"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 26 November 2011

Analisis isu Film Laskar Pelangi


RAPORT MERAH UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA[1]
Oleh : Achmad Saptono[2]

“Saya pikir Cirebon sudah cukup gerah, tapi rasanya tidak begitu gerah kalau kita hanya duduk diam membiarkan anak-anak usia belasan tahun tanpa pendidikan karena faktor kemiskinan”

Belitong tahun 1974, setting waktu dan nama daerah dalam Film Laskar Pelangi. Film yang berangkat dari Novel berjudul “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata ini benar-benar menjadi warning tersendiri bagi para praktisi maupun akademisi di zaman sekarang. Film ini mencoba mengkomparasikan bagaimana kondisi sekolah swasta/SD Inpres dan SD negeri pada zaman rezim Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pendidikan secara perlahan memang sudah dikomersilkan. Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara sepertinya memang tidak pernah menjalankan secara konsekuen, tidak pernah konsisten dengan amanat UUD 1945 terutama terkait persoalan pendidikan.

SD Muhamadiyah Gantong merupakan gambaran pendidikan sekolah yang terpinggirkan, sekolah yang hanya dipandang sebelah mata, bahkan mungkin untuk dilirik oleh masyarakat maupun pemerintah setempat-pun tidak. Sudah selama 5 tahun sekolah itu tidak bisa menerima murid baru, sama sekali tidak ada yang bisa dibanggakan saat itu selain semangat belajar dari ke-10 murid yang berasal dari SD terbelakang tersebut. Jika dilihat dari segi fisik, bangunan sekolah swasta tersebut memang tampak “bagai telur di ujung tanduk”. Wajar saja jika pada saat pertama kali membuka tahun ajaran baru, sekolah ini hanya mampu menerima 10 murid, sangat berbeda dengan SD PN Timah yang banyak peminatnya.
Permasalahan pendidikan memang saling berkaitan dengan pertumbuhan atau populasi masayarakat Indonesia. Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tidak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tidak pernah serius memperhatikan persoalan ini. Pada masa pemerintahan Orde Baru memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Lihat saja perkembangan bangunan SD Muhamadiyah Gantong dari tahun 1974 sampai tahun 1979 dalam film Laskar Pelangi tersebut. Jika kita lihat, kondisi bangunan SD Muhamadiyah Gantong memang sudah nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik.
Melihat gejala sosial yang menghambat perkembangan dunia pendidikan sampai sekarang, saya kira tepat jika Eko Prasetyo, seorang aktivis gerakan mahasiswa asal Yogyakarta menulis buku berjudul “Orang Miskin dilarang Sekolah” pada tahun 2004. Kenapa? Karena memang pendidikan sejak dulu seolah hanya untuk mereka-mereka yang memiliki uang saja. Memang kita patut angkat topi untuk semangat guru dan murid-murid SD Muhamadiyah Gantong dalam film laskar pelangi itu. Ditengah sekolah mereka yang semakin tersubordinasi, semangat serta kecerdasan dari Ikal, Lintang, Mahar dan murid SD Muhamadiyah Gantong yang lain membuat masyarakat sekaligus pemerintah setempat ingin melihat lebih dekat. Ada yang tersenyum, ada yang menangis kagum atas prestasi dari murid-murid sekolah itu dalam lomba Karnaval Kesenian dan lomba Cerdas Cermat antar SD tingkat Kecamatan. Sekilas memang tampak aneh, fasilitas yang kurang memadai tetapi prestasi termasuk kecerdasan mereka ternyata bisa bersaing dengan sekolah lainnya yang boleh dikatakan mempunyai fasilitas jauh lebih memadai.
Fasilitas yang memadai seharusnya membuat kita kembali ber-refleksi, “apakah dengan fasilitas yang memadai itu sudah pasti akan membuat kita pintar? Akan berhasil? Atau jangan-jangan akan sama seperti siswa SD PN Timah?”. Untuk belajar menghitung, murid SD Muhamadiyah Gantong hanya menggunakan seikat potongan lidi, sedangkan SD PN Timah sudah menggunakan kalkulator, fasilitas yang diberikan oleh pihak sekolah. Saya jadi berpikir, jangan-jangan fasilitas yang memadai itu justru yang membuat kita semakin manja atau malas dalam belajar.
Secara sosiologis, sekolah merupakan agen sosialisasi kedua setelah keluarga, dimana guru-guru di sekolah berperan layaknya orang tua dari semua murid saat berada di sekolah. Pak Harfan dan Ibu Muslimah menjadi guru sekaligus orang tua di SD Muhamadiyah Gantong yang mendidik semua murid dengan tidak mengedepankan materiil. Dalam film laskar pelangi, Pak Harfan mengajarkan bahwa “kecerdasan bukan dinilai dari angka-angka, tetapi dari hati”. Melihat betapa bertanggungjawabnya Pak harfan dan Ibu Muslimah dalam mendidik murid-muridnya dalam film tersebut, saya jadi berandai-andai, “andai para pendidik di negara ini banyak yang seperti mereka...”. Yaah... Semoga tidak hanya berhenti pada andai-andai saja.
Berbeda dengan Pak Harfan dan Ibu Muslimah. Pak Bakri menjadi potret buram bagi para pendidik di negara ini. Pak Bakri merupakan guru di SD Muhamadiyah Gantong yang pindah mengajar. Selain karena alasan kesejahteraannya yang kurang terpenuhi, juga karena fasilitas dan kondisi di SD Muhamadiyah Gantong yang jalan di tempat. Anggaran pendidikan 20 % atau pendidikan gratis untuk sekolah-sekolah negeri di Indonesia memang sudah lama direalisasikan. Dampak dari kebijakan itu kini guru-guru di sekolah negeri banyak yang mengeluhkan hal serupa dengan yang dialami oleh Pak Bakri. Lalu, bagaimana cara mencari jalan tengah agar pendidikan di sekolah negeri dan juga sekolah swasta di Indonesia dapat berkembang dengan baik di tengah kemiskinan yang memang masih membelenggu sampai hari ini?
Sejak zaman rezim Orde Lama, Orde Baru bahkan sampai kini rezim Orde yang paling baru permasalahan pendidikan di Indonesia belum juga merata, termasuk di daerah tempat tinggal saya sekarang ini, Cirebon. Saya pikir Cirebon sudah cukup gerah, tapi rasanya tidak begitu gerah kalau kita hanya duduk diam membiarkan anak-anak usia belasan tahun tanpa pendidikan karena faktor kemiskinan. Saya yakin di kota wali ini, di perempatan jalan sana masih banyak anak-anak yang putus sekolah, atau bahkan belum pernah merasakan duduk di bangku sekolah.
Film Laskar Pelangi menjadi bingkai kecil dari permasalahan-permasalahan pendidikan yang ada di negara Indonesia. Film itu sebagai gambaran bahwa pendidikan di negara kita ini memang masih pantas mendapatkan RAPORT MERAH. [-_-]


[1] Pengantar Diskusi Bedah Film Laskar Pelangi, 25 Nov 2011, Kedai Poster, jl. Sukalila - Cirebon.
[2] Biasa dipanggil Tino, dulu pernah menjadi mahasiswa biasa.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers