"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Senin, 28 Mei 2012

Menulis : Merekam Sejarah


Menulis Hasrat atau Berhasrat Menulis![1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

“Harus ada keresahan dulu sebelum pentas atau sebelum berkarya, termasuk menulis, kalau tidak resah ya harus dicari keresahan itu. Kalau merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau kepekaan kita”

Kisah Usro & Unyil Mencari Masalah
Senja perlahan mendekat, burung serta unggas berkejaran kembali ke peraduan. Usro, salah seorang mahasiswa Sastra Indonesia tingkat III di sebuah kampus ternama di kotanya, melaju bak peluru dengan kuda besinya menuju kosan Unyil, teman satu jurusan sekaligus teman satu angkatannya. Seperti bintang iklan - salah satu produk motor, ia pacu kuda besi, kesetanan. Hanya dengan waktu 5 menit ia mampu taklukan jarak 2 Km menuju kosan Unyil.
Denyut jantungnya bising tak teratur. Setibanya di depan pintu kosan Unyil, Usro mendapati pintu kosan Unyil tertutup rapat, di daun pintu kosan tampak sebuah gembok tergantung, bersebelahan dengan sobekan kertas yang bertuliskan “Aku lagi keluar, ada kegiatan di UKM” . Dengan raut wajah kecewa, dalam hati ia mulai menerka-nerka keberadaan Unyil, “Ah, sial..Unyil gak ada di kosan? Pasti dia lagi nongkrong di sekre nih..”. Tanpa pikir panjang, Usro langsung meng-geber kuda besinya menuju sekretariat UKM tempat biasa Unyil menghabiskan sebagian waktunya. Ternyata benar, persis seperti dugaan Usro, sore itu Unyil sedang asik berdiskusi dengan teman-teman UKM-nya di dalam sekre.
Kali ini rupanya Dewi Fortuna berpihak pada Usro, saat ia hendak mendekati pintu sekre UKM, bertepatan dengan moderator yang sedang menutup forum diskusi. Ia pun tak jadi mengetuk pintu untuk memanggil Unyil. Usro duduk sejenak di kursi panjang dekat pintu UKM sambil mengetik sms di ponsel’nya untuk Unyil, “aku skrg ada di depan sekre UKM km, keluar doong! aku mau nanya2 ttg tugas yg buat besok”, begitu kira-kira sms yang ia kirim untuk Unyil. Mengetahui dirinya sedang ditunggu, Unyil langsung menuju keluar ruangan, kemudian langsung menghampiri Usro dan duduk tepat di sebelah kiri Usro. “ehhm... kamu mau nanya tugas yang mana? Tugas apa?”, tanya Unyil. Seolah tanpa jedah, Usro langsung menyambar pertanyaan Unyil, “itu katanya mata kuliah Kajian Drama ada tugas makalah tentang Dinamika Teater Kampus ya? Aku bingung nih... gak ngerti masalah teater. Hahaha... ntar perumusan masalahnya apa coba, lhah wong tau perkembangan teater aja aku enggak!”. Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan dan mereka jawab, hanya untuk mencari tahu sebenarnya ada masalah apa saja dalam dunia teater.

Nah, saat akan mengerjakan tugas makalah, ujung-ujungnya pada nyari masalah kan? Iya memang, karena mau tidak mau butuh inventarisir masalah terlebih dahulu, sebelum merumuskan permasalahan dalam sebuah makalah. Saat Usro belum paham tentang perkembangan teater, ia bilang tidak ada masalah dalam dunia teater. Setelah ia diskusikan lebih lanjut dengan Unyil, niscaya pasti banyak masalah yang dapat ia kaji dan ia rumuskan menjadi makalah. “Masalah” itu-lah yang saya maksud dengan keresahan.
Semua manusia pasti punya masalah, pasti punya keluhan, pasti punya keresahan. Masalah atau keresahan itulah yang menjadi landasan kita (pegiat seni) untuk melangkah, menjadi motivasi kita untuk melakukan, menciptakan atau menghadirkan sesuatu. Ketika kita tidak merasakan keresahan, atau tidak mengetahui sama sekali dengan “adanya masalah”, kemungkinan besar kita akan disorientasi kemudian bingung akan melakukan apa.
Memang! Harus ada keresahan dulu sebelum pentas, sebelum berkarya, termasuk sebelum menulis, kalau merasa tidak resah, ya berarti harus dicari keresahannya itu. Kalau benar-benar merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau kepekaan kita, ada throublle dengan sisi afeksi dan kognisi kita sebagai manusia. Kalau memang merasa benar-benar tidak ada keresahan yang ingin dituliskan, berarti tuliskan saja kenapa ketidakadaan keresahan yang ingin dituliskan itu. Deskripsikan kenapa tidak ada yang ingin dituliskan, atau jangan-jangan memang karena selama ini kita tidak ada hasrat untuk coba mengawali menulis?!
Mahasiswa menulis itu sudah biasa sebenarnya, di ruang kuliah kita menulis, saat ada tugas kita menulis, hanya saja masalahnya adalah pada waktu itu saja kita menulis. Ketika tidak ikut kuliah, kita tidak menulis. Ketika tidak ada tugas, kita tidak menulis. Padahal kita punya banyak waktu di luar aktivitas di perkuliahan. Betapa berharganya waktu bagi para jurnalis atau wartawan surat kabar harian. Betapa berharganya waktu seper-sekian detik bagi wartawan media online – terutama situs portal berita seperti detik.com, kompas.com, tribunnews.com dan sebagainya. Pertanyaannya adalah sudahkah kita mengalokasikan waktu luang kita untuk menulis?
Ke-7 poin di bawah adalah metode refleksi yang bisa diterapkan, agar (semoga) membuat kita ingat berapa waktu yang selama ini sudah kita alokasikan untuk merekam kejadian, mengukir sejarah atau menulis hal-hal yang menarik menurut kita.
1)    Untuk menghargai nilai satu tahun tanyakan kepada murid yang tidak naik kelas!
2)    Untuk menghargai nilai satu bulan, tanyakan kepada seorang ibu yang melahirkan seorang bayi premature!
3)    Untuk menilai satu minggu tanyakan kepada seorang editor dari sebuah surat kabar mingguan!
4)    Untuk menilai satu jam tanyakan kepada seorang pecinta yang sedang menunggu untuk bertemu sang kekasih!
5)    Untuk menghargai nilai satu menit tanyakan kepada seorang yang ketinggalan kereta!
6)    Untuk menghargai nilai satu detik tanyakan kepada seorang yang baru saja terhindar dari sebuah kecelakaan!
7)    Untuk menilai satu mili detik tanyakan kepada seseorang yang memenangkan medali perak olimpiade!
Masalah waktu yang mulur, Waktu Indonesia Berubah (WIB) bukan menjadi masalah sebagian orang saja, dimana-mana pasti seringkali dihadapkan pada permasalahan waktu ngaret. Benar sekali, bagaimana kalau sambil menunggu rapat mulai (karena ngaret), waktu yang ada kita alokasikan untuk menulis? Bagaimana kalau sambil menunggu kuliah mulai (karena ngaret), atau menunggu dosen datang, waktu yang ada kita alokasikan untuk menulis?
Menulis adalah media bercerita. Makanya, hal penting yang harus diingat saat menulis adalah bagaimana caranya agar tulisan itu mudah dibaca, mudah dipahami oleh orang lain, atau paling minimal mudah dipahami oleh penulis sendiri ketika dibaca ulang di lain waktu, sedangkan parameter maksimalnya adalah bagaimana caranya selain tulisan kita mudah dibaca, mudah dipahami, juga menjadi bermanfaat untuk pembaca, bermanfaat untuk masyarakat. Syukur-syukur tulisan kita bermanfaat (Baca; menginspirasi) bagi masyarakat lingkup negara-negara di Dunia.
Kenapa paling minimal bagaimana caranya agar tulisan itu mudah dipahami oleh penulisnya sendiri ketika dibaca ulang di lain waktu? Karena kemungkinan besar efek yang ada ketika kita membaca ulang tulisan kita adalah cengar-cengir, kagum, heran, bingung dan sebagainya. Nah, hal itu bisa kita jadikan proses evaluasi kita dalam menulis. Andaikata dulu waktu SD, SMP atau SMA kita sudah pernah membiasakan diri untuk menulis di buku diary, kemudian saat itu kita menulisnya dalam bentuk puisi misalnya, maka bisa jadi, sekarang diary itu bisa kita terbitkan menjadi antologi puisi, atau misalnya saat itu kita menulis diary dengan cara “menulis ulang aktivitas yang kita lakukan”, maka bisa jadi, sekarang diary tersebut bisa kita terbitkan menjadi cerpen atau novel. Toh, jaman sekarang sudah banyak penerbit-penerbit independent yang siap memfasilitasi karya-karya kita.
Mohon maaf, cuma bisa berbagi tentang bagaimana agar kita punya hasrat untuk menulis kemudian membiasakan diri untuk menulis. Karena teknik menulis karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, naskah, essai, makalah, paper dan sebagainya saya pikir teman-teman sudah pernah mendapatkannya dari pelajaran di sekolah, di mata kuliah atau dari komunitas lain. Hanya saja, (mungkin) teman-teman sedang tidak ingat. Semoga muncul keinginan untuk Menulis! [  ]

= M A T U R  K E S U W U N =



[1] Sebagai bahan ngobrol santai di Forum Teater Cirebon (FTC), Universitas Muhamaddiyah Cirebon, Selasa, 29 Mei 2012.
[2] Biasa dipanggil Tino, mantan mahasiswa yang “kebetulan” tertarik dalam bidang tulis-menulis.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers