Menulis Hasrat atau Berhasrat Menulis![1]
Oleh : Achmad Saptono[2]
“Harus ada keresahan dulu sebelum pentas atau sebelum
berkarya, termasuk menulis, kalau tidak resah ya harus dicari keresahan itu.
Kalau merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau
kepekaan kita”
Kisah Usro & Unyil Mencari Masalah
Senja perlahan
mendekat, burung serta unggas berkejaran kembali ke peraduan. Usro, salah
seorang mahasiswa Sastra Indonesia tingkat III di sebuah kampus ternama di
kotanya, melaju bak peluru dengan kuda besinya menuju kosan Unyil, teman satu
jurusan sekaligus teman satu angkatannya. Seperti bintang iklan - salah satu
produk motor, ia pacu kuda besi, kesetanan. Hanya dengan waktu 5 menit ia mampu
taklukan jarak 2 Km menuju kosan Unyil.
Denyut jantungnya
bising tak teratur. Setibanya di depan pintu kosan Unyil, Usro mendapati pintu
kosan Unyil tertutup rapat, di daun pintu kosan tampak sebuah gembok tergantung,
bersebelahan dengan sobekan kertas yang bertuliskan “Aku lagi keluar, ada kegiatan di UKM” . Dengan raut wajah kecewa,
dalam hati ia mulai menerka-nerka keberadaan Unyil, “Ah, sial..Unyil gak ada di kosan? Pasti dia lagi nongkrong di sekre
nih..”. Tanpa pikir panjang, Usro langsung meng-geber kuda besinya menuju sekretariat UKM tempat biasa Unyil
menghabiskan sebagian waktunya. Ternyata benar, persis seperti dugaan Usro, sore
itu Unyil sedang asik berdiskusi dengan teman-teman UKM-nya di dalam sekre.
Kali ini rupanya Dewi Fortuna berpihak pada Usro, saat ia hendak mendekati
pintu sekre UKM, bertepatan dengan moderator yang sedang menutup forum diskusi.
Ia pun tak jadi mengetuk pintu untuk memanggil Unyil. Usro duduk sejenak di
kursi panjang dekat pintu UKM sambil mengetik sms di ponsel’nya untuk Unyil, “aku skrg ada di depan sekre UKM km, keluar
doong! aku mau nanya2 ttg tugas yg buat besok”, begitu kira-kira sms yang
ia kirim untuk Unyil. Mengetahui dirinya sedang ditunggu, Unyil langsung menuju
keluar ruangan, kemudian langsung menghampiri Usro dan duduk tepat di sebelah
kiri Usro. “ehhm... kamu mau nanya tugas
yang mana? Tugas apa?”, tanya Unyil. Seolah tanpa jedah, Usro langsung
menyambar pertanyaan Unyil, “itu katanya mata
kuliah Kajian Drama ada tugas makalah tentang Dinamika Teater Kampus ya? Aku
bingung nih... gak ngerti masalah teater. Hahaha... ntar perumusan masalahnya
apa coba, lhah wong tau perkembangan teater aja aku enggak!”. Pertanyaan
demi pertanyaan mereka lontarkan dan mereka jawab, hanya untuk mencari tahu
sebenarnya ada masalah apa saja dalam dunia teater.
Nah, saat akan mengerjakan tugas makalah, ujung-ujungnya
pada nyari masalah kan? Iya memang, karena mau tidak mau butuh inventarisir masalah terlebih dahulu,
sebelum merumuskan permasalahan dalam sebuah makalah. Saat Usro belum paham
tentang perkembangan teater, ia bilang tidak ada masalah dalam dunia teater.
Setelah ia diskusikan lebih lanjut dengan Unyil, niscaya pasti banyak masalah
yang dapat ia kaji dan ia rumuskan menjadi makalah. “Masalah” itu-lah yang saya
maksud dengan keresahan.
Semua manusia
pasti punya masalah, pasti punya keluhan, pasti punya keresahan. Masalah atau
keresahan itulah yang menjadi landasan kita (pegiat seni) untuk melangkah,
menjadi motivasi kita untuk melakukan, menciptakan atau menghadirkan sesuatu.
Ketika kita tidak merasakan keresahan, atau tidak mengetahui sama sekali dengan
“adanya masalah”, kemungkinan besar kita akan disorientasi kemudian bingung akan melakukan apa.
Memang! Harus
ada keresahan dulu sebelum pentas, sebelum berkarya, termasuk sebelum menulis,
kalau merasa tidak resah, ya berarti harus dicari keresahannya itu. Kalau benar-benar
merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau kepekaan kita,
ada throublle dengan sisi afeksi dan
kognisi kita sebagai manusia. Kalau memang merasa benar-benar tidak ada keresahan
yang ingin dituliskan, berarti tuliskan saja kenapa ketidakadaan keresahan yang
ingin dituliskan itu. Deskripsikan kenapa tidak ada yang ingin dituliskan, atau
jangan-jangan memang karena selama ini kita tidak ada hasrat untuk coba
mengawali menulis?!
Mahasiswa
menulis itu sudah biasa sebenarnya, di ruang kuliah kita menulis, saat ada
tugas kita menulis, hanya saja masalahnya adalah pada waktu itu saja kita
menulis. Ketika tidak ikut kuliah, kita tidak menulis. Ketika tidak ada tugas,
kita tidak menulis. Padahal kita punya banyak waktu di luar aktivitas di
perkuliahan. Betapa berharganya waktu bagi para jurnalis atau wartawan surat
kabar harian. Betapa berharganya waktu seper-sekian detik bagi wartawan media
online – terutama situs portal berita seperti detik.com, kompas.com, tribunnews.com dan sebagainya. Pertanyaannya
adalah sudahkah kita mengalokasikan waktu luang kita untuk menulis?
Ke-7 poin di
bawah adalah metode refleksi yang bisa diterapkan, agar (semoga) membuat kita
ingat berapa waktu yang selama ini sudah kita alokasikan untuk merekam
kejadian, mengukir sejarah atau menulis hal-hal yang menarik menurut kita.
1) Untuk
menghargai nilai satu tahun tanyakan kepada murid yang tidak naik kelas!
2) Untuk
menghargai nilai satu bulan, tanyakan kepada seorang ibu yang melahirkan
seorang bayi premature!
3) Untuk menilai
satu minggu tanyakan kepada seorang editor dari sebuah surat kabar mingguan!
4) Untuk menilai
satu jam tanyakan kepada seorang pecinta yang sedang menunggu untuk bertemu
sang kekasih!
5) Untuk
menghargai nilai satu menit tanyakan kepada seorang yang ketinggalan kereta!
6) Untuk
menghargai nilai satu detik tanyakan kepada seorang yang baru saja terhindar
dari sebuah kecelakaan!
7) Untuk menilai
satu mili detik tanyakan kepada seseorang yang memenangkan medali perak
olimpiade!
Masalah waktu
yang mulur, Waktu Indonesia Berubah
(WIB) bukan menjadi masalah sebagian orang saja, dimana-mana pasti seringkali
dihadapkan pada permasalahan waktu ngaret.
Benar sekali, bagaimana kalau sambil menunggu rapat mulai (karena ngaret), waktu yang ada kita alokasikan
untuk menulis? Bagaimana kalau sambil menunggu kuliah mulai (karena ngaret), atau menunggu dosen datang,
waktu yang ada kita alokasikan untuk menulis?
Menulis adalah
media bercerita. Makanya, hal penting yang harus diingat saat menulis adalah
bagaimana caranya agar tulisan itu mudah dibaca, mudah dipahami oleh orang
lain, atau paling minimal mudah dipahami oleh penulis sendiri ketika dibaca
ulang di lain waktu, sedangkan parameter maksimalnya adalah bagaimana caranya
selain tulisan kita mudah dibaca, mudah dipahami, juga menjadi bermanfaat untuk
pembaca, bermanfaat untuk masyarakat. Syukur-syukur tulisan kita bermanfaat
(Baca; menginspirasi) bagi masyarakat lingkup negara-negara di Dunia.
Kenapa paling
minimal bagaimana caranya agar tulisan itu mudah dipahami oleh penulisnya sendiri
ketika dibaca ulang di lain waktu? Karena kemungkinan besar efek yang ada ketika
kita membaca ulang tulisan kita adalah cengar-cengir, kagum, heran, bingung dan
sebagainya. Nah, hal itu bisa kita
jadikan proses evaluasi kita dalam menulis. Andaikata dulu waktu SD, SMP atau
SMA kita sudah pernah membiasakan diri untuk menulis di buku diary, kemudian saat itu kita menulisnya
dalam bentuk puisi misalnya, maka bisa jadi, sekarang diary itu bisa kita terbitkan menjadi antologi puisi, atau misalnya
saat itu kita menulis diary dengan
cara “menulis ulang aktivitas yang kita lakukan”, maka bisa jadi, sekarang
diary tersebut bisa kita terbitkan menjadi cerpen atau novel. Toh, jaman sekarang sudah banyak
penerbit-penerbit independent yang
siap memfasilitasi karya-karya kita.
Mohon maaf, cuma
bisa berbagi tentang bagaimana agar kita punya hasrat untuk menulis kemudian
membiasakan diri untuk menulis. Karena teknik menulis karya sastra seperti
puisi, cerpen, novel, naskah, essai, makalah, paper dan sebagainya saya pikir
teman-teman sudah pernah mendapatkannya dari pelajaran di sekolah, di mata
kuliah atau dari komunitas lain. Hanya saja, (mungkin) teman-teman sedang tidak
ingat. Semoga muncul keinginan untuk Menulis!
[ ]
= M A T U R K E
S U W U N =
0 comments:
Posting Komentar