"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Rabu, 09 November 2011

PSK; Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


PSK; Pahlawan Tanpa Tanda Jasa[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

Keprihatinan dunia terhadap perempuan sudah lebih dari 30 tahun yang lalu disuarakan, tepatnya pada Konferensi Perempuan Dunia I di Mexico tahun 1975. Keprihatinan ini muncul karena dorongan semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap kaum perempuan. Keprihatinan perempuan Indonesia berkembang di Indonesia diawali dengan munculnya gerakan emansipasi wanita, atas pelopor pejuang perempuan asal kota Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng Kartini, tokoh perempuan Jawa sekaligus Pahlawan Nasional yang kemudian dikenal sebagai sang pelopor kebangkitan para perempuan pribumi.


Dalam perkembangannya, isu gerakan emansipasi wanita berubah menjadi isu kesetaraan gender, yang menjadi alasan mendasar perubahan tersebut antara lain:
-          The Rising Demand
Perubahan kualitas dan standar hidup yang lebih tinggi menuntut adanya tambahan pengasilan tiap-tiap keluarga karena pendapatan suami tidak dapat mencukupi maka mau tidak mau istri/perempuan harus bekerja. Beban sang istri menjadi bertambah selain mengatur rumah tangga juga bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga.
-          Kemerosotan Ekonomi
Kemerosotan ekonomi terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia mengakibatkan terjadinya banyak pengangguran. Banyak para suami yang terkena PHK akibatnya para istri harus bekerja (sekalipun di sektor non-formal) untuk menutup kebutuhan keluarga. Belum lagi terhitung kaum ibu yang terpaksa bekerja akibat ditinggalkan suami/cerai/mati, bahkan tak jarang banyak kaum ibu yang akhirnya memilih PSK sebagai pekerjaan.
-          Perubahan persepsi masyarakat modern
Di kalangan masyarakat modern sekarang ini, pernikahan secara resmi bagi wanita bukanlah suatu keharusan. Akibatnya banyak wanita yang sampai usia tua memilih untuk tetap melajang. Guna menunjang hidupnya mereka-pun harus bekerja (termasuk bekerja sebagai PSK), lalu agar hidupnya tidak kesepian biasanya mereka banyak yang mengadopsi/mengangkat anak. Tak heran jika dampak dari adanya hal itu kemudian muncul istilah “anak haram” atau “anak tanpa bapak”.
Pekerja seks komersial disingkat PSK menjadi pekerjaan menjanjikan bagi kaum perempuan yang memang terpaksa tidak ada pekerjaan lain karena rendahnya pendidikan terakhir atau tidak mempunyai keahlian lain dalam beberapa bidang. Di jaman sekarang, agar perempuan dapat bersaing karir di ranah publik harus mempunyai pendidikan terakhir yang tinggi. Pendidikan terakhir perempuan setingkat SMP, SMA/SMK hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dan tidak dilirik sama sekali oleh perusahaan-perusahaan (yang padahal sedang membutuhkan karyawan). Selain itu, keahlian atau kemampuan/skill juga menjadi penentu utama bagi perempuan saat memasuki dunia kerja. Dapat dikatakan bahwa mereka yang saat ini berprofesi sebagai PSK adalah karena memang dalam keadaan terpaksa, mereka para PSK adalah korban dari kemiskinan, mereka di keseharian berjuang melawan stereotype negatif dari masyarakat.
Stereotype negatif atau pelabelan dari masyarakat yang negatif tentang PSK semakin melengkapi perjuangan PSK untuk tetap bertahan hidup. Banyak diantara mereka (para PSK) yang menginginkan hidup normal layaknya perempuan lainnya, mereka ingin membina keluarga, menyekolahkan anaknya, mempunyai pekerjaan yang layak dan sebagainya. Keinginan mereka hanya sebatas keinginan yang tak terealisasi. Mau tidak mau mereka hanya bisa menekuni profesi sebagai seorang pemuas hasrat seksual bagi setiap lelaki yang menghampirinya. Padahal nominal upah yang didapat oleh PSK tidak sebanding dengan resiko penyakit yang diderita. Justru yang mendapatkan untung besar dari prostitusi ini adalah pemerintah setempat yang menerima pajak perijinan dari pengelola tempat mangkal para PSK.
Pemerintah setempat seringkali menutup mata tentang resiko dari para PSK, apalagi tentang keinginan atau cita-cita para PSK yang terpendam. Kalau memang profesi sebagai pekerja seks itu dianggap negatif, dianggap tidak baik dan pemerintah ingin meminimalisir perihal prostitusi ini, seharusnya dari jauh-jauh hari pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang lain untuk mereka. Andaikata mereka (para PSK) belum mempunyai keahlian, seharusnya pemerintah setempat-pun siap memberikan pelatihan dan sebagainya untuk mereka. Bukan kemudian tanpa tanggungjawab mencemooh mereka dan meniadakan mereka.
Sesuai dengan persepsi masyarakat modern yang tercantum di atas, menjadi PSK dapat dikatakan sebagai salah satu bukti perkembangan perempuan-perempuan Indonesia yang ingin memperjuangkan kesetaraan, karena perempuan ingin mendapatkan penghasilan, karena perempuan ingin menghidupi keluarganya. Walaupun (mungkin) kalau hari ini R.A. Kartini masih hidup, beliau akan sedih melihat pengorbanan perempuan yang sampai menjual jasa “seks” kepada setiap lelaki yang menghampiri demi mendapatkan penghasilan.
Terlepas dari PSK yang dianggap berjasa bagi kaum lelaki, jika definisi pahlawan adalah sosok orang yang dianggap berjasa pada negara, maka seharusnya PSK-pun sudah mempunyai banyak jasa bagi pemerintah. Jika pahlawan adalah sosok orang yang mempunyai jiwa pejuang, PSK-pun berjuang melawan kemiskinan, berjuang melawan bahaya virus HIV, berjuang melawan cemo’ohan dari masyarakat dan sebagainya. PSK seharusnya patut juga menyandang gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. [ ]



[1] Tulisan ini sebagai upaya agar dapat merubah persepsi masyarakat terhadap PSK.
[2] Penulis bertempat tinggal di Desa jemaras Kidul, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
Tulisan lainnya dapat dikunjungi di Http://www.achmadsaptono.co.cc
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers