"Sekedar umpatan dan teriakkanku yang semuanya tersimpan dalam barisan kata"

Selasa, 24 Mei 2011

Tentang Menulis

Keresahanku adalah Bingung ingin berkata apa? Tuliskan saja lah!
Oleh : Achmad Saptono

“Harus ada keresahan dulu sebelum pentas atau sebelum berkarya, termasuk menulis, kalau tidak resah ya harus dicari keresahan itu. Kalau merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau kepekaan kita”
Suatu sore yang cerah. Dheas mahasiswa Sosiologi semester 5 di Universitas Negeri Purwokerto (UNP), usai Ashar ia melaju dengan honda bebek menuju kosan Balqis teman satu jurusan dan teman satu angkatannya. Semangat 45 Dheas menghipnotis laju kendaraan yang ia tunggangi seolah kesetanan. Hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk menempuh kosan Balqis, yang jaraknya 2 Km dari rumah Dheas. Sesampainya di depan pintu kosan Balqis, Dheas mendapati pintu kosan itu tertutup rapat dengan gembok yang menggantung. “Ah, sial! Kenapa Balqis gak ada di kosan? Pasti dia lagi nongkrong di sekre nih...” gumamnya dalam hati. Tanpa pikir panjang, Dheas langsung menuju sekretariat UKM. Seperti dugaannya, Balqis sedang asik berdiskusi dengan teman UKM-nya di ruang sekretariat.

Beruntunglah Dheas kali ini, saat ia mendekati pintu sekretariat bertepatan dengan moderator yang sedang menutup forum rapat. Dheas menunggu sebentar di kursi panjang, di bawah pohon belimbing sebelah sekretariat sambil ia mengetik sms di ponsel’nya untuk Balqis. “abis rapat, langsung ke sebelah sekre UKM km ya.. aku mau nanya2 ttg tugas yg buat besok nih”, begitu kira-kira sms yang ia kirim untuk Balqis. Mengetahui dirinya sedang ditunggu, Balqis langsung menuju ke sebelah sekretariat, menghampiri Dheas dan duduk tepat di sebelah kiri temannya yang sedang bingung dengan tugas kuliahnya. “ehhm... kamu mau nanya tugas yang mana? Tugas apa?”, tanya Balqis. Seolah tanpa jedah, Dheas langsung menyambar pertanyaan Balqis. “itu katanya ada tugas makalah sosiologi teater ya? Aku bingung nih... gak ngerti masalah teater. Hahahaa... entar perumusan masalahnya apa coba, lhah wong ngerti perkembangan teater aja aku enggak!”. Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan dan mereka jawab, hanya untuk mencari tahu sebenarnya ada masalah apa saja dalam dunia teater.
Nah, jung-ujungnya pada nyari masalah kan? Iya mbok? Iya memang, karena mau tidak mau butuh inventarisir masalah terlebih dahulu, sebelum merumuskan permasalahan dalam sebuah makalah. Saat Dheas belum paham tentang perkembangan teater, ia bilang tidak ada masalah dalam dunia teater. Setelah ia diskusikan lebih lanjut dengan Balqis, ternyata banyak masalah yang dapat ia kaji dan ia rumuskan menjadi makalah.
Masalah yang selama ini mendewasakan manusia, masalah itu ada untuk dihadapi bukan untuk dihindari. Menghindari masalah sama halnya manusia itu menghindari keberhasilan, menghindari kesuksesan. Semua manusia pasti punya masalah, pasti punya keluhan, pasti punya keresahan. Masalah atau keresahan itulah yang menjadi landasan kita untuk melangkah, menjadi motivasi kita untuk melakukan sesuatu. Ketika kita tidak merasakan keresahan, kemungkinan terbesar adalah kita diesorientasi kemudian bingung ingin melakukan apa.
Harus ada keresahan dulu sebelum pentas atau sebelum berkarya, termasuk menulis, kalau tidak resah ya harus dicari keresahan itu. Kalau merasa tidak resah, berarti ada yang salah dengan kepedulian atau kepekaan kita. Kalau memang benar-benar tidak ada keresahan yang ingin dituliskan, berarti tuliskan saja kenapa ketidakadaan keresahan yang ingin dituliskan itu. Deskripsikan kenapa tidak ada yang ingin dituliskan, atau jangan-jangan memang karena tidak ada kemauan untuk mencoba menulis.
Mahasiswa menulis itu sudah biasa sebenarnya, di dalam ruang kuliah kita menulis, saat ada tugas kita menulis, hanya saja masalahnya adalah pada saat itu saja kita menulis. Ketika tidak ikut kuliah, kita tidak menulis. Ketika tidak ada tugas, kita tidak menulis. Padahal kita punya banyak waktu selain aktivitas di perkuliahan. Betapa berharganya waktu bagi para jurnalis atau wartawan surat kabar harian. Betapa berharganya waktu seper-sekian detik bagi wartawan media online seperti detik.com, kompas.com, tribunnews.com dan sebagainya. Pertanyaannya adalah sudahkah kita mengalokasikan waktu luang kita untuk menulis?
Beberapa poin di bawah adalah metode refleksi yang bisa diterapkan, agar (semoga) membuat kita ingat berapa waktu yang selama ini sudah kita alokasikan untuk merekam kejadian, mengukir sejarah atau menulis.
1) Untuk menghargai nilai satu tahun tanyakan kepada murid yang tidak naik kelas!
2) Untuk menghargai nilai satu bulan, tanyakan kepada seorang ibu yang melahirkan seorang bayi premature!
3) Untuk menilai satu minggu tanyakan kepada seorang editor dari sebuah surat kabar mingguan!
4) Untuk menilai satu jam tanyakan kepada seorang pecinta yang sedang menunggu untuk bertemu sang kekasih!
5) Untuk menghargai nilai satu menit tanyakan kepada seorang yang ketinggalan kereta!
6) Untuk menghargai nilai satu detik tanyakan kepada seorang yang baru saja terhindar dari sebuah kecelakaan!
7) Untuk menilai satu mili detik tanyakan kepada seseorang yang memenangkan medali perak olimpiade!

Beberapa teman kita menuliskan keresahan tentang waktu yang mulur, waktu indonesia yang sering ngaret. Benar sekali, bagaimana kalau sambil menunggu rapat mulai, waktu yang ada kita alokasikan untuk menulis? Bagaimana kalau sambil menunggu kuliah mulai, atau menunggu dosen datang, waktu yang ada kita alokasikan untuk menulis?
Menulis adalah media bercerita. Hal penting yang harus diingat saat menulis adalah bagaimana caranya agar tulisan itu mudah dibaca, mudah dipahami oleh orang lain, atau minimal mudah dipahami oleh penulis sendiri ketika dibaca ulang di masa yang akan datang. Kemungkinan besar efek yang akan terjadi ketika kita membaca ulang tulisan kita adalah cengar-cengir, kagum, heran, bingung dan sebagainya. Kalau dulu waktu SD, SMP atau SMA kita sudah pernah membiasakan diri untuk menulis di buku diary, saat itu kita menulisnya dalam bentuk puisi misalkan, maka bisa jadi sekarang diary itu bisa kita terbitkan menjadi antologi puisi. Misalkan saat itu kita menuliskan diary dengan cara menulis ulang aktivitas yang kita lakukan, maka bisa jadi sekarang diary tersebut bisa kita terbitkan menjadi cerpen atau novel.
Maaf, saya hanya bisa berbagi tentang bagaimana agar kita mau menulis dan membiasakan diri untuk menulis. Karena teknik menulis karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, naskah, essai, makalah, paper dan sebagainya saya pikir teman-teman sudah pernah mendapatkannya di pelajaran atau mata kuliah bahasa indonesia. Hanya saja, (mungkin) teman-teman sudah lupa. Tulisan yang berpihak? Kita diskusikan aja yuuk... ^_^

*Tulisan ini pernah disampaikan di forum diskusi kecil tentang penulisan di sekretariat Teater SiAnak,

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Counter Powered by  RedCounter

Pages

Popular Posts

About Me

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Seorang Presiden di negara Republik Tinosia

Followers