PELACUR INTELEKTUAL
Oleh Achmad Saptono
“Sebelah mataku yang mempelajari, Gelombang
kan mengisi seluruh ruang tubuhku, Terbentuk dari sel akut, Dan diabetes adalah
sebuah proses yang alami, Tapi sebelah mataku yang lain menyadari, Gelap adalah
teman setia, Dari waktu waktu yang hilang (Efek Rumah Kaca – Sebelah mata)”
Rela
melacur ke kota seberang bahkan ke negri tetangga, demi kepuasan mendapatkan
predikat gelar, demi kepuasan untuk mendapatkan nutrisi otak kiri. Mereka
pelacur intelektual, yang rela mengandalkan gaya hidup berburu dan merayu untuk
bertahan hidup di habitatnya. Berburu dan merayu demi mendapatkan huruf A,
berburu dan merayu demi mendapatkan “sensasi” serta “eksistensi”. Adalah
lumrah, adalah wajar, semua mengakui dan mengamininya, karena manusia adalah
mahluk pencari sensasi, kata seorang filsuf.
Sekitar
selangkangan adalah puncak kenikmatan, tapi tidak bagi pelacur intelektual.
Banyak bagian lain, banyak hal lain yang ia idam-idamkan. Senyum kagum dari
banyak kalangan, tepuk tangan meriah dari para penonton, angkat topi dari
atasan, termasuk predikat-predikat penghargaan dari profesor, doktor dan
kawanannya. Style serta fashion adalah nomor satu bagi pelacur
intelektual saat ini. Sepatu, baju, jeans, kawat gigi, softlens, kacamata dan sebagainya. Berbicara tentang kacamata, yang
menjadi miris adalah ketika para pelacur intelektual justru semakin nyaman
dengan style soflens atau kacamata
kudanya.
Dengan
soflens atau kacamata kudanya, mereka
dapat dengan mudahnya menarik hipotesa-hipotesa mistis yang jauh dari fakta
empirik. Dapat dengan mudahnya memandang kejauhan dengan sebelah mata.
Seharusnya mereka para pelacur intelektual mengganti hiasan-hiasan matanya
dengan lensa kamera saja, agar mampu memotret kejadian dari berbagai macam anglle, atau berbagai macam sudut.
Siapapun pasti akan mengatakan bahwa gunung yang sehat dari kejauhan berbentuk
segitiga dan berwarna biru, dan siapapun pasti akan mengatakan bahwa gunung
yang sehat dari dekat berwarna hijau, dan dengan bentuk yang belum tentu persis
menyerupai segitiga. Itulah perspektif, itulah subjektifitas, yang tidak bisa
kita jadikan satu-satunya referensi untuk menarik hipotesa.
Siapa
anda? Atau siapa saya sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya kira
tidak cukup hanya dengan waktu satu-dua jam, satu-dua hari, atau satu-dua bulan
saja. Butuh banyak waktu sebelum anda mengatakan bahwa orang itu sangat baik,
sangat jahat dan seterusnya. Butuh banyak waktu sebelum anda menyimpulkan bahwa
“dia mempunyai kepribadian yang sama dengan teman sejawatnya atau dengan
keluarganya”. Ingat, manusia mempunyai kebutuhan, ketertarikan atau selera yang
berbeda dengan yang lainnya, meski seringkali ada beberapa orang yang mempunyai
kemiripan dalam hal selera tertentu. Namun, tidak benar-benar sama persis.
Miris.
Di jaman sekarang para pelacur intelektual begitu mudahnya menarik silogisme berangkat
dari premis-premis sederhana, premis-premis seadanya. Hipotesa-hipotesa yang
sangat prematur diangkatnya ke permukaan demi unjuk gigi di hadapan kawanannya.
Bagaimana ini? Jangan-jangan ada yang salah dengan ilmu yang dipelajari oleh
para pelacur intelektual saat ini. Atau memang semua elemen masyarakat
(termasuk pelacur intelektual) sudah merasa benar-benar nyaman dengan
eksistensialismenya?!
Ironis.
Dua dunia yang sangat berbeda seringkali dicampuradukkan, dijadikan satu,
dianggap serupa, padahal jelas-jelas sejarah kelahiran serta ideologinya-pun
berbeda. Pelacur intelektual, terkadang memang terlalu tergesah-gesah mencari
kesimpulan. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat seringkali langsung
mengatakan yang lain itu salah atau benar, baik atau buruk. Fatal bukan? Ah, sepertinya ini cuma perasaan saya
saja. Tapi tidak, agaknya memang dalam faktanya berbicara demikian!
Lalu
apa lagi yang pantas dibanggakan oleh pelacur intelektual? Kemandirian?
Bukankah anak-anak jalanan juga sudah mampu hidup dalam kemandirian? Tempat nongkrong
atau tempat makan yang mewah? Bukankah seharusnya yang dibanggakan oleh pelacur
intelektual hari ini adalah keorganikannya? Meminjam istilah yang pernah
diperkenalkan oleh Pierre Bourdeu, intelektual kolektif. Mengimplementasikan intelektual
kolektif, demikian seharusnya agar pelacur intelektual mampu bersaing dan
mempunyai posisi tawar di mata publik, bukan malah mengedepankan ego dengan
selalu memandang sebelah mata dalam melihat dunia. [ ]
Sungguh, sukaa bangett sama tulisan inii, apa lagi sama penulisnyaa, *ehh :p
BalasHapus