah-olah si mbok ini baru selesai rapat di ruang rapat paripurna, di gedung anggota dewan sana saja. Lah anggota dewannya saja kalo lagi rapat itu malah pada ngorok kok mbok....
Pengemis      : itulah Pak yang membedakan saya dengan anggota Dewan. Kalo saya, biasanya tidur sambil rapat, sedangkan anggota dewan ya rapat sambil tidur. Hihihii..... kacangnya sambil tak sambi ya Pak.
Warga II         : Maksudnya gimana itu mbok?
Pengemis      : lha iyaa, di waktu tidur, saya dengan teman-teman seperjuangan ngemis biasanya merapatkan cara apa saja yang kira-kira bisa digunakan untuk melanjutkan perjuangan mengemis di esok harinya. Termasuk inovasi-inovasi apa saja yang akan kita gunakan agar harga diri kepengemisan kita minimal tidak jauh lebih bobrok dibanding para menteri yang pada ngemis minta bertukar jabatan itu, atau mahasiswa-mahasiswa yang pada ngemis-ngemis minta nilai sama dosennya itu loh Pak. Hihihii.... Sudahlah pak, saya ini kan mampir ke sini mau refreshing, lhoh kok malah ngobrolin tentang dunia kepengemisan lagi. Bagaimana kalo kita nyanyi-nyanyi saja Pak?
Warga II         : Wah itu ide yang bagus mbok... tapi di sini gak ada tape atau radio mbok....
Pengemis      : tenang saja Pak. Sebentar, saya telpon teman saya yang biasa mengamen di perempatan kota sana dulu ya pak.
Warga II         : hah??? (terheran-heran)
Pengemis      : (Menelpon) haloo... kamu lagi dimana? Bisa ke sini ga? Ke poskamling Gang Saputra? Malam ini kita nyanyi-nyanyi di sini, ada teh manis sama kacang nih di sini. Cepet ke sini ya....
Warga II         : Si mbok tadi menelpon sapa sih mbok?
Pengemis      : anu Pak, duo pengamen yang sering lewat ke sini itu loh pak. Mereka biasa beroperasi di perempatan kota. Yang pake gitar itu loh pak, ngamennya.
Warga II         : ooh.. jadi, mereka-pun sekarang sudah punya HP?
Pengemis      : lhoh iya Pak, kalo kita gak punya HP, nanti susah buat berkomunikasi dalam mengantisipasi adanya razia mendadak dari Satpol PP. Dengan HP ini kan saya bisa tau status-status Facebooknya Satpol PP malam hari ini lagi pada ngapain dan lagi pada dimana. Hihihihii....
Warga II         : berarti memang rata-rata pengemis, pengamen dan gelandangan di pinggir jalan sana sudah mempunyai HP ya mbok?
Pengemis      : ya gak juga Pak, ada juga pengemis atau pengamen yang tetap konsistent dengan idealismenya mereka sebagai masyarakat miskin, yang notabene gaya hidupnya pun harus sesuai dengan pakaian yg mereka kenakan Pak. Begitu...
Warga II         : Wah... berarti si Mbok ini tergolong pengemis yang prinsiple ya mbok?
Pengemis      : Pastinya dong Pak! Prinsip saya kan, jangan sampe benar-benar keliatan seperti orang susah. Lhah wong hidup saya udah susah kok, masa iya gaya hidup saya juga ikut-ikutan susah, yaa.. minimal gaya hidup saya ini gak kaya orang susah gitu loh Pak. Sebentar Pak, saya mau bales sms dulu....
Warga II         : oh iya silahkan Mbok... (beranjak dari duduk, bangun dan melongok suara orang yang datang) Kaya ada yang datang... Oooh... mungkin mereka ini pengamen yang dimaksud sama si Mbok.
Pengamen    : SALAM GELANDANGAN.... (Memperagakan gerakan yel yel khas mereka, pengemis mengikuti gerakan pengamen). Maaf mbok, kami rada telat. Soalnya di pasar kueh Plered macet, ada bongkar-muat kueh mbok.
Warga II         : ........................hah???.......... (Bengong, melongo, terheran-heran)
Pengemis      : aah... gak apa-apa, lagian itu kan memang sudah biasa. Jalanan di daerah Plered ya memang seperti itu. Macet kok konsistent! Huh... Sudahlah... ayo ayo sini duduk merapat, kita nyanyi-nyanyi di sini, itung-itung kalian latihan mempersiapkan lagu-lagu apa saja yang akan dinyanyikan untuk persiapan mengamen besok. Iya kan?
Pengamen I  : wah... poskamling ini lumayan nyaman juga ya mbok untuk sekedar merelaksasikan pikiran dari penatnya kemiskinan.
Pengamen II : Iya benar! Minimal kita bisa sejenak melepaskan diri dari jerat kemiskinan, dan HEGEMONI MATERI ORIENTED.
Warga II         : apa itu HEGEMONI MATERI ORIENTED? Bahasa kalian ini kok aneh-aneh, kayak mahasiswa saja!
Pengamen II : hahahaa....... belum tentu juga Mahasiswa jaman sekarang menggunakan bahasa-bahasa seperti ini Pak. Lah wong saya nemu kata-kata itu dari lirik lagu PUNK kok Pak. Tapi aku lupa judul lagunya apa. He he hee....
Pengamen I  : Ooh pantes! Dari tadi saya mikir, kok perasaan istilah itu kayak yang ada di lirik laguu.. tapi lagu yang judulnya apa ya... eh memang HEGEMONI MATERI ORIENTED itu artinya apa sih?
Pengamen II : Itu kan sebenarnya kata-kata di lirik aslinya gak kayak gitu, Cuma ya... sayanya aja yang iseng-iseng tak rubah pake istilah-istilah gitu. Intinya kan HEGEMONI itu Penguasaan secara Mutlak, sedangkan MATERI ORIENTED itu ya maksudnya Ideologi atau gaya berpikir yang selalu berorientasi kepada materi, materi dan materi saja. Begitu! He he hee....
Pengemis      : hhooaaaahhh....hhhmmm.... (bangun dari tidurnya). Sudah selesai para anggota dewan, sidang terbukanya? Kalian ini tak pikir-pikir sebenarnya cerdas-cerdas ya, tapi kok para pejabat pemerintahan kita kenapa gak pernah tau ya, kalau kalian ini cerdas.
Pengamen I  : dimana...dimanaa....dimanaaaa??? Kuharus bernyanyi dimanaaa?
Semua           : hahhaha..... (terbahak mendengar pengamen I menyanyikan lagu itu)
Pengemis      : Tempat kira bernyanyi ya di sini ini, kalo gak ya di jalanan atau di Bis angkutan kota. Gimana sih kamu??? Coba lanjutin nyanyinya, kayaknya enak juga nih lagu buat joget.
Pengamen I  : Kesana kemari mengharap recehan, namun yang kutemui Cuma senyuman, Na’aaass..... Mungkin diriku, sudah nasibnya.
Semua           : hahhahaa..... (kembali terbahak)
(Malam semakin larut, udara dingin dan angin malam tidak membuat mereka berhenti bernyanyi dan joget-joget bersama, sampai mereka benar-benar lelah dan mengantuk, kemudian tertidur, dan terbangun saat subuh tiba, pengamen dan pengemis langsung beraktivitas ke perempatan kota, sedangkan warga II sudah terlebih dahulu pulang, dibangunkan oleh Pak RT dan warga I).
LIGHTING FADE OUT

(di Kantor Bupati, Bupati sedang mondar-mandir di depan meja kerjanya)
Bupati            : Bagaimanapun juga tata letak kota ini harus segera dibenahi. Bagaimanapun juga, harus semakin banyak investor yang mau berinvestasi di kota ini. Bagaimanapun juga, kota ini harus mampu mendatangkan pengunjung dari berbagai kota, dari berbagai negara. Hhmm.... tapi bagaimana caranya yaa..... (Mengangkat telpon, memanggil Ajudan). “Bisa ke ruangan saya sekarang? Ya, penting!”. Hhmmm.... Ada pelabuhan, ada bandara, masa sih kota ini tidak bisa mendatangkan wisatawan. Wisatawan itu kan bisa jadi devisa, bisa jadi investor juga. Mmmm.....
Ajudan           : Selamat siang Pak, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya dahi bapak ini sudah terlebih dahulu berbicara pada saya. Kalau boleh saya tau, sedang bingung kenapa Pak? Masalah toilet baru sudah beres kok Pak, sudah bisa digunakan.
Bupati            : Bukan tentang toilet! Ini tentang penghasilan negara, penghasilan daerah, penghasilan saya juga tentunya. Hehehee....
Ajudan           : Maksud bapak?
Bupati            : Saya mau minta pendapatmu Ajudanku yang cerdas. Sejak pagi tadi saya memikirkan bagaimana caranya agar kota kita ini semakin banyak mendatangkan pengunjung, wisatawan, investor dan sebagainya.
Ajudan           : Oooh... gampang itu Pak Bupatiku yang terhormat. Tinggal kita perbanyak tempat hiburan semacam Pub, Diskotik, tempat karaoke atau tempat-tempat pusat perbelanjaan saja Pak. Gimana?
Bupati            : Cerdas!!! Brilian sekali usulanmu. Tapi... Ajudan! yang menjadi masalah, banyak pengunjung dan wisatawan yang mengeluh, karena merasa terganggu kenyamanannya gara-gara di sepanjang jalan dan tempat-tempat ramai banyak pengamen, banyak pengemis, banyak gelandangan! Ah...
Ajudan           : Itu soal sepeleh Pak Bupati! Bagaimana kalo suatu hari nanti, kita perintahkan SATPOL PP untuk mengadakan razia mendadak membersihkan kota ini dari gelandangan-gelandangan itu?
Bupati            : Maksud kamu mendadak? Kalau salah satu diantara mereka ada yang tau ada razia, mereka kan saling mengabarkan lewat HP satu sama-lainnya.
Ajudan           : justru itu Pak! Jangan sampai mereka sempat mengabarkan satu sama lain. Kita adakan razia pada saat mereka sedang istirahat, saat mereka sedang terlelap. Hahahaa.....
Bupati            : ha hahaha hahaa..... Luas biasa sekali Idemu Ajudanku! Tidak sia-sia saya menggajimu dengan gaji yang cukup besar. Baik, kalau begitu. Sekarang coba kamu hubungi Satpol PP, suruh pimpinan mereka menghadap saya besok pagi di ruangan saya.
Ajudan           : Ooh... tentu Pak! Siap laksanakan! Kalau begitu, saya pamit ya pak. Balik kanan grak.... langkah tegak majuu goyang! (menirukan gaya berjalan pasukan baris berbaris).
BLACK OUT

(dari sudut panggung, di siang itu juga terlihat dua pengamen yang baru saja turun dari Bis kota, mereka sedang mencari tempat berteduh untuk menghitung uang hasil mengamennya)

Pengamen I  : Sudahlah... kita hitung di trotoar sana aja yuuk...
Pengamen II : iya ayook.... aku juga udah laper banget nih, pengen buru-buru sarapan!
Pengamen I  : eh eh ntar dulu... di daerah sini kan rawan Satpol PP. Kita cari tempat yang rada jauh dari jalan aja lah....
Pengamen II : yaa sudah ayo kita ke bawah pohon itu aja! (duduk dan mulai menghitung uang hasil mengamen). Aku pikir, kerjaan kita ini halal kok ya... Modal kita, kreativitas dalam bernyanyi sambil memainkan gitar butut ini. Tapi kok ya, kita ini seolah-olah kaya koruptor saja, setiap kali mau ngitung duit, harus ngumpet-ngumpet nyari tempat aman.
Pengamen I  : Wah... duit yang aku hitung ada 7.300 rupiah. Duit yang kamu hitung ada berapa?
Pengamen II : sebentaarr... adaa.... 11.150 rupiah. Mmm... brarti semuanya dapet 18.450 rupiah. Lumayaaan... bisa buat sarapan dan persedian makan malam nanti.
Pengamen I  : iya benar! Ayo kita cari warung rames di sekitaran sini.
BLACK OUT

(panggung kembali gaduh dengan suara teriakan para demonstran yang menolak penjatuhan hukuman terhadap AAL, pelaku pencurian sandal, mereka tampak sedang berjalan (Longmarch))

Demonstran  : Bebaskan AAL!! Bebaskan AAL!! AAL tidak bersalah.... Koruptorlah yang bersalaaah... adili Nunun..... Usut tuntas Kasus BLBI..... AAL tidak bersalah..... bebaskan AAL......
(adegan Demonstran mondar-mandir, sesekali bernyanyi)
Demonstran  : di sini dalang, di sana dalang... dimana-mana dalang Koruptor.... di sini dalang, di sana dalang... dimana-mana dalang Koruptor.... bantai aja ayolah... bantai aja ayolah... bantai aja ayolah bantai aja.....
FADE OUT
(malam harinya, Pengemis, Pengamen dan gelandangan lainnya tampak sedang beristirahat duduk dan tiduran di bawah tiang papan reklame perempatan jalan, seperti biasa sebelum tidur, mereka membicarakan rencana-rencan untuk esok hari)
Pengamen II : Kalau dipikir-pikir, lama-lama bukan hanya kemiskinan loh yang menghegemoni kita. Tapi, kebijakan pemerintah-pun semakin menghegemoni kebebasan kita. Lama-lama kita ditelikung. Besok, di tempat mana lagi kita bisa ngamen dengan bebas? Di perumahan-perumahan kan kita hanya diperbolehkan mengamen pada hari jum’at tok....
Pengemis      : Sudah sudaah... tidak usah memikirkan yang macam-macam. Yang paling penting sekarang, jangan sampai kita melanggar kode etik gelandangan, bahwasanya selaku gelandangan kita tidak boleh patah arang mencari nafkah di jalanan. Karena di tempat lain kita belum tentu di terima. Maka dari itu.... SALAM GELANDANGAN!!! (diikuti oleh pengamen2 dengan memperagakan gerakan dan meneriakan yel-yel Salam gelandangan).
Pengamen I  : iya! Bener banget itu mbok... eh mbok, tapi kadang-kadang aku suka bingung loh mbok sama pemerintah kita itu. Di sana-sini banyak warga dan mahasiswa yang protes, pada demo, tapi kok ya tetep aja gak ada pengaruhnya ya mbok. Apa jangan-jangan kita juga harus ikut demo sama mereka, agar pemerintah tau sebenarnya kita-pun punya keluhan yang sama, tidak hanya mahasiswa saja!
Pengamen II : halaahhh... Demo Demo... mau ngapain? Percuma! Cara menyampaikan pendapat itu kan bukan hanya dengan cara demonstrasi. Iya kan mbok? Kita ini kan pengamen yang budiman, pengamen yang kreatif, kritis, yang idealis, jadi seharusnya kalau banyak orang yang mau mendengar lagu-lagu ciptaan kita, termasuk pemerintah, pasti akan mempengaruhi kebijakan pemerintah kok.
Pengamen I  : nah itu dia masalahnya! Memangnya pemerintah itu tau kalo lagu-lagu yang kita ciptakan dan kita bawakan setiap kali kita ngamen ini tujuannya untuk mengkritik pemerintah?
Pengemis      : yaah.... berdoa saja, agar suatu hari nanti kita diberikan ruang untuk kita berekspresi, untuk membawakan lagu-lagu, suara atau pendapat kita tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Agar suara kita itu dapat dihargai oleh semua orang, agar didengar oleh pemerintah. Kalau pertanyaan, “Kapan suara kita akan berpengaruh bagi kebijakan pemerintah?”, itu kan kita semua gak ada yang tau. Semoga saja dalam waktu dekat!
(lelah, dan rasa kantuk yang memberhentikan obrolan mereka)

LIGHTING FADE OUT

(di waktu dini hari, tiba-tiba seisi panggung bising oleh suara sirine, dan teriakan-teriakan Satpol PP membangunkan dan mengangkut gelandangan-gelandangan. Suasana panggung tampak sepi, hanya tersisa tumpukan-tumpukan kain, dan tas kecil yang biasa digunakan oleh pengamen dan pengemis)

 ~ Selesai ~
(Cirebon,  Januari 2012)
Share:

2 komentar:

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers