"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Sabtu, 16 Juni 2012

Rindu Alam ; Alami


Alamku tak Perawan lagi
Oleh Achmad Saptono

“Mengapa harus tunggu bencana, baru kita percaya kebesaran Tuhan ... Mengapa harus tunggu bencana, baru kita bersahabat dengan alam..., (SLANK – SOLIDARITAS)”


Hijau adalah warna dedaunan, warna pepohonan, warna alam, begitu kata guru TK’ku dulu. Biru warna laut, warna gunung, dan warna langit. Putih jernih warna air sungai yang terus mengalir. Namun setelah belasan tahun kemudian, ternyata aku pikir pelajaran TK itu sudah kadaluarsa. Alangkah lebih baiknya jika pelajaran IPA, IPS atau Pelajaran Bahasa Indonesia yang menyinggung perihal warna-warna seisi alam ini di modifikasi, direvisi, di Up Grade, disesuaikan dengan kenyataan yang ada hari ini.
Putih lusuh warna dedaunan, putih tandus warna pegunungan, cokelat keruh warna laut serta sungai di sekitarku, hitam kecoklatan warna langitku.
Seharusnya seperti itu materi pelajaran yang disampaikan untuk anak usia TK maupun SD, karena kenyataannya pun memang seperti itu adanya. Bagaimana tidak?! Dedaunan kini sudah berubah warna karena debu serta asap kendaran, pegunungan kini sudah berubah warna karena semakin terkikis habis karena ulah penambang yang tak bertanggungjawab. Langit berubah warna karena tebalnya asap kendaraan, asap industri dan sebagainya.
Aku semakin sangsi dengan keberadaan klorofil pada dedaunan. Aku semakin sangsi dengan pelajaran yang disampaikan oleh guru IPA’ku, bahwasanya banyak oksigen di udara ini, di alam ini, di pepohonan ini. Konon katanya terjadi rantai makanan di tumbuhan serta binatang-binatang yang ada di lingkungan sekitar kita, yakin masih ada rantai makanan? Bukankah warna dedaunan hari ini sudah mengalami banyak perubahan? Menjadi putih, menjadi hitam, cokelat atau lusuh karena polusi udara? Memang ancaman bagi tumbuh-tumbuhan bukan hanya tumbuhan benalu atau parasit saja, tapi parahnya kini manusia-lah yang menjadi ancaman bagi tumbuh-tumbuhan.
Tampak sangat tidak mudah untuk dipercaya, jika ternyata manusia-pun menjadi ancaman bagi keberadaan tumbuhan di sekitar kita. Seringkali aku tidak tahu sedang berada dimana, karena papan nama/plang jalan yang ada di tepi jalan telah tertutup reklame, spanduk atau sejenisnya. Seringkali aku tidak percaya bahwa inilah desa tempatku dilahirkan, karena semakin banyaknya bangunan mewah yg secara tidak langsung menghabiskan sawah serta pepohonan lainnya. Padahal dulu, yang aku jadikan patokan saat mau belok adalah ada pohon mangga di kanan jalan atau di kiri jalan.
Alamku tak perawan lagi. Kasihan keponakan-keponakanku. Mereka tidak pernah merasakan asyiknya bermain di sungai dekat rumah, mereka tidak pernah menyaksikan kerbau yang sedang membajak sawah, mereka tidak pernah merasakan betapa asyiknya mencuri buah jeruk atau mangga di kebun tetangga sebelah. Karena sawah dan perkebunan kini banyak yang sudah berubah menjadi tanah kapling. Sungai-pun terkikis habis oleh bangunan-bangunan baru, serta pemukiman warga. Ada pula sungai yang sudah beralih fungsi menjadi tempat pembuangan sampah. Ah, kadang, aku-pun merasa sulit untuk membedakan mana desa dan mana kota. Apakah desaku ini sudah berubah menjadi kota?
Pekarangan rumahku tak perawan lagi. Dulu, pekarangan rumahku cukup subur. Menanam pohon atau bunga apa-pun pasti akan tumbuh dengan subur. Menanam pohon mangga, pepaya, kelengkeng, rambutan, umbi-umbian dan sebagainya. Menanam bunga melati, mawar, pakis, kaktus dan sebagainya, pasti akan langsung tumbuh subur. Tapi sekarang? Entah kandungan tanahnya, entah oksigennya atau karbondioksidanya yang sudah tidak perawan lagi, yang jelas, untuk bercocok tanam di jaman sekarang tidak semudah dahulu. Karena memang alam ini sudah tidak perawan lagi! Lalu, apakah harus tunggu bencana, baru kita bersahabat dengan alam??? [  ]

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers