"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 02 Juni 2012

SEBELAH MATA


PELACUR INTELEKTUAL
Oleh Achmad Saptono

“Sebelah mataku yang mempelajari, Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku, Terbentuk dari sel akut, Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami, Tapi sebelah mataku yang lain menyadari, Gelap adalah teman setia, Dari waktu waktu yang hilang (Efek Rumah Kaca – Sebelah mata)”

Rela melacur ke kota seberang bahkan ke negri tetangga, demi kepuasan mendapatkan predikat gelar, demi kepuasan untuk mendapatkan nutrisi otak kiri. Mereka pelacur intelektual, yang rela mengandalkan gaya hidup berburu dan merayu untuk bertahan hidup di habitatnya. Berburu dan merayu demi mendapatkan huruf A, berburu dan merayu demi mendapatkan “sensasi” serta “eksistensi”. Adalah lumrah, adalah wajar, semua mengakui dan mengamininya, karena manusia adalah mahluk pencari sensasi, kata seorang filsuf.
Sekitar selangkangan adalah puncak kenikmatan, tapi tidak bagi pelacur intelektual. Banyak bagian lain, banyak hal lain yang ia idam-idamkan. Senyum kagum dari banyak kalangan, tepuk tangan meriah dari para penonton, angkat topi dari atasan, termasuk predikat-predikat penghargaan dari profesor, doktor dan kawanannya. Style serta fashion adalah nomor satu bagi pelacur intelektual saat ini. Sepatu, baju, jeans, kawat gigi, softlens, kacamata dan sebagainya. Berbicara tentang kacamata, yang menjadi miris adalah ketika para pelacur intelektual justru semakin nyaman dengan style soflens atau kacamata kudanya.
Dengan soflens atau kacamata kudanya, mereka dapat dengan mudahnya menarik hipotesa-hipotesa mistis yang jauh dari fakta empirik. Dapat dengan mudahnya memandang kejauhan dengan sebelah mata. Seharusnya mereka para pelacur intelektual mengganti hiasan-hiasan matanya dengan lensa kamera saja, agar mampu memotret kejadian dari berbagai macam anglle, atau berbagai macam sudut. Siapapun pasti akan mengatakan bahwa gunung yang sehat dari kejauhan berbentuk segitiga dan berwarna biru, dan siapapun pasti akan mengatakan bahwa gunung yang sehat dari dekat berwarna hijau, dan dengan bentuk yang belum tentu persis menyerupai segitiga. Itulah perspektif, itulah subjektifitas, yang tidak bisa kita jadikan satu-satunya referensi untuk menarik hipotesa.
Siapa anda? Atau siapa saya sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya kira tidak cukup hanya dengan waktu satu-dua jam, satu-dua hari, atau satu-dua bulan saja. Butuh banyak waktu sebelum anda mengatakan bahwa orang itu sangat baik, sangat jahat dan seterusnya. Butuh banyak waktu sebelum anda menyimpulkan bahwa “dia mempunyai kepribadian yang sama dengan teman sejawatnya atau dengan keluarganya”. Ingat, manusia mempunyai kebutuhan, ketertarikan atau selera yang berbeda dengan yang lainnya, meski seringkali ada beberapa orang yang mempunyai kemiripan dalam hal selera tertentu. Namun, tidak benar-benar sama persis.
Miris. Di jaman sekarang para pelacur intelektual begitu mudahnya menarik silogisme berangkat dari premis-premis sederhana, premis-premis seadanya. Hipotesa-hipotesa yang sangat prematur diangkatnya ke permukaan demi unjuk gigi di hadapan kawanannya. Bagaimana ini? Jangan-jangan ada yang salah dengan ilmu yang dipelajari oleh para pelacur intelektual saat ini. Atau memang semua elemen masyarakat (termasuk pelacur intelektual) sudah merasa benar-benar nyaman dengan eksistensialismenya?!
Ironis. Dua dunia yang sangat berbeda seringkali dicampuradukkan, dijadikan satu, dianggap serupa, padahal jelas-jelas sejarah kelahiran serta ideologinya-pun berbeda. Pelacur intelektual, terkadang memang terlalu tergesah-gesah mencari kesimpulan. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat seringkali langsung mengatakan yang lain itu salah atau benar, baik atau buruk. Fatal bukan? Ah, sepertinya ini cuma perasaan saya saja. Tapi tidak, agaknya memang dalam faktanya berbicara demikian!
Lalu apa lagi yang pantas dibanggakan oleh pelacur intelektual? Kemandirian? Bukankah anak-anak jalanan juga sudah mampu hidup dalam kemandirian? Tempat nongkrong atau tempat makan yang mewah? Bukankah seharusnya yang dibanggakan oleh pelacur intelektual hari ini adalah keorganikannya? Meminjam istilah yang pernah diperkenalkan oleh Pierre Bourdeu, intelektual kolektif. Mengimplementasikan intelektual kolektif, demikian seharusnya agar pelacur intelektual mampu bersaing dan mempunyai posisi tawar di mata publik, bukan malah mengedepankan ego dengan selalu memandang sebelah mata dalam melihat dunia. [  ]
Share:

1 komentar:

  1. Sungguh, sukaa bangett sama tulisan inii, apa lagi sama penulisnyaa, *ehh :p

    BalasHapus

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers